Aksi obat
Aksi obat atau kerja obat adalah mekanisme obat dalam memberikan pengaruh kepada tubuh. Jenis aksi obat dibedakan berdasarkan efek terapeutik dan aksi sistem simpatis. Onset dan durasi aksi obat lebih lambat pada pasien yang telah mencapai usia lanjut akibat penurunan berbagai fungsi organ. Aksi obat dipelajari dalam famakologi, farmakodinamik dan kimia medisinal. Melalui aksi obat, fungsi otak bagi tubuh dapat dipahami.
Mekanisme
[sunting | sunting sumber]Hipotesis mengenai mekanisme aksi obat berawal dari adanya perbandingan antara struktur kimia dengan perilaku biologis. Aksi obat dapat digunakan untuk membantu penemuan dan pengembangan obat.[1]
Obat secara umum bekerja sebagai stimulasi atau depresi atas aktivitas sel. Pada sel, obat tidak membuat fungsi baru baginya. Obat hanya menimbulkan efek melalui beberapa cara tertentu. Cara paling awal dengan mengadakan stimulasi atau depresi khusus untuk fungsi spesifik dari sel. Obat juga dapat memberikan efek dengan mengganggu aktivitas seluler dari sel-sel asing yang memasuki tubuh. Misalnya pada sel kanker dan sel bakteri. Efek obat juga dapat terjadi melalui pemberian terapi pengganti. Misalnya menambah jumlah kalium yang hilang dari tubuh dengan memberikan kalium, atau menambah hormon yang mencapai dosis fisiologis agar aksi obat dapat terjadi.[2]
Pernyataan mengenai aksi obat dilakukan dengan menjelaskan mekanisme proksimat pada level fisiologi. Aksi obat dapat pula dinyatakan dengan menjelaskan mekanisme ultimat pada level biokimia. Aksi obat dinyatakan melalui mekanisme proksimat untuk menjawab pertanyaan tentang terjadi atau tidak terjadinya stimulasi atau depresi oleh obat. Pernyataan ini juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang lokasi di mana obat bereaksi. Mekanisme proksimat ini dapat dicapai melalui penggolongan obat. Kategori yang dibuat mengenai keberadaan stimulus atau depresi beserta dengan lokasi terjadinya aksi obat. Di sisi lain, mekanisme ultimat digunakan untuk menyatakan keberadaan aksi obat antara molekul dari obat dengan molekul dari sel. Mekanisme ultimat juga menyatakan penetapan aksi obat sebagai aksi spesifik atau reaksi non-spesifik.[2]
Jenis
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan efek terapeutik
[sunting | sunting sumber]Obat dapat memberikan efek terapeutik melalui dua jenis aksi obat, yaitu aksi obat spesifik dan aksi obat non-spesifik. Aksi obat spefisik memberikan efek teurapetik dengan perantara reseptor. Sedangkan aksi obat non-spefisik memberikan efek teurapetik tanpa perantara reseptor. Kebanyakan obat mengalami aksi obat spesifik melalui interaksi dengan reseptornya.[3]
Aksi obat non-spesifik dapat mengubah lingkungan fisika dan lingkungan kimia dari struktur tubuh. Contohnya pada anestesi umum pada otak. Setelah dilakukan, air di dalam otak mengalami perubahan struktur. Contoh lainnya adalah diuretik osmotik. Di sisi lain, aksi obat spesifik hanya berperan sebagai reaktan bagi reaktan lain yang berbentuk komponen sel. Komponen sel yang secara langsung terlibat dengan aksi obat disebut reseptor.[4]
Aksi obat yang diperantarai oleh reseptor dapat dinyatakan melalui mekanisme yang didasarkan kepada teori pendudukan reseptor. Teori ini menyatakan bahwa efek farmakologi dapat dihasilkan oleh jenis obat baru jika terjadi ikatan komplek antara obat dan reseptor. Reseptor merupakan suatu makromolekul seluler yang memiliki ikatan spesifik dengan ligan. Ikatan dengan ligan dapat terjadi antara reseptor dengan obat, hormon, dan neurotransmiter. Efek farmakologis timbul selama ikatan ligan memicu serangkaian reaksi di dalam tubuh.[5]
Berdasarkan aksi sistem simpatis
[sunting | sunting sumber]Sistem simpatis merupakan bagian dari sistem adregenik yang dapat dipengaruhi oleh obat adregenik. Pengaruhnya terbagi menjadi dua aksi obat yaitu simpatomimetik dan simpatolitik. Simpatomimetik memberikan efek yang menyerupai sistem simpatis. Sedangkan simpatolitik menghasilkan efek yang menghambat sistem simpatis. Mekanisme aksi obat simpatomimetik diawali dengan membantu pelepasan neurotransmiter berupa amfetamin. Kemudian menghambat fungsi pengambilan kembali berupa reserpin. Setelah itu, dihasilkan efek yang mendukung reseptor yaitu fenilefrin. Sebaliknya, mekanisme aksi obat simpatolitik diawali dengan menghambat sintesa neurotransmiter berupa carbidopa. Kemudian guenetidin yang tersimpan di dalam vesikel diganggu sehingga menghasilkan penghambat reseptor berupa femtolamin.[6]
Onset dan durasi
[sunting | sunting sumber]Rute pemberian obat dapat menentukan waktu onset dan durasi untuk aksi obat. Obat yang diberikan melalui rute sublingual membuat onset untuk aksi obat cepat terjadi. Rute sub lingual juga membuat efek metabolisme hepatik tahap satu tidak terjadi. Namun, durasi dari aksi obat menjadi singkat. Rute ini hanya bisa dipakai pada jenis obat yang tidak menimbulkan iritasi dan harus larut dalam lemak. Rute lain yang dapat digunakan adalah rute intravena. Rute intravenal juga membuat efek metabolisme hepatik tahap satu tidak terjadi. Pemberian obat dapat dilakukan lebih lambat karena onset untuk aksi obat cepat terjadi. Keuntungan lainnya adalah titrasi dosis obat menjadi lebih mudah.[7]
Pada dosis intravena, onset aksi obat diketahui melalui pengukuran parameter kinetik. Dua paramternya adalah kecepatan absorpsi dan distribusi obat. Pengukuran proses yang paling utama dalam dosis ini adalah eliminasi obat.[8]
Durasi aksi obat dapat lebih lama pada pasien lanjut usia. Adanya variasi respon obat pada pasien lanjut usia merupakan akibat dari penurunan keluaran jantung, kenaikan kandungan lemak, penurunan pengikatan protein dan penurunan fungsi ginjal. Aliran darah hepatik berkurang akibat penurunan keluaran jantung. Kondisi tersebut membuat obat diantarkan ke hati untuk metabolisme. Perpanjangan durasi aksi obat diperpanjang ketika penurunan penghantaran obat ditambah dengan penurunan aktivitas enzim hepatik. Kemungkinan terjadinya penambahan durasi aksi obat pada pasien usia lanjut dapat terjadi pada jenis obat dengan senyawa lidokain dan fentanil.[9]
Lingkup keilmuan
[sunting | sunting sumber]Farmakologi
[sunting | sunting sumber]Aksi obat merupakan suatu pembahasan yang secara khusus dipelajari di dalam farmakologi. Dalam farmakologi, aksi obat berkaitan dengan penjelasan mengenai cara obat atau zat kimia lainnya berinteraksi dengan sistem biologis di dalam tubuh. Farmakologi mulai berkembang sejak tahun 1985. Pada tahun tersebut, para ilmuwan mulai mencari tahu penyebab meningkatnya jumlah protein tertentu pada penyakit-penyakit tertentu. Bersamaan dengan itu, para ilmuwan juga mempelajari pengaruh obat terhadap keberadaan protein dalam jumlah yang banyak.[10]
Farmakodinamik
