Lompat ke isi

Pengendalian diri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri secara sadar agar menghasilkan perilaku yang tidak merugikan orang lain, sehingga sesuai dengan norma sosial dan dapat diterima oleh lingkungannya.[1] Pengendalian diri juga didefinisikan sebagai kapasitas manusia untuk mengendalikan respon terutama dalam fungsinya untuk beradaptasi dengan norma ideal, moral, ekspektasi sosial, dan pencapaian jangka panjang.[2] Pengendalian diri berkairan erat dengan internal locus of control[3] dan efikasi diri.[4]

Sejarah penelitian

[sunting | sunting sumber]

Tahun 1977 - 1990

[sunting | sunting sumber]

Konsep awal pengendalian diri telah dimulai pada bidang ilmu psikologi sejak tahun 1977 dengan istilah efikasi diri.[1] Pada tahun tersebut, Bandura mengatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Efikasi diri menentukan seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu.[4] Mengacu pada definisi tersebut, pada tahun 1980 seorang tokoh psikologi bernama Rosenbaum memperkenalkan istilah pengendalian diri dan mengoperasionalkan konsep awal tentang pengendalian diri lewat skalanya Self-Control Schedule. Rosenbaum menganggap bahwa pengendalian diri dapat dipelajari dan perlu adanya keyakinan bahwa ia mengontrol perilakunya sendiri tanpa bantuan dari luar dirinya.[5] Hasil penelitian Rosebaum menunjukkan bahwa pengendalian diri berhubungan dengan internal locus of control, yaitu kecenderungan seseorang menganggap penguatan atau hasil dari perilaku berasal dari perilaku mereka sendiri dan karakteristik personal. Di masa ini, konsep awal pengendalian diri merupakan bagian dari internal locus of control yang dicetuskan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1990.[3]

Tahun 1990 - 2010

[sunting | sunting sumber]

Hampir satu dekade setelahnya, Baumeister dan Heatherton memulai penelitian yang mengacu pada konsep awal pengendalian diri oleh Bandura dengan istilah regulasi diri. Mereka menganalisis tiga aspek dari pengendalian diri dan mengatakan bahwa regulasi diri merupakan sumber daya yang terbatas, misalnya ketika seseorang sedang kelelahan maka ia akan mudah kehilangan regulasi diri. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa impuls yang muncul memiliki kekuatan, dan regulasi diri harus memiliki kekuatan yang lebih besar agar individu dapat mengontrol dan menahan impuls tersebut; hal itu juga yang membuat seseorang akan kesulitan meregulasi beberapa impuls dalam satu waktu[6].
Pada penelitian selanjutnya pada tahun 2002, Baumeister mengatakan bahwa pengendalian diri dan regulasi diri mengacu pada hal yang sama, yaitu kapasitas seseorang untuk mengendalikan perilaku dirinya yang muncul secara tiba-tiba dan mengganti perilaku tersebut dengan perilaku lain yang lebih sesuai. Perilaku tersebut dapat berbentuk pikiran (menolak pikiran buruk dan berusaha berkonsentrasi), mengubah emosi (melepaskan perasaan yang tidak menyenangkan), meregulasi impuls (bertahan terhadap godaan), dan meningkatkan performansi kerja.[7] Kapasitas tersebut memampukan individu untuk hidup dan bekerja bersama dalam sistem budaya yang ada dan memberikan manfaat bagi semua manusia yang ada dalam sistem tersebut.[8] Penelitian selanjutnya yang lebih berfokus pada dampak pengendalian diri mendefinisikan istilah pengendalian diri sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengubah respon diri, termasuk mencegah impuls perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri untuk tidak melakukannya.[9] Hal itu membuat pengendalian diri yang rendah disebut sebagai impulsivitas dan ketidaksabaran seseorang untuk memuaskan keinginan secepatnya[10].
Baumeister, Vohs, dan Tice (2007) melihat pengendalian diri merupakan kapasitas manusia untuk mengendalikan respon terutama dalam fungsinya untuk beradaptasi dengan norma ideal, moral, ekspektasi sosial, dan pencapaian jangka panjang. Namun berbeda pada penelitian sebelumnya, mereka mengatakan bahwa pengendalian diri lebih mengacu pada perilaku yang disadari dan membutuhkan usaha untuk melakukannya, sedangkan regulasi diri lebih dipandang sebagai proses homeostatis seperti mempertahankan suhu tubuh.[2]

Aspek-aspek pengendalian diri

[sunting | sunting sumber]

