Malem Diwa
Malem Diwa adalah cerita rakyat yang berasal dari daerah Aceh yang bercerita mengenai seorang pria dan bidadari. Cerita ini mirip dengan cerita Jaka Tarub dan Nawang Wulan serta Awang Sukma dan Telaga Bidadari.[1]
Alur cerita
[sunting | sunting sumber]Malem Diwa adalah nama seorang pemuda yang hidup pada zaman dahulu kala di sebuah negeri di Aceh. Pekerjaannya adalah pengembara, ia mengembara dari satu daerah ke daerah lainnya. Sebagai pengobat rasa sepi ketika ia sedang dalam pengembaraan, sebuah seruling yang bersuara amat merdu selalu menemaninya.
Suatu ketika Malem Diwa tiba di sebuah daerah yang bernama Buntul Temil. Tempat ini terletak di dekat sungai sehingga ia sangat tertarik dan memutuskan untuk tinggal di tempat itu. Di tempat itu ia menanam sayur, beternak, dan memancing di sungai. Pada suatu hari ketika sedang memancing di sungai, Malem Diwa bertemu dengan seorang nenek yang baru saja selesai mencari kayu bakar di hutan. Nenek tersebut bernama Inen Keben dan dia tinggal di Buntulkubu. Karena sopan santun maka Malem Diwa menolong nenek tersebut membawa kayu bakarnya hingga ke rumah si nenek. Karena sering bertemu dan mengantarkan kayu bakar ke rumah Inen Keben, akhirnya Malem Diwa menganggap Inen Keben sebagai orang tuanya sendiri.
Beberapa waktu kemudian ketika Malem Diwa sedang memancing tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dan gurau beberapa wanita. Karena penasaran maka Malem Diwa kemudian mencari tahu dan mengintip ke arah sumber suara tersebut. Dari balik pohon, ia melihat tujuh bidadari cantik sedang bermain di atas sebuah batu besar di sungai. Batu tempat para bidadari bermain itu akhirnya dinamakan Atu Pepangiren atau batu tempat mandi.
Ternyata para bidadari itu tidak sekali itu saja datang ke daerah tersebut. Mereka berulang kali datang untuk mandi dan bermain di sana. Malem Diwa juga selalu menantikan kedatangan mereka walau dengan bersembunyi. Suatu hari ketika mereka sedang mandi, Malem Diwa mengambil salah satu baju mereka dan menyembunyikannya di rumah. Selesai mandi terjadilah keributan karena hilangnya salah satu baju terbang mereka yang rupanya milik bidadari yang paling bungsu. Cukup lama juga para bidadari lainnya mencoba membantu mencarikan baju tersebut tapi tak juga ditemukan. Akhirnya dengan berat hati para bidadari tersebut kembali ke kahyangan meninggalkan bidadari yang kehilangan bajunya. Akibatnya bidadari tersebut sangat sedih dan menangis seorang diri di tepi sungai.
Setelah menyembunyikan baju terbang milik bidadari tersebut Malem Diwa kembali ke sungai dan menawarkan pertolongan kepada bidadari tersebut. Ia menawarkan agar bidadari tersebut dapat menginap di tempat Inen Keben yang tinggal tidak jauh dari rumah Malem Diwa. Sejak itu mereka berteman baik karena Malem Diwa sering membantu Inen Keben untuk mengantar kayu bakar atau memperbaiki rumahnya. Karena saling tertarik dan jatuh cinta maka Malem Diwa kemudian mengajak bidadari bungsu untuk menikah. Mereka kemudian hidup bahagia sebagai suami istri.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Legenda Awang Sukma dan Telaga Bidadari - Histori". Histori (dalam bahasa Inggris). 2018-01-08. Diakses tanggal 2018-09-30.
- ^ Ahmad, Baihaqi; Adicita; Widya, Mitra Gama. 366 cerita rakyat Nusantara (edisi ke-3). Yogyakarta. ISBN 9786029752922. OCLC 865468910.