Lompat ke isi

Jeruk pontianak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Jeruk pontianak
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo: Sapindales
Famili: Rutaceae
Subfamili: Aurantioideae
Genus: Citrus
Spesies

Spesies:
C. nobilis

Jeruk Pontianak (citrus nobilis var. microcarpa) merupakan jenis jeruk siam dengan ciri fisik kulitnya tipis dan licin mengkilat. Jeruk Pontianak mempunyai rasa yang manis dan merupakan salah satu komoditas unggulan Kota Pontianak.[1] Sebenarnya jeruk ini bukanlah hasil produksi pertanian Kota Pontianak. Sentra tanaman jeruk justru berasal dari Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Namun sejak lama jeruk ini telah dikenal dengan merek dagang "Jeruk Pontianak". Dalam istilah bahasa Melayu, "Tebas punye jeruk, Pontianak punye name".

Sejarah pengembangan Jeruk Siam yang akhirnya terkenal sebagai Jeruk Pontianak di Kalimantan Barat sejak tahun 1936 tepatnya di Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. Bibit jeruk ini dibawa dari Tiongkok oleh imigran Tionghoa yang menetap di Kalimantan Barat, dan awalnya hanya dimanfaatkan untuk penganan mereka saja.[2][3] Hingga awal tahun 1950 jeruk siam telah berhasil dibudidayakan hingga mencapai 1.000 ha, walaupun sayangnya sepuluh tahun kemudian, sebagian besar pohon jeruk ini ditebangi karena terserang penyakit. Pada tahun 1979 perkebunan jeruk pontianak dikembangkan kembali oleh masyarakat bersama pemerintah untuk kebutuhan komersil,[2] dan sampai 1990-an mengalami masa kejayaan yaitu mencapai 10.000 ha lebih dengan produksi 26.000 ton per tahun. Dari tahun 1988 hingga 1991, produksi jeruk pontianak naik dari 76.000 ton menjadi 199.000 ton.[4]

Dalam perkembangannya, harga jeruk pontianak yang naik-turun sendiri ketika melimpahnya panen dianggap pemerintah merugikan petani, dan pemerintah kemudian membentuk monopsoni yang berusaha mengatur tata niaga jeruk pontianak.[5][6] Gubernur Kalbar, Parjoko Suryokusumo lalu mengeluarkan SK No. 88/1988 yang menyerahkan hak monopoli pembelian jeruk ke PUSKUD dan PT Humpuss (milik Hutomo Mandala Putra/Tommy). Kemudian, Humpuss dan PUSKUD menyerahkan monopolinya ke Badan Koordinasi Pelaksana Tata Niaga Jeruk (BKPTNJ), yang salah satu motor utamanya adalah PT Bima Citra Mandiri milik Bambang Trihatmodjo dan disahkan dengan SK No. 296/1991.[7][8][9][10] Jeruk pontianak sendiri ditetapkan dengan harga Rp 200-650/kg untuk kualitas "D" sampai "A", yang wajib dijual petani kepada Koperasi Unit Desa (KUD) untuk selanjutnya dijual kepada PT BCM saja ke luar daerah (mirip BPPC).[11] Diduga, pemerintah pusat ikut terlibat dalam kebijakan monopoli ini.[12]

Akan tetapi, monopoli tersebut justru membuat produksi jeruk pontianak anjlok pada awal 1990-an. Hal ini karena banyak petani di daerah sekitar ikut-ikutan menanam jeruk siam akibat tergiur harga yang pasti,[13] membuat harga di tingkat petani jatuh sehingga total pendapatan tidak cukup membiayai biaya pengeluaran. Anjloknya harga ini memaksa petani membiarkan pohon jeruk meranggas mati karena tidak terpelihara yang diperparah serangan hama penyakit. Banyak petani jeruk pontianak bangkrut dan harus mencari pekerjaan lain, termasuk ke Sarawak Malaysia, berbanding terbalik dengan kemakmuran mereka sebelumnya.[12] Hanya beberapa saat setelah monopsoni itu ditetapkan, produksi jeruk pontianak anjlok 63%, dan para petani yang marah membuang jeruk mereka di kantor pemerintah.[4] Di saat yang bersamaan, karena PT BCM sendiri memungut 10% dari harga jual jeruk dan ongkos Rp 1.500/kg, mereka sudah menengguk keuntungan Rp 180 miliar/tahun.[14] Meskipun kemudian dengan SK No. 555/1993 hak monopoli dialihkan kembali ke PUSKUD karena BCM merasa gagal,[15][16] peralihan ke pihak "koperasi" ini justru tetap menyengsarakan perkebunan jeruk, dengan dari 1993 ke 1998 luasan tanaman jeruk pontianak berkurang dari 19.000 hektar menjadi 1.500 hektar.[8] Monopoli ini akhirnya baru dihapuskan pada 29 Januari 1998 lewat SK Gub Kalbar No. 21/1998 yang merupakan hasil dari Letter of Intent Indonesia dan IMF.[8]

Saat ini masyarakat Sambas kembali mengembangkan potensi tanaman jeruk. Luas potensi areal pengembangan KSP Jeruk saat ini antara 10.000 – 20.000 ha, terdapat di Kab. Sambas. Lokasinya terletak dalam satu hamparan dataran rendah yang luas pada beberapa Desa di Kecamatan Pemangkat, Tebas, Sambas, dan Teluk Keramat. Berdasarkan rencana pengembangan produk unggulan daerah Kabupaten Sambas, masih tersedia pengembangan komoditas jeruk seluas 7.844 ha dan masih memungkinkan untuk diperluas, karena ketersediaan area pertanian lahan kering di Kalbar mencapai seluas 200.000 ha.

Menurut situs resmi Provinsi Kalimantan Barat, keunggulan jenis Jeruk Siam ini antara lain dalam hal popularitasnya yang sudah cukup terkenal baik dalam maupun luar negeri (khususnya ASEAN). Selain itu masa produktivitasnya juga cukup lama (15-20 tahun) dengan benefit cost ratio (BCR) sebesar 3,59. BCR jeruk siam ini merupakan yang tertinggi dibanding komoditas pertanian lainnya di Kalimantan Barat. Selain itu harga di pasaran relatif stabil dan cenderung terus meningkat.

Referensi

Sebagian besar sumber tulisan ini dari situs resmi Provinsi Kalimantan Barat www.kalbar.go.id Diarsipkan 2009-01-19 di Wayback Machine.