Suster Puteri Kasih
Suster Puteri Kasih adalah puteri-puteri Gereja Katolik yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan dalam diri orang-orang miskin. Dalam Gereja Katolik, Serikat Suster-Suster Puteri Kasih berada dalam jajaran Serikat Hidup Kerasulan. Serikat atau kongregasi (sebutan untuk kelompok religius Katolik) suster Puteri Kasih ini didirikan oleh Santo Vincentius a Paulo dan Luisa de Marillac tahun 1633 di Prancis. Di seluruh dunia, serikat Puteri Kasih memiliki anggota sekitar 22.500 suster yang tersebar di negara-negara di lima benua. Pemimpin jenderalnya bernama Sr. Evelyn Franc. Di Indonesia Suster Puteri Kasih dikenal dengan singkatan Suster PK. Jumlah suster Puteri Kasih Indonesia: 90-an suster lebih. Rumah Pusat atau rumah provinsialat Suster PK ada di Kediri, Jalan Brawijaya, no. 63, Kediri 64123; telpon/fax: 0354 681330.
Awal Sejarah Puteri Kasih
Pada abad ke-17 di Prancis terdapat kemiskinan yang hebat. Kemiskinan itu diakibatkan oleh perang saudara yang berkecamuk. Kemiskinan tidak hanya terjadi di desa-desa, yang biasanya menjadi tempat pertempuran, melainkan juga di kota-kota. Adalah seorang imam Katolik, Vincentius a Paulo namanya, salah satu dari para imam pembaharu Gereja Katolik Prancis, yang amat prihatin melihat kemiskinan pada waktu itu. Setelah pengalaman berkotbah di Folleville (1617) yang menjadi asal usul pendirian Kongregasi Misi (CM) dan Chatillon les Dombes yang menjadi titik tolak pendirian "konferensi cinta kasih" (atau persaudaraan ibu-ibu cinta kasih), Vincentius mengumpulkan gadis-gadis yang bersedia melayani orang miskin. Mereka bekerjasama dengan kelompok ibu-ibu cinta kasih untuk merawat dan melayani orang miskin. Sampai pada suatu saat, datanglah seorang gadis desa bernama Margaret Nasseau yang menyediakan diri untuk mengunjungi dan melayani orang-orang miskin secara total. Pengabdian Margaret Nasseau membuat Vincentius mengerti apa yang dikehendaki Tuhan untuk melayani umatnya yang miskin dan menderita. Margaret Nasseau sendiri wafat beberapa saat kemudian tahun 1633, karena terjangkit penyakit yang mematikan dari pasien orang miskin yang dia layani. Sesudah kematian Margaret Nasseau, Vincentius mengumpulkan beberapa gadis (empat atau lima orang) dan menyerahkannya kepada Luisa de Marillac, seorang janda suci dengan satu anak, untuk dibina. Berkumpulnya beberapa gadis inilah yang kemudian dimaknai sebagai awal pendirian kongregasi suster-suster Puteri Kasih. Dan, kehadiran mereka, menurut Vincentius a Paulo, adalah untuk melakukan apa yang dikerjakan oleh "Puteri Kasih Pertama", Margaret Nasseau, yaitu mengunjungi, melayani, merawat orang-orang miskin dimana pun mereka diutus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 November 1633. Dan, Luisa de Marillac dipandang sebagai "ibu" yang membina dan memimpin para gadis yang kelak akan memberi sumbangsih besar dalam karya cinta kasih kepada Gereja dan dunia.[1]
Di dalam Sejarah Gereja, kehadiran Suster Puteri Kasih dipandang revolusioner dalam jamannya. Maksudnya, Suster Puteri Kasih adalah tarekat religius pertama yang dapat pergi leluasa untuk melayani orang-orang miskin. Sebab, pada waktu itu yang disebut tarekat religius harus tinggal di dalam biara-biara. Sementara, para suster Puteri Kasih tidak tinggal di dalam biara, melainkan pergi melayani dan mengunjungi mereka yang telantar dan terluka.[2]
Dalam sejarahnya, para Suster Puteri Kasih adalah tarekat religius yang banyak bertugas di garis depan, seperti pada waktu perang mereka bertugas untuk merawat para korban perang maupun serdadu-serdadu yang terluka. Ketika kemiskinan di Eropa merebak hebat seiring dengan revolusi Prancis yang tidak kunjung selesai, para suster ini mencurahkan tenaganya untuk melayani mereka, membagi sup hangat, mengobati yang sakit. Sesudah Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua para suster Puteri Kasih banyak menangani rumah-rumah sakit. Saat ini seiring dengan jumlah anggota yang terus menyusut, mereka mencurahkan diri dalam pelayanan-pelayanan yang lebih fleksibel untuk orang-orang miskin baru, seperti penderita AIDS, orang-orang kusta, anak-anak yatim piatu, merawat korban bencana alam, pendidikan sekolahan, pelayanan kesehatan di klinik-klinik, dan pastoral orang muda.
Ketika revolusi Prancis jumlah para suster Puteri Kasih cukup banyak. Tetapi pada abad XVIII-XIX, seperti banyak kongregasi religius lain, Puteri Kasih mengalami badai penderitaan. Tidak sedikit para Puteri Kasih yang wafat sebagai martir.[3]
Semangat Puteri Kasih
Semangat para suster Puteri Kasih tergambar secara nyata dalam lambang logonya, yang bertuliskan: Caritas Christi urget nos. Artinya, "Cinta Kasih Kristus mendorong kami." Tulisan ini mengelilingi gambar hati yang bernyala yang di depannya terdapat gambar Salib. Ketika para suster Puteri Kasih menghayati kehadirannya dalam lambang hati yang bernyala, ketika itu seorang Puteri Kasih adalah pribadi penuh cinta, cinta Kristus sendiri, yang memberi diri seutuhnya untuk melaksanakan kehendak Allah, yaitu melayani dan mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin. Identitas hidup Puteri Kasih adalah cinta, cinta Kristus sendiri.[4] Kata Santo Vincentius berkaitan dengan panggilan dan perutusan Puteri Kasih: "Kalian adalah Puteri-Puteri Kasih yang miskin yang mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah untuk pelayanan mereka yang miskin."[5]
Ciri khas Puteri Kasih sejak awal pendiriannya adalah bahwa mereka menghayati hidup komunitas, komunitas untuk pelayanan kepada orang miskin bagaikan para rasul Yesus Kristus. Meskipun para Suster Puteri Kasih menjalani hidup aktif, mereka tidak jatuh dalam aktivisme. Mereka juga mengontemplasikan Kristus dan bersatu dengan-Nya dalam hati dan dalam hidup orang-orang miskin yang dilayani. Dan, dalam pelayanan mereka menghadirkan Kerajaan Allah.
Menurut Vincentius a Paulo, bila seorang Suster Puteri Kasih berjumpa dengan orang miskin sepuluh kali dalam sehari, sepuluh kali itu pula mereka berjumpa dengan Yesus. Di sini, dalam karya nyata untuk orang miskin, seorang Suster Puteri Kasih masuk dalam hubungan mesra dengan Yesus sendiri.
Puteri Kasih di Indonesia
Kedatangan Awali
Puteri Kasih di Indonesia berawal dari kedatangan tiga suster pertama, Sr. Andrea PK, Sr. Henriette PK, dan Sr. Amelia PK pada tahun 1931 atas undangan dari Prefek Apostolik Surabaya, Mgr. Theophile de Backere CM. Mereka pertama-tama bertugas di rumah panti asuhan Don Bosco, Surabaya. "Jumat pagi pukul 06.00 kami sudah duduk di kereta api dan pukul delapan malam kami akan tiba. Cuaca amat panas dan perjalanan sangat melelahkan akan tetapi kedatangan kami di ons Indie (Indonesia kita) ini melupakan segala kelelahan perjalanan," kisah dari Sr. Andrea van de Laak, PK sebagai kalimat pembuka dari surat pertamanya.[6]
Para Suster Puteri Kasih dari Belanda dari tahun 1931 hingga tahun 1939 (tahun terakhir sebelum Perang Dunia II) sudah mencapai 19 suster. Sementara periode 1940 sampai 1948 merupakan periode gelap dari sudut sejarah dunia, Indonesia, maupun karya pelayanan para suster PK. Mereka mengalami susah dan deritanya Perang Dunia II. Di antara mereka, terdapat Sr. Louise yang meninggal karena kekurangan makanan di interniran Jepang Semarang. Kedatangan misionaris selanjutnya baru mungkin tahun 1948. Sampai tahun 1964, tahun terakhir kedatangan para suster misionaris PK Belanda, para suster semuanya ada 32 orang. Dari jumlah itu, yang paling lama bekerja adalah Sr. Ludgera Gales PK (50 tahun bekerja di Indonesia). Ia banyak mengabdi untuk karya rehabilitasi penderita kusta di Kediri.[7]
Karya Saat Ini
Saat ini,[8] para suster Puteri Kasih mengabdi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di keuskupan Surabaya, Malang, Jakarta, pedalaman Kalimantan Barat, Batulicin Kalimantan Selatan, dan siap melayani para korban bencana alam dan kebutuhan mendesak. Dalam melayani orang miskin, para Suster Puteri Kasih banyak menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga dari masyarakat dari segala golongan. Selain itu, beberapa suster juga berkarya misi di luar negeri, seperti di Jepang dan Prancis.
Di Surabaya, para suster PK melayani di Panti Asuhan Don Bosco, Jalan Tidar 115. Di Panti Asuhan ini, para suster melayani anak-anak dengan penuh kasih. Dari beberapa alumni terdapat nama-nama penting yang menjadi pelayan Gereja, seperti Romo Tondowidjojo CM, Romo Marsup CM, Romo Uroto Sastro Pr (almarhum) dan beberapa usahawan di Surabaya. Selain panti asuhan, para suster berkarya pula di sekolah-sekolah TK, SD, dan SMP. Sekolah-sekolah ini umumnya dimaksudkan untuk pelayanan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak dari keluarga-keluarga kurang mampu. Di samping sekolah, para suster PK juga menanggapi kebutuhan-kebutuhan baru, seperti pelayanan poliklinik dan tempat penitipan anak (TPA).
