Kaisar Hongwu
Kaisar Hongwu 洪武帝 | |||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Kaisar Dinasti Ming | |||||||||||||||||||||
Berkuasa | 23 Januari 1368[a] – 24 Juni 1398 | ||||||||||||||||||||
Penobatan | 23 Januari 1368 | ||||||||||||||||||||
Penerus | Kaisar Jianwen | ||||||||||||||||||||
Kaisar Tiongkok | |||||||||||||||||||||
Berkuasa | 1368–1398 | ||||||||||||||||||||
Pendahulu | Toghon Temür (Dinasti Yuan) | ||||||||||||||||||||
Penerus | Kaisar Jianwen | ||||||||||||||||||||
Kelahiran | Zhu Chongba (朱重八) 21 Oktober 1328 Prefektur Hao, Henan Jiangbei (sekarang Kabupaten Fengyang, Anhui)[2][3][4] | ||||||||||||||||||||
Kematian | 24 Juni 1398 Istana Ming, Zhili (sekarang Nanjing) | (umur 69)||||||||||||||||||||
Pemakaman | 30 Juni 1398 Makam Xiao, Nanjing | ||||||||||||||||||||
Istri | |||||||||||||||||||||
Keturunan Detail | |||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||
Wangsa | Zhu | ||||||||||||||||||||
Dinasti | Ming | ||||||||||||||||||||
Ayah | Zhu Shizhen | ||||||||||||||||||||
Ibu | Empress Chun | ||||||||||||||||||||
Agama | Buddhisme | ||||||||||||||||||||
Tanda tangan | |||||||||||||||||||||
|
Kaisar Hongwu (21 Oktober 1328 – 24 Juni 1398), juga dikenal dengan nama kuil sebagai Kaisar Taizu dari Ming, nama pribadi Zhu Yuanzhang, nama kehormatan Guorui,[f] adalah kaisar pendiri Dinasti Ming, yang memerintah dari tahun 1368 hingga kematiannya di tahun 1398.
Pada pertengahan abad ke-14, Tiongkok dilanda wabah penyakit, kelaparan, dan pemberontakan petani selama pemerintahan Dinasti Yuan Mongol. Zhu Yuanzhang, yang kehilangan orang tuanya selama masa penuh gejolak ini, terpaksa bertahan hidup dengan mengemis sebagai seorang biksu keliling. Pendidikan yang sulit ini berdampak besar pada kehidupan kaisar di masa depan. Ia mengembangkan pemahaman mendalam tentang perjuangan yang dihadapi orang-orang biasa, sambil membenci para sarjana yang hanya memperoleh pengetahuan dari buku.[5] Pada tahun 1352, ia bergabung dengan salah satu divisi pemberontak. Ia dengan cepat menonjolkan diri di antara para pemberontak dan bangkit untuk memimpin pasukannya sendiri. Pada tahun 1356, ia menaklukkan Nanjing dan menjadikannya sebagai ibu kotanya. Ia membentuk pemerintahannya sendiri, yang terdiri dari para jenderal dan cendekiawan Konfusianisme, menolak kekuasaan Mongol atas Tiongkok. Ia mengadopsi konsep pemerintahan negara dari mereka dan menerapkannya di wilayah yang dikuasainya, dan akhirnya memperluasnya ke seluruh negeri. Ia secara bertahap mengalahkan para pemimpin pemberontak lawan, dengan momen yang menentukan adalah kemenangannya atas Chen Youliang dalam Pertempuran Danau Poyang pada tahun 1363. Pada tahun 1364, ia mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Wu.[g] Namun pada tahun 1367, ia masih mengakui subordinasi formalnya kepada pemimpin utama Serban Merah, Han Lin'er, yang mengeklaim sebagai penerus Dinasti Song.
