Moko (drum)
Moko abadi adalah drum dengan bagian atas dan bawah yang tertutup, dibuat dengan variasi ukuran yang berbeda-beda dan dapat terbuat dari moko abadi logam perunggu, tembaga atau kuningan. Moko telah dipakai sejak ratusan tahun silam sebagai alat tukar (barter) dalam perdagangan dan dibuat dalam beberapa jenis ukuran.[1] Dari penelusuran yang telah dilakukan, pembuatan drum telah berlangsung sejak peradaban awal kuno dan dapat ditemukan tersebar di Cina Selatan dan Asia Tenggara. Di daerah Nusa Tenggara Timur secara khusus, Moko telah dipakai sebagai alat musik di abad ke-17 karena bentuknya yang mirip kendhang. Namun sejak abad ke-19 lebih sering dipakai sebagai maskawin oleh kalangan masyarakat Alor.[2]
Bentuk fisik moko yang seperti drum memiliki tinggi 80-120 centimeter dengan bagian tengah agak mengecil dengan diameter lubang sisi atas dan bawah sekitar 40-70 centimeter. Selain jenis ini, terdapat moko yang berdiameter 50-100 centimeter dan tinggi 50-250 centimeter. Masyarakat Alor menyebutnya sebagai nekara dimana objek ini jarang dibawa-bawa dan jarang dipakai sebagai maskawin.[1] Secara umum, kepemilikan Moko akan meningkatkan status sosial yang dianggap menghargai warisan leluhur meskipun tidak pernah dibuat langsung oleh masyarakat Alor. Oleh karena itu, penggunaan moko telah lama menjadi lambang status sebagai otoritas elit setempat serta simbol kesuburan sehingga lumrah dipakai sebagai alat maskawin.[2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Asal-usul moko telah didokumentasikan dengan baik dimana pertukaran ide budaya melalui kontak komersial perdagangan yang berkelanjutan telah mengakibatkan penyaluran beberapa simbolisme seperti kendhang perunggu ke Indonesia timur. Adapun jalur perdagangan yang menyalurkan simbolisme hingga jarak jauh di waktu periode tertentu adalah rute perdagangan tradisional kuno yang terbentang sepanjang Timur Tengah dan India, jalur tersebut telah melalui Asia Tenggara dan berlanjut sampai ke Cina.[2]
Terdapat dua sumber penting dalam sejarah yang tercatat mempengaruhi penyaluran di Indonesia timur yaitu kerajaan kembar Makasar Gowa-Tallo pada abad ke-13 hingga 16 Masehi. Khusus kerajaan Tallo yang dominan dengan sektor maritim diketahui memiliki situs arkeologi yang ternyata mencatat semua kontak lama yang telah terjadi sepanjang sejarah. Dengan letaknya di semenanjung barat daya pulau Sulawesi, Gowa-Tallo diketahui memiliki hubungan dagang yang ekstensif dengan kepulauan barat, dimana penyaluran gagasan dari barat daya Sulawesi difasilitasi hingga lebih jauh ke bagian timur Nusantara. Selain itu, adanya perjodohan yang tercatat terjadi antara penguasa Tallo dengan Surabaya pun turut mendukung kemajuan pesat dalam penyaluran simbolisme ini. Hal ini dikarenakan posisi kota Surabaya merupakan pelabuhan utama Kerajaan Majapahit (di ujung timur pulau Jawa) yang melayani perdagangan rempah internasional.[2] Penguasa Tallo dikenal sering mengunjungi partner-partner dagang di kepulauan Ende (Flores), Banda dan Nusa Tenggara. Permulaan inilah yang kemudian bergulir hingga situasi politik sosial wilayah timur terkait penggunaan simbolisme kendhang perunggu berkembang. Fakta sejarah ini didukung dengan pengamatan bentuk fisik moko dimana pola hiasnya beragam tergantung zaman pembuatannya, bila diperhatikan seksama bentuknya mirip dengan benda-benda perunggu di Pulau Jawa pada masa Kerajaan Majapahit.[3] Tradisi rakyat mencatat bahwa pedagang asing pada mulanya memperkenalkan moko yang rupanya dibawa dari perantara perdagangan Melayu-Cina yang bertautan langsung dengan situs produksi moko di masa fase Dong Son, Vietnam utara atau barat daya Cina. Sementara di abad ke-19, moko mulai dibuatkan menggunakan bahan kuningan, yang sebagian besar dibuat di Gresik, Jawa Timur dan dibawa dalam peredaran oleh pedagang Jawa dan Sulawesi.[2]
Secara umum, banyak suku tradisional di Pulau Alor percaya bahwa moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya sangat tinggi. Namun pada masa terdahulu, moko telah difungsikan sebagai alat tukar ekonomi masyarakat pulau ini, bahkan sempat menyebabkan inflasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda sehingga penguasa pun membuat sistem baru dengan membatasi peredaran moko di Pulau Alor. Di beberapa suku tradisional di Pulau Alor, moko juga digunakan sebagai kendhang untuk mengiringi tarian adat selain sebagai maskawin dan alat tukar pembayaran. Penggunaan ini pun disesuaikan dengan jenis dan keutuhan moko. Namun alat musik gong dan moko biasanya dimainkan untuk mengiringi tari-tarian tradisional seperti tarian lego-lego. Dari aktivitas ini kemudian moko memiliki nilai sosial yang tinggi di kalangan masyarakat Alor hingga pada akhirnya daerah setempat dijuluki sebagai ‘Alor, Pulau Seribu Moko’.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Asdhiana, I Made (ed.). "Museum 1.000 Moko bagi Generasi Muda Alor". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-11-16.
- ^ a b c d e "Cultural History In Focus | "The Social Value of Elephant Tusks and Bronze Drums among Certain Societies in Eastern Indonesia" by Leonard Yuzon Andaya". Art of The Ancestors | Island Southeast Asia, Oceania, and Global Tribal Art News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-16.
- ^ a b "Sejarah Moko di Alor, NTT". 10/11/2013.