[sunting | sunting sumber]Farmakodinamik mengkaji tentang sensitivitas tau responsitivitas dari dalam tubuh terhadap suatu obat. Farmakodinamik juga mengkaji mekanisme ketika efek-efek dari obat mulai terjadi. Farmakodinamik memperlihatkan tentang apa yang terjadi pada tubuh akibat penggunaan obat. Aksi obat dikaitkan pada hubungan struktur-aktivitas yang terjadi akibat obat dengan struktur kimianya. Rancangan obat dengan sifat-sifat farmakologis tertentu dapat dibuat menggunakan hubungan ini. Sensistivitas dari dalam tubuh diukur menggunakan konsentrasi plasma obat yang diperlukan untuk memberikan respon tertentu secara farmakologis. Pasien memiliki sensitivitas di dalam tubuh yang berbeda-beda tingkatannya. Faktornya adalah umur pasien. Akibatnya, respon terpeutik dapat muncul atau tidak muncul pada pasien yang menerima konsentrasi plasma obat yang sama. Pasien lain juga memungkinkan mengalami toksisitas.[11]
Kimia medisinal
[sunting | sunting sumber]Kimia medisinal pada awalnya hanya mempelajari sintetis terhadap struktur senyawa kimia yang berasal dari alam secara efisien dan efektif. Pada perkembangan berikutnya, kimia medisinal juga mempelajari tentang hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologis. Pendekatan biokimia pun digunakan. Dalam pengembangan ini, kimia medisinal tidak hanya mempelajari tentang proses isolasi, identifikasi dan purifikasi senyawa alam dan hasil sintesisnya. Melainkan pula mempelajari mekanisme dari aksi obat dan hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologis.[12]
Manfaat
[sunting | sunting sumber]Memahami fungsi otak
[sunting | sunting sumber]Pada susunan sistem saraf pusat terdapat sebuah tempat yang disebut sinapsis. Sinapsis merupakan tempat utama yang menjadi penghubung antara informasi dan integrasi saraf pusat dengan otak. Sinaps menjadi bagian yang paling ideal untuk mempengaruhi fungsi otak. Aksi obat pada susunan saraf pusat di bagian sinaps dapat memberikan pemahaman mengenai fisiologi seluler dan biokimia di bagian otak.[13]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Rollando 2017, hlm. 3-4.
- ^ a b Anief 2021, hlm. 1.
- ^ Basuki, S. A., dan Melinda, N. (2017). "Prediksi Mekanisme Kerja Obat Terhadap Reseptornya Secara in Silico(Studi pada Antibiotika Sefotaksim)". Prosiding Rapat Kerja Fakultas Ilmu Kesehatan 2017: Peningkatan Keilmuan Solusi Tantangan Profesi Kesehatan: 90.
- ^ Anief 2021, hlm. 2.
- ^ Nila dan Halim 2013, hlm. 21.
- ^ Sukohar 2014, hlm. 48-49.
- ^ Nasution, Rifan Eka Putra. "Panduan Singkat Farmakologi Klinis bagi Mahasiswa Kedokteran" (PDF). Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru. hlm. 5.
- ^ Nasution, Rifan Eka Putra. "Panduan Singkat Farmakologi Klinis bagi Mahasiswa Kedokteran" (PDF). Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru. hlm. 14.
- ^ Pramita dan Subagiartha 2017, hlm. 71.
- ^ Nila dan Halim 2013, hlm. 1.
- ^ Pramita dan Subagiartha 2017, hlm. 57.
- ^ Rollando 2017, hlm. 4.
- ^ Sukohar 2014, hlm. 1.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Anief, Moh. (2021). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-386-724-0.
- Nila, A., dan Halim, M. (2013). Sulanjani, Ian, ed. Dasar-Dasar Farmakologi 2 (PDF). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Pramita, R. D., dan Subagiartha, I. M. (2017). Prinsip Dasar Farmakologi (PDF). Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
- Rollando (2017). Wicaksono, Soetam Rizky, ed. Pengantar Kimia Medisinal (PDF). Malang: CV. Seribu Bintang. ISBN 978-602-72738-6-3.
- Sukohar, Asep (2014). Buku Ajar Farmakologi: Neufarmakologi Asetilkolin dan Nore Efinefrin (PDF). Bandar Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.