Pada awal tahun 1368, setelah berhasil menguasai Tiongkok bagian selatan dan tengah, ia memutuskan untuk mengganti nama negaranya. Ia memutuskan untuk menggunakan nama Da Ming, yang berarti "Cahaya Agung", untuk kekaisarannya. Selain itu, ia menunjuk Hongwu, yang berarti "Sangat Bela Diri", sebagai nama era dan semboyan pemerintahannya. Dalam perang empat tahun berikutnya, ia mengusir pasukan Mongol yang setia kepada Dinasti Yuan dan menyatukan negara. Namun, upayanya untuk menaklukkan Mongolia berakhir dengan kegagalan.
Selama tiga puluh tahun masa pemerintahan Kaisar Hongwu, Tiongkok di bawah Dinasti Ming mengalami pertumbuhan yang signifikan dan pulih dari dampak perang yang berkepanjangan. Kaisar memiliki pemahaman yang kuat tentang struktur masyarakat dan percaya pada pelaksanaan reformasi untuk memperbaiki lembaga. Pendekatan ini berbeda dari kepercayaan Konfusianisme bahwa contoh moral penguasa adalah faktor yang paling penting.[6] Kaisar Hongwu juga mengutamakan keselamatan rakyatnya dan kesetiaan bawahannya, menunjukkan pragmatisme dan kehati-hatian dalam urusan militer. Ia mempertahankan disiplin militer dan berupaya meminimalkan dampak perang terhadap warga sipil.[7] Meskipun puncak sistem politiknya runtuh dalam perang saudara tak lama setelah kematiannya, hasil lain dari reformasinya, seperti lembaga lokal dan regional untuk administrasi negara Ming dan pemerintahan sendiri, serta sistem keuangan dan sistem ujian, terbukti tangguh.[6] Sistem sensus, pendaftaran tanah dan perpajakan, serta sistem militer Weisuo semuanya bertahan hingga akhir dinasti.[6] Keturunannya terus memerintah seluruh Tiongkok hingga 1644, dan wilayah selatan selama tujuh belas tahun tambahan.
Biografi singkat
Zhu lahir di Fengyang, Provinsi Anhui dari keluarga petani miskin dengan nama Zhu Chongba (朱重八). Pada masa mudanya bekerja sebagai penggembala sapi. Karena kedapatan memanggang dan memakan seekor ternak itu, tuannya memecatnya. Suatu ketika wabah penyakit menyerang desanya dan merenggut nyawa orang tua dan saudara-saudaranya. Kemudian ia menjadi biksu di Kuil Huangjue hanya untuk hidup di tengah bencana kelaparan saat itu. Di biara itulah ia mulai belajar membaca dan menulis, tetapi tak lama kemudian biara itu ditutup karena kekurangan dana sehingga ia harus hidup terlunta-lunta lagi sebagai pengemis.
Di tengah gelombang anti-Mongol yang saat itu sedang marak di Tiongkok, Zhu bergabung dengan Pemberontakan Serban Merah, sebuah kelompok pemberontakan anti-Yuan yang berbasiskan campuran ajaran-ajaran keagamaan seperti Budha, Zoroaster, dan agama lainnya. Ia bekerja di bawah komando Guo Zixing. Berkat kecakapannya, dalam waktu singkat ia telah mendapat posisi penting dalam kelompok tersebut. Sejak itulah ia mengganti namanya menjadi Zhu Yuanzhang. Zhu menikah dengan putri angkat Guo, Ma Xiuying (kelak menjadi permaisuri pertama Ming). Ia sering berhubungan dengan sarjana-sarjana Konfusius dan tuan tanah, dari mereka ia memperoleh pelajaran mengenai cara-cara mengatur negara, sedangkan dari kelompok Serban Merah ia banyak belajar mengenai kemiliteran.
