Lompat ke isi

Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Penghargaan Ibukota Hijau Eropa
European Green Capital Award
Plakat Penghargaan Pemenang Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa 2012
Dipersembahkan olehKomisi Eropa (badan eksekutif Uni Eropa)
Diberikan perdana2010; 14 tahun lalu (2010)
Diberikan terakhir2019
Situs webSitus web resmi

Penghargaan Ibukota Hijau Eropa adalah penghargaan yang diberikan Uni Eropa kepada kota-kota berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa di Benua Biru tersebut berdasarkan catatan lingkungan yang dimiliki oleh masing-masing kota.[1] Penghargaan ini adalah bentuk apresiasi terhadap upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan terutama di wilayah urban. Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa saat ini dipegang oleh Oslo, Norwegia.[2]

Nama dan Konsep

[sunting | sunting sumber]

Penghargaan ini tak hanya diberikan kepada ibukota dari suatu negara di Eropa saja, melainkan kota-kota lain yang memenuhi kriteria kelayakan.[1] Secara resmi kota yang menerima penghargaan ini disebut sebagai "Ibukota Hijau". Namun, dalam beberapa media disebut sebagai "Ibu Kota Lingkungan" (Europe's Eco Capital).[3][4]

Ibukota Hijau (Green Capital) adalah sebuah merek atau jenama (brand), gelar, sekaligus penghargaan. Semua ini pada dasarnya membawa pesan bahwa masyarakat memiliki hak untuk hidup di area perkotaan (urban) yang sehat. Oleh sebab itu, kota-kota harus berusaha meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya dan mengurangi polusi. Pesan ini terdapat dalam slogan yang berbunyi Green cities fit for life.[5]

Latar Belakang dan Tujuan

[sunting | sunting sumber]

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Penghargaan Ibukota Hijau Eropa adalah kelanjutan dari inisiatif lima belas kota Eropa yang mengadakan pertemuan di Tallinn, Estonia, pada tanggal 15 Mei 2006. Kota-kota itu adalah Wina, Warsawa, Vilnius, Tartu, Tallinn, Riga, Praha, Madrid, Ljubljana, Kotka, Kiel, Helsinki, Glasgow, Dartford, dan Berlin; ditambah Asosiasi Perkotaan Estonia. Inisiatif serta visi hijau kota-kota itu diejawantahkan dalam nota kesepahaman yang menetapkan perlunya sebuah penghargaan untuk mengakui kota-kota terdepan dalam kehidupan kota ramah lingkungan.[6]

Jüri Ratas, mantan wali kota Tallinn sekaligus Bapak Inisiator Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa

Pertemuan Tallinn memberikan mandat kepada Jüri Ratas yang saat itu menjabat sebagai Wali kota ibukota Estonia untuk menyampaikan nota kesepahaman kepada Presiden Komisi Eropa (José Manuel Durão Barroso), Komisaris Bidang Lingkungan Uni Eropa (Stravos Dimas), dan Komisaris Pembangunan Regional Uni Eropa (Danuta Hübner).[7] Setelah membaca nota yang dikirimkan, Komisi Eropa menggelar sebuah pertemuan pada 29 Juni 2006. Dalam pertemuan tersebut Stravos Dimas selaku Komisaris Bidang Lingkungan Uni Eropamenyatakan dukungan dan kesiapan untuk membantu mewujudkan penghargaan yang digagas di Tallinn menjadi sebuah kenyataan kepada Ratas.[8]

Keputusan untuk mengadakan sebuah penghargaan bagi kota hijau menjadi sangat relevan karena faktanya mayoritas warga Eropa adalah masyarakat urban. Kota-kota Eropa diakui sebagai motor penggerak perekonomian di kawasan tersebut. Geliat perekonomiannya menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas baik dari sektor manufaktur maupun jasa. Kota-kota pula menjadi pusat berkembangnya inovasi serta kreativitas. Kota-kota Eropa menjadi rumah bagi lebih dari 70% masyarakatnya. