Petrus Nam Kyong-mun
Petrus Nam Kyong-mun (1796-1846) adalah seorang martir Katolik Korea yang lahir di Seoul pada tahun 1796. Ketika dia masih muda, dia adalah seorang tentara, dan kemudian dia bekerja sebagai penjual kerang asin. Petrus menikah dengan Barbara Ho ketika dia berusia 22 tahun. Dia dipertobatkan oleh Petrus Pak dan dibaptis.
Sebelum Petrus mengetahui tentang doktrin Katolik, dia melakukan peminjaman uang dengan bunga yang tinggi. Ketika Pastor Pasifikus Yu memberitahu dia bahwa yang dia lakukan bertentangan dengan etika Gereja, dia menghentikan perbuatan yang tidak bermoral itu dan mengembalikan bunga yang sudah dia terima. Kemudian dia menemani dan membantu para misionaris dalam mengunjungi tempat misi dan melayani sakramen-sakramen.
Pada tahun 1839, dia hampir ditangkap oleh polisi, namun saudara-saudaranya yang masih pagan membantu dia melarikan diri. Setelah penganiayaan selesai dan tidak ada lagi misionaris, dia tidak lagi menjalankan imannya selama sekitar dua atau tiga tahun. Pada tahun 1844 atau 1845 dia memutuskan untuk mengubah hidupnya, dan menyesali dosa-dosanya. Petrus berpikir bahwa satu-satunya tindakan penebusan yang bisa dia lakukan yaitu dengan menjadi martir. Sebagai upaya penebusan dosa, dia bangun setiap pagi sebelum matahari terbit dan berdoa selama beberapa jam. Dia tinggal dan tidur di sebuah ruangan dingin yang tidak menggunakan penghangat. Oleh karena itu, dia menjadi sakit dan dia menganggapnya sebagai anugerah istimewa dari Allah dan dia tidak mengeluh.
Petrus dikenal sebagai seorang Katolik yang luar biasa, dan akhirnya dia ditangkap pada bulan Juli 1846. Istrinya berusaha untuk menghentikan dia dari penangkapan, namun dia memberitahukan istrinya bahwa dia tidak dapat hidup lebih lama lagi.
Ketika Petrus berada di dalam penjara, salah seorang saudaranya mengirimkan makanan dan pakaian untuknya, namun sebagai upaya penebusan dosa, dia menolaknya. Dia merasa takut untuk bertemu dengan saudaranya yang sedang mengunjungi dia, karena dia pikir imannya bisa melemah. Dalam suatu sesi penyiksaan, dia mengembalikan tanda pengenal militernya, yang menunjukkan bahwa dia pernah menjadi tentara. Dalam suatu kejadian lainnya, polisi memukul dia dengan gada dengan sangat keras sampai gada itu mematahkan bahunya.
Beberapa sahabatnya berusaha membujuknya supaya dia menyerah dari imannya, namun dia tidak mau. Dia dipukuli lagi dan lagi dan diminta untuk membeberkan keberadaan umat Katolik, namun dia hanya memberitahukan nama-nama yang sudah meninggal. Dia mengalami banyak siksaan berat.
Petrus dan enam orang Katolik lainnya akhirnya dipukuli sampai mati pada tanggal 20 September 1846, berdasarkan catatan pemerintahan (Catatan Harian Sungjongwon). Mereka mungkin juga dicekik. Berdasarkan kesaksian Uskup Agung Mutel, mereka awalnya dihukum dengan dipukuli sampai mati, namun mereka yang tidak mati dengan dipukul kemudian dicekik sampai mati. Petrus menjadi martir pada usia 50 tahun.[1]