Zhu mulai meninggalkan Budhisme dan beralih pada ajaran Konfusius dan neo-Konfusius. Anak miskin yang pernah menjadi biksu, pengemis, dan pencuri itu kini telah menjelma menjadi pemimpin pemberontak anti-Yuan yang reputasinya terkenal di seluruh negeri. Kharismanya menarik orang-orang berbakat dari seluruh penjuru negeri untuk bekerja padanya. Tahun 1356 ia menjadikan Yingtian (sekarang Nanjing) sebagai basisnya. Langkah pertamanya adalah menaklukkan sesama pemimpin anti-Yuan yang menjadi saingannya dan mempersatukan Tiongkok selatan, setelah itu barulah menghadapi Mongol.
Tahun 1363, ia mengalahkan Chen Youliang, saingan terbesarnya dalam mempersatukan Tiongkok, dalam Pertempuran Danau Poyang. Lalu disusul tahun 1367 mengalahkan Zhang Shicheng di Suzhou. Dengan slogan “usir Mongol dan pulihkan kejayaan Tionghoa” ia meraih dukungan dari orang Han yang memang membenci bangsa Mongol yang telah menjajah mereka selama seabad kurang. 23 Januari 1368, Zhu mengangkat dirinya sebagai kaisar dengan nama Kaisar Hongwu, dinastinya dinamakan Ming (yang artinya cerah) dan Nanjing adalah ibu kota kerajaannya. Bulan Juli tahun yang sama, ia mengutus Xu Da, tangan kanan sekaligus sahabatnya, untuk menyerbu ibu kota Yuan, Dadu (sekarang Beijing) dan berhasil memaksa kaisar Yuan terakhir, Kaisar Shun dari Yuan, melarikan diri ke utara. Tiongkok kembali dikuasai oleh bangsa Han di bawah panji Dinasti Ming.
Pemerintahan
Di bawah pemerintahan Hongwu, para birokrat Mongol disingkirkan dari pemerintahan dan digantikan oleh orang-orang Han. Ia memperbaiki sistem ujian kerajaan untuk memilih pejabat negara dan pegawai negeri berdasarkan jasa dan pengetahuan mengenai literatur dan filsafat. Kandidat untuk pegawai sipil dan militer harus lulus dari ujian kerajaan. Kaum Konfusius yang terpinggirkan selama Dinasti Yuan selama hampir seabad dapat kembali berperan dalam pemerintahan.
Untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya dan memberikan istirahat kepada rakyat yang sudah jenuh dengan perang selama akhir Dinasti Yuan ia mendorong dibudidayakannya tanah tandus dan telantar. Petani-petani kecil menerima pembagian tanah yang adil, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat menghidupi dirinya dan keluarga mereka secara mandiri. Tahun 1370, ia menurunkan perintah untuk membagi-bagikan tanah di Anhui dan Hunan kepada para petani muda yang telah mencapai usia dewasa dengan tujuan mencegah pencaplokan tanah oleh kaum tuan tanah, juga ditegaskan bahwa status tanah tidak bisa dialihkan. Pada pertengahan masa pemerintahannya dikeluarkan sebuah kebijakan yang isinya menyebutkan bahwa mereka yang menempati tanah tandus dan telantar dapat memilikinya sebagai hak pribadi tanpa dikenai pajak. Kebijakan ini disambut hangat oleh rakyat. Dalam waktu 25 tahun saja, lahan yang dibudidayakan berkembang hingga empat kali lipat dan populasi meningkat dari tujuh juta menjadi kira-kira 60 juta.
Dengan persediaan pangan yang memadai, sektor-sektor lain seperti industri kecil, pembuatan kertas, percetakan, pertambangan, dan pembuatan kapal pun turut berkembang. Tiongkok saat itu memiliki 33 kota industri dan dagang yang besar, perdagangan internasional berkembang pesat. Sungguh sebuah prestasi besar melebihi yang belum pernah dicapai dinasti-dinasti sebelumnya. Demikianlah diletakkan landasan yang kukuh bagi 300 tahun pemerintahan Dinasti Ming.
