Mappatettong bola
Mappatettong bola (Lontara Bugis: ᨆᨄᨈᨛᨈᨚ ᨅᨚᨒ ; bahasa Indonesia: mendirikan rumah) atau Mappaenre bola (Lontara Bugis: ᨆᨄᨕᨙᨋᨙ ᨅᨚᨒ ; bahasa Indonesia: membangun rumah) adalah budaya atau tradisi mendirikan rumah kayu jenis rumah panggung secara bergotong royong dalam masyarakat Bugis. Pendirian rumah ini dibarengi dengan ritus dan tata cara adat yang dipimpin oleh tetua adat yang disebut panrita bola. Meski tradisi ini semakin jarang ditemukan, pembuatan rumah dengan cara ini masih dapat ditemui di Kabupaten Sidrap.[1][2]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Dalam kehidupan masyarakat Bugis terdapat aspek utama, yaitu hubungan kekerabatan dan kebersamaan yang dianggap memiliki nilai sangat penting dalam suatu tatanan masyarakat. Salah satu aspek tersebut dalam suku Bugis, yaitu adanya tradisi sikap gotong royong dalam masyarakat yang disebut Budaya Assamaturu'. Bentuk gotong royong tersebut dapat berupa mappacakka' kuburu' (membersihkan kuburan), mappacakka' masigi (membersihkan masjid), mappatettong bola/mappaenre bola (mendirikan rumah), marakka' bola/mappalette bola (pindah rumah dengan cara diangkat), dan lain-lain. Tradisi-tradisi tersebut sangat kental akan jiwa kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat.
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Secara etimologis, istilah "Mappatettong bola" berasal dari bahasa Bugis yang bermakna "mendirikan rumah". "Mappatettong" (verba) adalah kata yang telah mengalami afiksasi dari kata dasar "tettong" (berdiri). "Mappa-" merupakan prefiks dalam tata bahasa Bugis dari aspek morfologi setara dengan prefiks "men-/mem-" dalam tata bahasa Indonesia. "Bola" (nomina) memiliki makna "rumah".
Cakupan wilayah
[sunting | sunting sumber]Tradisi Mappatettong bola dapat dijumpai pada daerah berikut:
- Kabupaten Barru
- Kabupaten Bone
- Kabupaten Maros
- Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep)
- Kabupaten Pinrang
- Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap)
- Kabupaten Sinjai
- Kabupaten Soppeng
- Kabupaten Wajo
Versi
[sunting | sunting sumber]Mappatettong bola di Bone
[sunting | sunting sumber]Mappatettong bola di Barru
[sunting | sunting sumber]Masyarakat Bugis di Kabupaten Barru, terutama di Desa Anabanua, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, memaknai “Mappatettong Bola” sebagai kegiatan yang dilakukan masyarakat setempat dalam mendirikan rumah panggung yang dilakukan secara gotong royong, yang disertai dengan berbagai ritual. Tradisi Mappatettong Bola masyarakat di Desa Anabanua merupakan tradisi yang lahir secara turun-temurun dari nenek moyang masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa tradisi ini merupakan tradisi untuk meminta perlindungan dan keselamatan agar si pemilik rumah bertambah rezekinya, memiliki keturunan yang baik dan sukses segala usahanya.
Meskipun hukum adat dan hukum Islam di Indonesia selalu digambarkan sebagai unsur yang bertentangan, tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam proses pelaksanaan tradisi “Mappatettong Bola”, secara umum memiliki makna dan nilai-nilai yang sangat penting untuk diketahui keberadaannya sekarang di tengah kondisi masyarakat dewasa ini. Budaya ini merupakan warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya yang penuh dengan makna sesuai dengan tata pola kehidupan sosialnya. Demikian pula budaya Bugis di Desa Anabanua Kecamatan Barru, Kabupaten Barru terdapat banyak hal, seperti dalam tradisi “Mappatettong Bola”, yang memiliki proses atau tahap mekanisme dalam pengerjaannya serta adat istiadatnya hingga berdirinya rumah panggung yang dilakukan secara gotong royong, dan pemaknaan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat setempat dengan mengaitkannya dengan hukum Islam.
Mappatettong bola di Maros
[sunting | sunting sumber]Mappatettong bola di Sidrap
[sunting | sunting sumber]Mappatettong bola di Soppeng
[sunting | sunting sumber]Mappatettong bola di Wajo
[sunting | sunting sumber]Perkembangan teknologi
[sunting | sunting sumber]Dengan hadirnya berbagai teknologi serba instan yang sangat memudahkan masyarakat dalam menjalankan roda kehidupan baik dalam urusan rumah tangga, pertanian, pembangunan yang mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bangunan rumah, yang mengalami perubahan khususnya daerah di Desa Anabanua yang telah mengalami sedikit demi sedikit perubahan, khususnya dalam pembangunan rumah yang dulu masih menggunakan alat dan bahan yang tradisional seperti bangunan rumah yang masih menggunakan bahan utama dari kayu (rumah panggung). Akan tetapi, hal ini mulai mengalami pergeseran karena sebagian masyarakat lebih memilih membangun rumah dengan mengunakan bahan dari semen atau bangunan rumah yang disebut rumah batu. Hal ini karena faktor ekonomis, bangunan rumah batu lebih ringan dibandingkan rumah kayu yang terbilang lebih tinggi biayanya seiring perkembangan zaman. Selain faktor ekonomis terdapat faktor efisien dan faktor kenyamanan serta ketahanan dari rumah batu dibandingkan rumah kayu. Dengan ini membuktikan bahwa terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh globalisasi yang secara meluas.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Semangat Gotong Royong, Kapolsek Tellu Limpoe Ikut Mendirikan Rumah Warga". DIVISI HUMAS POLRI. 2019-12-19. Diakses tanggal 2021-09-11.
- ^ Shima, Nadji Palemmui (2006). Arsitektur rumah tradisional Bugis. Badan Penerbit UNM. ISBN 978-979-26-4811-9.