Baumister (2002 dalam Gandawijaya, 2017) mengatakan paling tidak terdapat tiga aspek utama dalam pengendalian diri. Standar-standar, pengawasan, dan kapasitas untuk berubah, merupakan tiga aspek utama untuk mengendalikan perilaku seseorang. Jika salah satu dari tiga aspek itu hilang, maka akan berakibat pada berkurangnya pengendalian diri. Dapat disimpulkan bahwa ketiga aspek tersebut membentuk kemampuan seseorang untuk melakukan pengendalian diri.[1]

Standar-standar

[sunting | sunting sumber]

Standar-standar mengacu pada adanya tujuan-tujuan, persepsi-persepsi ideal, norma-norma yang ada, dan pedoman lainnya yang akan menentukan secara spesifik respon perilaku yang diinginkan. Standar-standar tersebut biasanya sesuai dan tidak berkonflik dengan lingkungan sosialnya. Seseorang yang memiliki standar-standar dan tidak berkonflik dengan lingkungan sosialnya mengetahui secara pasti apa yang ia inginkan, sehingga tidak akan mudah jatuh pada perilaku impulsif. Orang tersebut akan berusaha mengendalikan perilakunya untuk mengejar standar-standar yang tinggi dan sesuai dengan lingkungannya. Hal yang berbeda akan terjadi jika seseorang tidak memiliki standar-standar. Ia akan mudah mengikuti impuls yang muncul dalam dirinya tanpa ada kemauan untuk mengendalikan keinginan tersebut karena ia tidak memiliki tujuan-tujuan, persepsi ideal, norma-norma, atau standar yang ada. Begitu pula ketika individu memiliki standar-standar, tetapi terdapat konflik antara standar diri dan standar lingkungan sosialnya. Standar diri yang berkonflik dengan standar lingkungan sosial akan membuat tujuan seseorang menjadi tidak jelas.

Pengawasan

[sunting | sunting sumber]

Pengawasan mengacu pada bagaimana seseorang menjaga perilakunya sesuai dengan standar-standar yang telah ia miliki. Seseorang yang memiliki pengawasan terhadap perilakunya akan mampu memperkirakan secara tepat konsekuensi dari perilaku yang ia lakukan. Seseorang yang kehilangan acuan, lupa akan standar-standar yang telah ia miliki, atau tidak tepat dalam memperkirakan konsekuensi dari perilakunya, akan menurunkan pengendalian diri dan jatuh dalam perilaku impulsif. Salah satu hal yang mampu membuat seseorang melepaskan pengawasan terhadap perilakunya adalah konsumsi alkohol. Seseorang yang mabuk alkohol akan berhenti mengawasi perilakunya dari menghabiskan uang, makan-makan, merokok, bahkan untuk minum lagi.

Kapasitas untuk berubah

[sunting | sunting sumber]

Kapasitas untuk berubah merupakan aspek yang penting dari kedua aspek sebelumnya. Kapasitas ini mengacu pada kemampuan untuk mengumpulan kekuatan yang dibutuhkan untuk mengganti atau membatasi perilaku yang tidak sesuai. Tanpa kapasitas untuk berubah, maka kedua aspek sebelumnya tidak berarti. Walaupun seseorang memiliki standar-standar dan pengawasan yang tinggi, tetapi jika ia tidak mampu melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa pengendalian dirinya menurun.

Dampak pengendalian diri

[sunting | sunting sumber]

Berbagai penelitian telah menunjukkan peran pengendalian diri dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memiliki pengendalian diri yang tinggi akan berdampak pada peningkatan performansi kerja, pengendalian impuls yang baik, penyesuaian dan stabilitas harga diri, hubungan interpersonal yang baik, dan kurangnya perilaku agresi. Pada sisi lain, pengendalian diri yang rendah akan berdampak pada penurunan performansi kerja, impulsivitas, ketidakmampuan melakukan penyesuaian psikologis, stabilitas harga diri yang rendah, kurangnya hubungan interpersonal, dan meningkatnya perilaku agresi.[1]

Peningkatan performansi

[sunting | sunting sumber]

Penelitian yang dilakukan oleh Tangney, Baumister, dan Boone menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pengendalian diri yang tinggi juga memiliki IPK yang lebih baik daripada seseorang yang memiliki pengendalian diri rendah. Hal itu terjadi karena pengendalian diri membuat seseorang memiliki kedisiplinan diri dan menghindari prokrastinasi, sehingga berdampak pada peningkatan performansi akademis maupun performansi kerja.[9]