Di Kediri, para suster PK melayani karya-karya TK, SD, dan SMP St. Maria. Disamping Rumah Provinsialat, Jalan Brawijaya 63 juga merupakan rumah pembinaan, yang disebut Rumah Seminari, dibina para calon Suster PK. Di kota Kediri, para suster juga melayani dengan penuh kasih para nenek-nenek jompo, Panti Wreda di Jalan Dandangan III/29; pelayanan kesehatan, pelayanan rumah retret, penitipan anak-anak, koperasi kredit untuk pemberdayaan ekonomi lemah, karya pastoral untuk pemberdayaan para buruh perempuan di pabrik rokok, dan pelayanan untuk rehabilitasi para penderita kusta.
Di Garum, dimana terdapat Seminari Garum, para suster PK disamping terlibat dalam pembinaan awal para calon imam juga memberikan pelayanan kesehatan di poliklinik.
Di Bojonegoro, para suster berkarya di asrama anak-anak perempuan yang belajar dan melayani pendidikan tingkat TK dan SD; sementara di Tulungagung, mereka juga berkarya dengan penuh dedikasi bagi anak-anak TK, SD dan SMP; di Cepu, para suster bertekun melayani anak-anak kurang mampu dengan asrama dan pelayanan kesehatan di BKIA, serta membantu pelayanan pastoral di paroki.
Di Malang, mereka terlibat dengan hati untuk mengabdi keluarga-keluarga kurang mampu dengan pelayanan kesehatan, penyediaan rumah sewa sederhana, dan asrama serta pendidikan kursus komputer bagi anak-anak.
Di Jakarta, dengan didukung penuh oleh Gereja Paroki maupun keuskupan agung Jakarta, para Suster PK tinggal bersama keluarga-keluarga miskin di lingkungan kumuh di Cilincing, Jakarta dan di Warakas Priuk, Jakarta. Mereka berkarya bersama dan untuk mengabdi para nelayan serta keluarga-keluarga miskin. Mereka melakukan bimbingan belajar, pelayanan gizi bagi anak-anak, pelayanan kesehatan, dan bersama para dokter muda melayani pula pengobatan yang diperlukan bagi orang-orang miskin di sana.
Di Banjarmasin, tepatnya di Bati-Bati, para suster PK mengabdi mereka yang sudah jompo dalam suatu asrama bekerjasama dengan donatur-donatur di sana dan keuskupan Banjarmasin; sementara di Batulicin, mereka membantu paroki dalam pelayanan pastoral dan bimbingan belajar anak-anak. Mereka terjun ke wilayah-wilayah yang terpencil dan sulit dijangkau.
Di Serawai, Pedalaman Kalimantan Barat, termasuk keuskupan Sintang, Para Suster PK bersama para Romo CM berkarya di asrama dan membantu bimbingan belajar bagi anak-anak miskin, terpencil di sana. Mereka adalah anak-anak dan masa depan keluarga mereka, keluarga Dayak. Para Suster PK melayani dengan penuh kasih orang-orang Dayak di sana.
Para suster PK juga saat ini telah mengirim beberapa susternya untuk tugas misi ke luar negeri, di antaranya ke Jepang dan Prancis, dan akan menyusul ke wilayah-wilayah dimana kehadiran mereka dibutuhkan.
Pemimpin Puteri Kasih Indonesia sejak tahun 1931 sampai sekarang:
Sr. Andrea PK (1931-1964)
Sr. Anna Marie PK (1964-1967)
Sr. Ancilla PK (1967-1973)
Sr. Agnes PK (1973-1982)
Sr. Tarsisia PK (1982-1991)
Sr. Laetitia PK (1991-2000)
Sr. Anna PK (2000-2009)
Sr. Victorine PK (2009 - )
Referensi
- ^ Jose Maria Roman CM, St. Vincent de Paul. A Biography, London, Melisende, 1999, hlm. 453-470; khususnya dalam bab XXVIII tentang "Consolidation of the Daughters of Charity".
- ^ Ibid., hlm. 455 dst.
- ^ Armada Riyanto CM, Sr. Engelina PK, Sr. Anna PK, 75 Tahun Perjalanan Puteri Kasih di Indonesia, Kediri, PK Indonesia, 2006, hlm. 5.
- ^ Ibid., hlm. 3.
- ^ SV IX, Conf. 45.
- ^ Surat Sr. Andrea tanggal 16 November 1931 dari Surabaya kepada Suster Visitatris di Belanda, Sr. Agnes Wauters.
- ^ Armada Riyanto CM, Sr. Engelina PK, Sr. Anna PK, 75 Tahun Perjalanan Puteri Kasih di Indonesia, hlm. 61.
- ^ Ibid. hlm. 73-123.