Minhadjurrahman Djojosoegito
Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito adalah pendiri Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang merupakan Ahmadiyah aliran Lahore.
Latar belakang
Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari (1871-1947), pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito adalah seorang guru dari Yogyakarta. Pada awalnya ia adalah seorang guru aktif di Muhammadiyah, sehingga terpilih menjadi Ketua Majlis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah. Pada saat itu ia adalah seorang pengikut setia dari K.H. Ahmad Dahlan.[1]
Awal berdiri Gerakan Ahmadiyah Indonesia
Pada awal abad ke-20, Djojosoegito menjadi tertarik dengan ajaran Ahmadiyah. Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig and Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Pada saat itu, Djojosoegito menjabat sebagai sekretaris di Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan Djojosoegito menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah".[1]
Pada tahun 1926, Haji Rasul, ayah dari Hamka, mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan debat ini menjadi awal terkucilnya Djojosoegito dari lingkaran petinggi Muhammadiyah. Tahun 1926, Djojosoegito mulai mempertimbangkan bersama dengan Mirza untuk membuat organisasi yang terpisah dari Muhammadiyah. Pada 5 Juli 1928, kantor pusat Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan melarang pengajaran paham Ahmadiyah di dalam lingkup Muhammadiyah. Kemudian pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929 mengeluarkan pernyataan bahwa "orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir" yang merupakan puncak konflik antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Djojosoegito, pada saat itu menjabat sebagai ketua Muhammadiyah cabang Purwokerto, dikeluarkan dari jabatannya. Gerakan Ahmadiyah Indonesia kemudian dibentuk 10 Desember 1928 dan resmi berdiri 4 April 1930. Djojosoegito menjabat sebagai ketuanya.[1]
Djojosoegito menerjemahkan Quran Tafsir Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Jawa.