Pengendalian impuls

[sunting | sunting sumber]

pengendalian diri juga memiliki kontribusi terhadap pengendalian impuls. Seseorang yang memiliki pengendalian diri rendah akan mudah berperilaku impulsif dan difungsional. Tochkov juga menyebutkan bahwa kurangnya pengendalian diri ini disebut impulsivitas, yaitu ketidaksabaran seseorang untuk memuaskan keinginannya.[9] Seseorang yang impulsif akan lebih memilih penghargaan yang kecil namun langsung dapat diterima daripada penghargaan yang besar namun tidak langsung diberikan. Kurangnya pengendalian diri menyebabkan berbagai perilaku bermasalah seperti perilaku makan berlebihan, konsumsi alkohol, diskriminasi, dan kekerasan.[2]

Penyesuaian psikologis

[sunting | sunting sumber]

Seseorang yang memiliki pengendalian diri akan mampu melakukan penyesuaian psikologis, memiliki harga diri, dan stabilitas harga diri. Pengendalian diri yang rendah berhubungan dengan kecemasan, permusuhan, kemarahan, ketakutan, dan pikiran paranoid. Pengendalian diri juga berhubungan dengan penghargaan diri dan kemampuan untuk mempertahankan harga diri.[9]

Hubungan interpersonal

[sunting | sunting sumber]

Pengendalian diri yang tinggi juga berkorelasi dengan hubungan interpersonal yang lebih baik dibandingkan seseorang dengan pengendalian diri rendah. Hal ini terindikasi dari keakraban keluarga yang tinggi dan konflik keluarga yang rendah pada orang dengan pengendalian diri tinggi. Selain itu, orang dengan pengendalian diri tinggi lebih memiliki kelekatan aman dan tingkat empati yang optimal.[9]

Pereda agresivitas

[sunting | sunting sumber]

Penelitian yang dilakukan oleh Denson, DeWall, dan Finkel menunjukkan bahwa pengendalian diri menjadi salah satu hal yang menghambat perilaku agresi. Penelitian tersebut mengulas hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang mekanisme pengendalian diri dan hubungannya dengan agresi. Dari hasil ulasan tersebut disimpulkan bahwa mengurangi pengendalian diri akan meningkatkan agresi, dan meningkatkan pengendalian diri akan mengurangi agresi.[11]

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Gandawijaya, L.E. (2017) The correlation between Self-Control and Electronic Aggression on Social Media users in Emerging Adulthood. Thesis: Psychology Departement, Sanata Dharma University. doi:10.13140/RG.2.2.34270.74568.
  2. ^ a b c Baumeister, R. F., Vohs, K. D., & Tice, D. M. (2007). The Strength Model of Self-Control. Current Directions in Psychological Science, 16(6), 351-355. doi:10.1111/j.1467-8721.2007.00534.x
  3. ^ a b Rotter, J. B. (1990). Internal Versus External Control of Reinforcement: A Case Hosti. American Psychologist, 45(4), 489-493. doi:10.1037/0003-066X.45.4.489
  4. ^ a b Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review, 84(2), 191-215. doi:10.1037/0033-295X.84.2.191
  5. ^ Rosenbaum, M. (1980). A Schedule for Assessing Self-Control Behaviors: Peliminary Findings. Behavior Therapy, 11(1), 109-121. doi:10.1016/S0005-7894(80)80040-2
  6. ^ Baumeister, R. F., & Heatherton, T. F. (1996). Self-Regulation failure: An Overview. Psychological Inquiry, 7(1), 1-15. doi:10.1207/s15327965pli0701_1
  7. ^ Baumeister, R. F. (2002). Yielding to Temptation: Self-Control Failure, Impulsive Purchasing, and Consumer Behavior. The Journal of Consumer Researcch, 28(4), 670-676. doi:10.1086/338209
  8. ^ DeWall, C. N., Baumeister, R. F., Stillman, T. F., & Gailliot, M. T. (2007). Violence Restrained: Effects of self-regulation and its depletion on aggression. Journal of Experimental Social Psychology, 43, 62-76. doi:10.1016/j.jesp.2005.12.005
  9. ^ a b c d e Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High Self-Control Predicts Good Adjustment, Less Pathology, Better Grades, and Interpersonal Success. Journal of Personality, 72(2), 271-322. doi:10.1111/j.0022-3506.2004.00263.x
  10. ^ Tochkov, K. (2010). Self Control Deficits and Pathological Gambling. International Journal of Psychological Studies, 2(2), 65-69. doi:10.5539/ijps.v2n2p65
  11. ^ Denson, T. F., DeWall, C. N., & Finkel, E. J. (2012). Self-Control and Aggression. Psychological Science, 21(1), 20-25. doi:10.1177/0963721411429451