Lompat ke isi

Bekasang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ikan cakalang yang biasanya digunakan untuk membuat bekasang

Bekasang adalah makanan dari wilayah Indonesia Timur, umumnya ditemukan pada daerah Sulawesi dan Kepulauan Maluku.[1] Makanan ini dibuat dari isi perut ikan yang difermentasikan seperti terasi.[1] Bekasang memiliki kemiripan dengan saus ikan fermentasi (Yu-lu) yang merupakan makanan tradisional Cina.[2]

Proses pembuatan

[sunting | sunting sumber]

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.), yang biasanya berada pada perairan Kepulauan Maluku dipotong dan diasapkan.[3] Pada umumnya, ada dua cara membuat bekasang.[3] Cara yang pertama adalah dengan mencampur perut ikan dan garam, lalu difermentasikan selama 1 bulan dalam suatu wadah setelah pengeringan selama 10 hingga 15 hari.[3] Metode ini tidak menggunakan [starter].[3] Biasanya fermentasi bekasang berlangsung secara spontan dengan bantuan nasi, singkong, atau garam.[4] Bakteri asam laktat berperan dalam proses preservasi atau pengawetan dengan cara menurunkan pH makanan sehingga menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen.[4]

Karakteristik Biokimia

[sunting | sunting sumber]

Aktivitas antimikrob dari bekasang diuji dengan metode lapisan ganda.[4] Bakteri yang diujicobakan adalah Escherichia coli, Salmonella typhimurium ATCC 14028, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Listeria monocytogenes.[4] Kultur bakteri indikator ditambahkan dengan kultur BAL yang telah diisolasi dari bekasam, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.[4] Isolat bakteri yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa antimikrob akan menghasilkan zona bening di sekeliling koloni bakteri indikator.[4] Indeks inhibisi dihitung dengan rumus: Index inhibisi = (diameter zona inhibisi-diameter koloni)/(diameter koloni).[4] Suatu eksperimen juga dilakukan untuk menguji senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh isolat BAL.[4] Pengujian ini dilaksanakan dengan metode agar well diffusion. Supernatan kultur disterilisasi dengan filter acrodisc, dan dinetralkan dengan NaOH konsentrasi 1N.[4]

Terdapat berbagai isolat yang diambil dari bekasang, 62 isolat diantaranya adalah BAL (Bakteri Asam Laktat).[4] 90% BAL yang berhasil diisolasi menunjukkan aktivitas antimikrob terhadap Listeria monocytogenes.[4] Persentase isolat lainnya yang menghambat Salmonella typhimurium 79%, Escherichia. coli 73%, Bacillus cereus 71%, dan Staphylococcus aureus 66%. Namun zona inhibisi dan indeks inhibisi terbesar adalah antara BAL dan Staphylococcus aureus.[4]

Ada fenomena dimana kultur BAL pada pH netral tidak memproduksi zona inhibisi.[4] Maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang menentukan aktivitas antimikrob pada isolat BAL dari bekasam adalah asam organik yang berperan sebagai zat pengawet.[4] Senyawa yang dihasilkan dari metabolisme BAL tidak hanya berperan sebagai pengawet, tetapi juga memperkuat rasa, aroma, dan tekstur dari produk bekasam.[4] Kandungan nitrogen terlarut pada produk ini juga ditemukan meningkat dibandingkan kadar pada awal fermentasi.[5]

Dalam kebudayaan Minahasa, ada larangan bagi orang sakit yaitu tidak boleh mengonsumsi makanan yang dibusukkan seperti terasi dan bekasang.[6]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Lee CH, Steinkraus KH, Reilly PJA. 1993. Fish Fermentation Technology. Tokyo: United Nations University.
  2. ^ Jiang JJ, Zeng QX, Zhu ZW, Zhang LY. 2007. Chemical and sensory changes associated Yu-lu fermentation process – A traditional Chinese fish sauce. Food Chemistry 104:1629–1634.
  3. ^ a b c d Matsuyama A. 2003. Traditional Dietary Culture of Southeast Asia. New York: Taylor & Francis.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Desniar, Rusmana I, Suwanto A, Mubarik NR. 2013. Characterization of lactic acid bacteria isolated from an Indonesian fermented fish (bekasam) and their antimicrobial activity against pathogenic bacteria. Emir. J. Food Agric. 25 (6): 489-494.
  5. ^ Ijong FG, Ohta Y. 1996. Physicochemical and microbiological changes associated with Bakasang processing. Journal of the Science of Food and Agriculture 71: 69–74.
  6. ^ Wenas J. 2007. Sejarah dan kebudayaan Minahasa. Minahasa: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]