Latar belakangnya yang berasal dari golongan kelas bawah membuatnya memahami penderitaan golongan petani yang tertindas oleh para tuan tanah, bangsawan dan orang-orang kaya. Pada zaman sebelumnya, para petani bergantung pada pejabat-pejabat daerah yang tidak hanya melanggar hak-hak mereka, tetapi juga memperdayai mereka melalui pejabat-pejabat bawahan mereka yang memeras dan menambah beban mereka. Untuk mengatasi praktik kotor tersebut, Hongwu menerapkan sistem yang dikenal dengan ‘pencatatan kuning’ dan ‘pencatatan sisik ikan’. Kedua sistem ini menjamin pemasukan kas negara dari pajak tanah dan kepemilikan rakyat atas hak milik pribadi.
Tahun 1372, Hongwu memerintahkan pembebasan atas rakyat biasa yang dijadikan budak pada akhir Dinasti Yuan. 14 tahun kemudian ia juga memerintahkan para pejabatnya untuk menebus anak-anak dari Hunan yang terpaksa dijual oleh orang tua mereka akibat bencana kelaparan yang menimpa daerah itu. Di bawah masa pemerintahannya standar hidup rakyat mengalami peningkatan.
Bidang militer
Walaupun bangsa Mongol telah diusir dari Tiongkok, tetapi mereka masih merupakan ancaman di perbatasan utara. Karena itu baginya pembangunan kekuatan militer sangat penting dan harus didahulukan demi menjaga perbatasan. Ia memutuskan pandangan kolot ajaran Konfusius bahwa golongan militer kedudukannya lebih rendah dari golongan pejabat sipil dari kaum sarjana harus ditinjau ulang. Pada masanya dibentuk sebuah sistem militer yang kuat dan terorganisasi rapi, dikenal dengan sistem Weiso yang mirip dengan sistem Fuping pada zaman Dinasti Tang. Secara politis sitem ini bertujuan menjaga militer tetap kuat namun mencegah ikatan pribadi antara komandan dan prajuritnya
Pelatihan prajurit diadakan di distrik militer masing-masing. Ketika diperlukan untuk berperang kesatuan-kesatuan dari seluruh penjuru negeri akan dipanggil dan berada di bawah komando sebuah dewan perang, lalu seorang komandan akan ditunjuk untuk mengepalai mereka. Begitu perang berakhir, mereka akan dikembalikan ke wilayah masing-masing dan kuasa militer sang komandan berakhir. Hal ini mencegah terulangnya kembali masalah seperti pada masa akhir Dinasti Tang dan Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara di mana para komandan militer memiliki kekuasaan terlalu besar sehingga mereka cenderung menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi dan memperbaiki kelemahan militer pada masa Dinasti Song di mana militer terlalu dikekang oleh pemerintah pusat sehingga strategi berperang menjadi kaku dan tidak efisien. Kaisar Hongwu menyadari beratnya beban untuk memberi makan prajurit dalam jumlah sebesar itu, dengan sistem Weiso ini kekuatan militer tetap terjaga tanpa terlalu membebani rakyat.
Hongwu memerintahkan pembangunan besar-besaran untuk memperkuat pertahanan di Tembok Besar. Pembangunan ini berlanjut hingga beberapa kaisar Ming berikutnya sehingga Tembok Besar yang berdiri hingga kini sebagian besar merupakan hasil rekonstruksi pada masa Dinasti Ming. Hongwu beberapa kali mengirimkan ekspedisi untuk mengatasi gangguan di perbatasan utara dan pasukannya banyak memperoleh kemenangan. Di Gansu, mereka berhasil mengalahkan Wang Baobao, tetapi sayang tidak berhasil menangkapnya. Di wilayah timur laut berhasil mengalahkan jenderal Mongol lainnya, Nahachu, dan memaksanya menyerah.
