Pana Wave
Laboratorium Pana-Wave (パナウェーブ研究所 , Pana uēbu kenkyūjo) adalah salah satu dari gerakan-gerakan keagamaan baru di Jepang (Shinshūkyō). Estimasi jumlah anggota berkisar antara beberapa ratus hingga sekitar 1.200.[1]
Asal mula
Pana-Wave merupakan cabang dari gerakan keagamaan Chino-Shoho ("Hukum Sejati Chino") yang berbasis di Shibuya, Tokyo. Gerakan ini didirikan oleh seorang wanita bernama Yuko Chino pada tahun 1977 dan menggabungkan unsur-unsur ajaran Kekristenan, Buddhisme, dan New Age.
Pada pertengahan 1980-an, anggota Pana-Wave mulai menyebut diri mereka sebagai “faksi ilmiah” dan memperingatkan bahaya dari gelombang elektromagnetik yang, menurut klaim mereka, menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah serta perubahan iklim yang dahsyat. Mereka kemudian mendirikan Laboratorium Pana-Wave di Prefektur Fukui, di daerah yang dianggap memiliki tingkat polusi elektromagnetik yang lebih rendah. Pada pertengahan 1990-an, anggota Pana-Wave mulai mengenakan pakaian serba putih karena mereka percaya bahwa hal itu dapat melindungi mereka dari “gelombang elektromagnetik skalar" yang berbahaya, yang mereka klaim digunakan oleh kaum komunis untuk membunuh pemimpin mereka.
Pada tahun 1994, Pana-Wave membentuk konvoi yang terdiri dari mobil van berwarna putih yang berkeliling di pedesaan untuk mencari tempat dengan tingkat radiasi elektromagnetik yang rendah dan jauh dari jaringan listrik. Mereka mendirikan kamp untuk berbulan-bulan dan menutupi semuanya dengan warna putih. Mereka juga membawa pemimpin mereka, Chino, yang sedang sakit kanker, ke pegunungan Jepang untuk mencari tempat yang aman agar gelombang-gelombang tersebut tidak dapat menyakiti dirinya. Mereka percaya bahwa jika gelombang-gelombang tersebut mencapai pemimpin mereka, seluruh umat manusia akan binasa.
Insiden pada tahun 2003
Pana-Wave pertama kali menarik perhatian publik pada Maret 2003 ketika mereka mencoba (dan gagal) untuk menangkap Tama-chan, seekor anjing laut Arktik yang menjadi selebriti nasional setelah muncul di Sungai Tama di Tokyo pada tahun sebelumnya. Pana-Wave meyakini bahwa anjing laut tersebut tersesat karena gelombang elektromagnetik, dan mereka mengklaim bahwa kiamat dapat dihindari jika anjing laut tersebut dikembalikan ke perairan Arktik. Mereka bahkan membangun dua kolam berlapis warna putih di sebuah kamp di Prefektur Yamanashi untuk menampung Tama-chan hingga dapat dikembalikan ke Arktik.
Pana-Wave kembali menjadi berita nasional pada April 2003 ketika polisi memerintahkan konvoi mereka untuk pindah dari sebuah jalan di Prefektur Gifu. Ketika mereka menolak, terjadi kebuntuan yang diliput oleh media nasional. Pana-Wave memperkirakan bahwa kedekatan dengan planet ke-10 yang belum ditemukan, yang diprediksi akan terjadi pada 15 Mei tahun itu, akan menyebabkan kutub Bumi berbalik dan mengakibatkan gempa serta tsunami dahsyat yang dapat menghancurkan umat manusia. Mereka berusaha mencari lokasi aman untuk menghindari bencana tersebut. Tayangan TV memperlihatkan anggota Pana-Wave mengenakan pakaian serba putih, lengkap dengan tudung, masker bedah, dan sepatu bot putih. Kendaraan mereka ditutupi dengan pola pusaran yang mereka yakini dapat menetralkan gelombang tak terlihat, bahkan kemudi kendaraan mereka dilapisi plester putih. Pohon, semak-semak, dan pagar pembatas jalan di sekitar kamp juga ditutupi kain putih. Pada awalnya, kru TV dihalangi oleh anggota Pana-Wave yang takut bahwa kamera TV memancarkan gelombang berbahaya, namun akhirnya diizinkan mendekat selama mereka dan peralatan mereka ditutupi bahan berwarna putih.
Kamp tersebut akhirnya dibongkar oleh 300 polisi, beberapa di antaranya mengenakan perlengkapan anti huru-hara, yang mengancam akan menangkap mereka karena menghambat lalu lintas. Konvoi tersebut akhirnya bergerak dan segera mendirikan kamp baru. Namun, banyak orang di Jepang yang merasa terkejut dengan aktivitas Pana-Wave, yang mengingatkan mereka pada Aum Shinrikyo, sebuah sekte keagamaan teroris yang melakukan serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo pada tahun 1995. Akibatnya, konvoi tersebut ditolak di berbagai desa. Menjelang hari kiamat yang diperkirakan, sekitar seratus polisi anti huru-hara dan kru TV mengikuti konvoi Pana-Wave yang fotogenik itu di pedesaan Jepang selama beberapa minggu untuk mengawasi aktivitas mereka.
Pada 14 Mei, sehari sebelum kiamat yang diperkirakan, polisi menggerebek dua belas lokasi yang terkait dengan Pana-Wave dengan alasan pelanggaran administrasi kendaraan minor. Namun, tidak ditemukan indikasi bahwa mereka menimbulkan bahaya bagi masyarakat.
Ketika tanggal 15 Mei berlalu tanpa kejadian serius, kecuali gempa kecil di Tokyo yang melukai seorang anak yang jatuh dari kasurnya dan patah tangan, seorang anggota Pana-Wave yang dianggap sebagai tangan kanan Chino menyatakan bahwa mereka salah menghitung tanggalnya, dan menetapkan tanggal baru, 22 Mei. Namun, setelah tanggal tersebut berlalu tanpa bencana apapun, perhatian media pun berkurang dan Pana-Wave kembali tenggelam dalam ketidakjelasan.
Pada 25 Oktober 2006, Yuko Chino meninggal pada usia 72 tahun.
Lihat pula
Hipersensitivitas elektromagnetik
Catatan
- ^ Metropolis, "Fortean Japan", 27 June 2008, p. 12.