Lompat ke isi

Pendidikan di Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pendidikan di Aceh telah mulai dirintis sejak masa Kesultanan Aceh melalui dayah. Asas utama pada pendidikan di Aceh ialah Islam. Satuan pendidikan di Aceh disesuaikan dengan syariat Islam seperti pendidikan diniyah formal dan sekolah Islam terpadu. Infrastruktur pendidikan di Aceh mengalami kerusakan parah setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004. Pemerintah Aceh memberikan bantuan otonomi khusus salah satunya untuk membiayai pendidikan di Aceh.

Masyarakat di Aceh telah memiliki kearifan lokal tersendiri termasuk dalam aspek pendidikan.[1] Pendidikan di Aceh telah dirintis sejak masa Kesultanan Aceh melalui institusi yang disebut dayah. Dayah menjadi pusat pendidikan agama Islam yang merupakan bagian dari masyarakat Aceh. Pada masa Kesultanan Aceh, dayah menjadi tempat pengajaran bagi para ulama, negarawan dan Sultan Aceh. Ketika Belanda memulai pendudukan wilayah Aceh pada tahun 1873, dayah mengalami masa kemunduran sebagai lembaga pendidikan.[2] Para pemimpin dayah berperan sebagai para pemimpin dan simbol penentangan kolonialisme di Aceh.[3] Karena itu, kolonialisme di Aceh oleh Belanda disertai dengan penghancuran dayah beserta dengan manuskrip dan perpustakaan yang ada di dalamnya.[2]

Perundang-undangan

[sunting | sunting sumber]

Pendidikan di Aceh diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui nota kesepahaman yang ditandatangani di Helsinki. Pasal 215 ayat (1) dalam undang-undang ini menyatakan bahwa pendidikan di Aceh sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Aceh dan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pengaturan pendidikan di Aceh oleh Pemerintah Provinsi Aceh disesuaikan dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakat setempat.[4]

Pendidikan dasar

[sunting | sunting sumber]

Pendidikan dasar diberikan kepada setiap anak laki-laki dan anak perempuan di setiap gampong di Aceh. Pemberian pendidikan diadakan di dalam surau yang disebut meunasah, Pendidikan dasa bagi anak laki-laki diberikan oleh teungku imeum meunasah di dalam meunasah. Sedangkan pendidikan dasar bagi anak perempuan diberikan oleh istri dari teungku imeum meunasah di dalam rumahnya. Teungku imeum meunasah dan istrinya berperan sebagai guru dengan dibantu oleh beberapa orang pendidik lainnya.[5]

Pada tingkat pemula, pendidikan dasar yang diberikan dalam meunasah meliputi pengajaran Al-Qur'an dan pengajaran mengenai kitab-kitab Jawi. Kitab Jawi merupakan kitab yang menggunakan bahasa Melayu dengan abjad Arab. Bagi pelajar pemula, sistem penfifikan yang diterapkan ialah tanya jawab. Kitab yang umum digunakan salah satunya ialah Masa ilal Muhtadi. Pembelajarannya mengenai tauhid dan hukum dalam ibadah seperti salat dan puasa. Pada pelajar tingkat lanjutan, diajarkan mengenai kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Miftahul Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kibat Delapan, dan Majmu.[5]

Tenaga pendidik

[sunting | sunting sumber]

Imeum meunasah

[sunting | sunting sumber]

Memimpin dan mengoordinasikan kegiatan pendidikan merupakan salah satu tugas dari imeum meunasah. Jabatan imeum meunasah diberikan melalui musyawarah gampong yang diadakan tiap enam tahun sekali. Camat atas nama bupati atau wali kota diberi hak untuk mengadakan pengangkatan dan pemberhentian penjabat imam meunasah.[6]

Infrastruktur

[sunting | sunting sumber]

Infrastruktur pendidikan di Aceh sempat mengalami kerusakan parah akibat peristiwa gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 Desember 2004.[7] Penanganan masalah pendidikan di seluruah Aceh setelah tsunami hingga tahun 2007 dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat asing yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama Republik Indonesia. Ketiga pihak ini mengadakan kerja sama untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan di seluruh Aceh. Selain itu, lembaga swadaya masyarakat asing juga bekerja sama dengan dayah dan pesantren tradisional di Aceh. Karena itu, lembaga swadaya masyarakat asing memiliki lahan sebagai tempat kegiatan operasionalnya secara mandiri hingga tahun 2007.[8]

Satuan pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Pendidikan diniyah formal

[sunting | sunting sumber]

Pendidikan diniyah formal merupakan satuan pendidikan formal di Indonesia yang dibentuk oleh Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2015. Pembentukan pendidikan diniyah formal dilandasi oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.[9] Penyelenggaran pendidikan diniyah formal dimulai secara nasional di Indonesia sejak awal tahun 2015 dengan lima provinsi sebagai proyek percontohan. Provinsi Aceh menjadi salah satu provinsi percontohan bersama dengan provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun pertama (2015), pendidikan diniyah formal diterapkan hanya pada satu dayah di Provinsi Aceh, yaitu Dayah Babussalam. Letak Dayah Babussalam berada di Desa Blang, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara.[10]

Sekolah Islam terpadu

[sunting | sunting sumber]

Dalam Qanun Pendidikan Aceh, Pemerintah Provinsi Aceh menetapkan bahwa di setiap wilayah di Aceh harus terdapat sekolah Islam terpadu. Jenjang pendidikan sekolah Islam terpadu antara lain sekolah dasar Islam terpadu (SD-IT), sekolah menengah pertama Islam terpadau (SMP-IT) dan sekolah menengah atas Islam terpadu (SMA-IT).[11]

Kompetensi lulusan

[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Aceh telah menetapkan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2015 mengatur bukti kelulusan siswa di sekolah yang ada di Aceh. Beberapa kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa do seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Aceh yaitu bahasa daerah, budaya Islami, akidah akhlak serta wajib bisa membaca Al-Qur'an. Kompetensi ini diberlakukan untuk siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Bukti pencapaian kompetensi melalui sertifikat lulusan.[12]

Pembiayaan

[sunting | sunting sumber]

Pendanaan pendidikan merupakan salah satu bidang pembangunan yang menjadi prioritas dalam bantuan otonomi khusus oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Landasan mengenai penyaluran dananya diatur dalam Pasal 183 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Nota kesepakatan dibuat dan disepakati bersama antara Gubernur Aceh dengan para bupati dan wali kota di wilayah Provinsi Aceh mengenai penyaluran dana otonomi khusus dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten atau kota di Aceh.[13] Provinsi Aceh telah menerima dana otonomi khusus sejak tahun 2008. Pendanaan pendidikan disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) pada Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaaan Dana Otonomi Khusus.[14]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]