Bidang politik
Sejarah telah membuktikan bahwa memberi kekuasaan berlebihan pada kaum kasim sering berakibat penyalahgunaan kuasa yang berlanjut pada kekacauan negara. Belajar dari pengalaman ini, Hongwu memangkas jumlah dan hak-hak mereka. Kasim dilarang menangani dokumen dan memberi komentar tentang masalah kenegaraan, mereka dibiarkan buta huruf dan berpendidikan rendah agar mudah diatur. Ketidaksukaannya terhadap kaum kasim ini dinyatakan secara tertulis dalam sebuah prasasti yang dipajang di istana yang bertuliskan, “Kasim tidak memiliki hak apapun atas administrasi”. Namun sayangnya kebijakan ini tidak terlalu populer pada masa kaisar-kaisar berikutnya, sehingga setelah kematiannya kaum kasim kembali berpolitik. Selain tegas terhadap kasim, Hongwu juga tidak mengizinkan keluarga kerajaan memegang jabatan dalam pemerintahan. Kebijakan ini tetap dipegang oleh penerus-penerusnya sehingga tidak ada masalah serius yang timbul dari intervensi keluarga kerajaan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu.
Tahun 1380 Hongwu menghukum mati perdana menterinya, Hu Weiyong, atas tuduhan rencana makar. Sejak itu ia menghapus jabatan perdana menteri dan menumpuk kekuasaan hukum, pemerintahan dan militer di tangan sendiri sehingga dengan demikian ia yakin tidak ada satu kelompok pun yang mempunyai cukup kekuatan untuk menggulingkannya. Sebagai gantinya ia menciptakan sebuah jabatan baru yang disebut sekretaris agung yang fungsinya menjadi mediator antara kaisar dan para menteri. Untuk berjaga-jaga dari upaya kudeta, ia membentuk Pengawal Seragam Brokat (锦衣卫,Jinyiwei) yang bertanggung jawab langsung padanya. Unit ini terdiri dari agen-agen khusus yang tersebar di seluruh penjuru negeri seperti sarang laba-laba. Atas laporan agen rahasia ini, Hongwu menghukum mati jenderal Lan Yu, yang memiliki andil dalam berdirinya Dinasti Ming, atas tuduhan pemberontakan. Tak lama kemudian ia juga menghukum mati sejumlah tokoh yang turut membantunya mendirikan Dinasti Ming yang dianggapnya berpotensi untuk menjadi saingannya.
Selain itu sisi negatif dari pemerintahannya adalah membelenggu kebebasan. Kritik yang ditujukan pada dirinya bisa dianggap pelanggaran hukum dan berakibat fatal. Tabu-tabu yang membatasi penggunaan karakter Hanzi dimulai pada zaman ini. Misalnya karakter shu (殊 yang artinya menonjol), huruf ini terdiri dari dua radikal yaitu dai (歹yang berarti jahat) dan zhu (朱 marga keluarga kekaisaran), sehingga bisa diinterpretasikan sebagai Zhu yang jahat. Siapapun yang kedapatan menggunakan karakter ini dianggap menghina kaisar dan dihukum mati. Bahkan menggunakan karakter tu (秃yang berarti gundul) pun harus berhati-hati karena bisa menyinggung masa lalu Hongwu yang pernah menjadi biksu. Para cendekiawan dilarang berpikir bebas dan hanya boleh menulis cerpen delapan bagian yang kaku. Hal inilah yang mengakibatkan Tiongkok menjadi negara tertutup padahal saat itu bangsa barat sedang memulai zaman Renaisans.
Bidang hukum
Hongwu menjalankan pemerintahannya dengan tangan besi, ia selalu menuntut agar semua bawahannya untuk menjadi pejabat yang jujur dan taat hukum. Terhadap mereka yang korup dan melanggar hukum ia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman yang berat, bahkan terhadap keluarganya sendiri seperti Pangeran Zhu Liangzu dan menantunya, Ouyang Lun yang dihukum mati karena korupsi. Pernah ada seorang pejabatnya yang terbukti menggelapkan uang dihukum dengan cara dikuliti dan kulitnya dibuat tas yang lalu digantungkan di aula utama sebagai peringatan bagi yang lain. Sejarah mencatat selama masa pemerintahannya, Hongwu telah menghukum mati ribuan pejabat korup.
Kitab undang-undang yang disusun pada masa pemerintahan Hongwu adalah salah satu prestasi besar Dinasti Ming. Kitab undang-undang ini disebut Daming Lu (大明律). Hongwu secara pribadi menaruh perhatian besar dalam penyusunannya, kepada para menterinya ia memerintahkan agar isi undang-undang itu komprehensif dan mudah dimengerti, sehingga tidak meninggalkan celah hukum untuk interpretasi ganda dengan memelintir bahasanya. Undang-undang ini adalah hasil pengembangan dari masa Dinasti Tang dalam hal perlakuan terhadap budak. Pada zaman Tang, budak diperlakukan tidak manusiawi seperti binatang peliharaan saja, bila ia dibunuh oleh warga bebas, maka pembunuhnya tidak akan dikenai sanksi hukum, tetapi pada masa Dinasti Ming, baik budak maupun warga bebas dilindungi oleh hukum.
Bidang religius
Hongwu banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Konfusius sehingga dia memandang profesi pedagang itu rendah, mereka dianggap parasit yang menghisap sesamanya. Baginya pertanian adalah sumber utama bagi kesejahteraan negara (pandangan ini juga kemungkinan karena dia sendiri berasal dari golongan petani). Maka pembangunan pada masa Dinasti Ming lebih ditekankan pada pertanian. Namun bukan berarti perdagangan tidak maju. Perdagangan tetap berkembang seiring tumbuhnya sektor industri dan banyaknya penduduk mengambil profesi sebagai pedagang karena populasi yang meningkat dan kurangnya tanah untuk digarap. Selama masa pemerintahannya pula ia memperluas ajaran-ajaran Konfusius, para sarjana Konfusius mendapat jabatan penting dalam pemerintahan. Para pangeran dan putri juga dididik oleh guru-guru Konfusius. Namun ia juga toleran terhadap agama lain, beberapa jenderal kepercayaannya yang turut membantu mendirikan Dinasti Ming seperti Chang Yuchun, Lan Yu, dan Feng Sheng adalah orang Hui Muslim.
Kehidupan pribadi
Permaisuri pertama Hongwu, adalah Permaisuri Ma yang banyak berpengaruh dalam kehidupannya, seorang wanita yang bijak. Pernah suatu ketika Hongwu menangkap beberapa orang yang membuat teka-teki yang menghina Permaisuri Ma dan bemaksud menghukum mati mereka, tetapi sang permaisuri memberikan pengampunan pada mereka sehingga Hongwu membebaskannya. Ada teori yang mengatakan kematian Permaisuri Ma tahun 1382 memengaruhi karakter Hongwu hingga menjadi keras tak terkedali dan mudah menghukum mati orang dengan alasan sepele.
Selain Permaisuri Ma, Hongwu juga memiliki sejumlah selir, beberapa di antaranya adalah wanita Korea, yang dikirim padanya oleh Raja Taejo dari Joseon (Yi Seonggye) untuk menandai persekutuan antara Tiongkok dan Korea yang juga baru melepaskan diri dari pengaruh Mongol. Dari hasil perkawinannya ia dikarunia puluhan putra dan putri. Ketika wafat tahun 1398, ia digantikan oleh cucunya Zhu Yunwen karena putra sulungnya (Zhu Biao) yang seharusnya naik tahta mati muda tahun 1392. Hongwu memiliki beberapa makam palsu dengan tujuan mencegah perusakan oleh lawan-lawan politiknya dan pencurian oleh penjarah makam. Makamnya yang asli baru ditemukan pada masa Dinasti Qing di Gunung Zijin, Nanjing.
Kaisar Hongwu dalam budaya populer
Kisah hidup Hongwu/ Zhu Yuanzhang telah dijadikan serial televisi di Tiongkok antara lain Kaisar Legendaris Zhu Yuanzhang (传奇皇帝朱元璋), Zhu Yuanzhang (朱元璋), dll. Dalam novel silat karya Jin Yong, Heaven Sword and Dragon Sabre (倚天屠龙记,yang di Indonesia lebih dikenal dengan judul Golok Pembunuh Naga), Zhu Yuanzhang dilukiskan sebagai seorang yang ambisius dan tidak segan-segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dia bergabung dengan kelompok pemberontak yang bernama Kelompok Ming yang dipimpin oleh tokoh utama Zhang Wuji (Tio Buki). Di akhir cerita sebelum Zhang mengundurkan diri untuk hidup menyepi bersama kekasihnya, dia menyerahkan golok pembunuh naga dan kitab ilmu perang yang tersembunyi di dalam pedang surga pada Zhu dan berpesan padanya bila kelak berhasil mengalahkan bangsa Mongol agar mengabadikan nama kelompok mereka sebagai nama dinastinya dan menjadi kaisar yang baik, tidak menindas rakyat, dan tidak mengkhianati teman. Zhang berjanji akan mencari dan membunuhnya bila kelak ia menyimpang dari tujuan mulia kelompok itu.
Lihat pula
Catatan
- ^ Zhu Yuanzhang telah menguasai Nanjing sejak tahun 1356, dan dianugerahi gelar "Adipati Wu" (吳國公) oleh pemimpin pemberontak Han Lin'er (韓林兒) pada tahun 1361. Ia memulai pemerintahan otonom sebagai "Pangeran Wu" yang memproklamirkan dirinya sendiri pada tanggal 4 Februari 1364. Ia diproklamasikan sebagai kaisar pada tanggal 23 Januari 1368 dan mendirikan Dinasti Ming pada hari yang sama.
- ^ Setelah perebutan kekuasaan yang sukses pada tahun 1402, Kaisar Yongle membatalkan era Kaisar Jianwen dan melanjutkan era Hongwu hingga dimulainya Tahun Baru Imlek pada tahun 1403, ketika era Yongle yang baru mulai berlaku. Penanggalan ini berlanjut hingga beberapa penerusnya hingga era Jianwen direstorasi kembali pada akhir abad ke-16.
- ^ Diberikan oleh Kaisar Jianwen
- ^ Diberikan oleh Kaisar Yongle
- ^ Diubah oleh Kaisar Jiajing
- ^ Hanzi sederhana: 国瑞; Hanzi tradisional: 國瑞
- ^ Wu adalah istilah geografis yang berasal dari negara bagian Wu kuno, yang merujuk pada bagian hilir Sungai Yangtze. Penggunaan gelar Adipati Wu (sejak 1361; sejak 1364 Raja Wu) oleh Zhu Yuanzhang dan Raja Wu (sejak 1363) oleh Zhang Shicheng mencerminkan persaingan dan penyangkalan legitimasi satu sama lain.
Referensi
- ^ Goodrich & Fang (1976), hlm. 258–259.
- ^ Tsai (2001), hlm. 28.
- ^ Becker (1998), hlm. 131.
- ^ Becker (2007), hlm. 167.
- ^ Dreyer (1982), hlm. 67.
- ^ a b c Dreyer (1982), hlm. 68.
- ^ Farmer (1995), hlm. 8.
- Fu Chunjiang, “Chinese History: Ancient China to 1911”, Singapore: Asiapac Books, 2005
- Lin Shan, “Dragon Tales: China’s History from Tang to Qing”, Singapore: Asiapac Books, 2006
- Liu Wenyuan, "Tales of the Great Wall", Beijing: Foreign Languages Press, 1997
Kaisar Hongwu
| ||
Didahului oleh: Kaisar Huizong (Dinasti Yuan) |
Kaisar Tiongkok (Dinasti Ming) 1368-1398 |
Diteruskan oleh: Kaisar Jianwen |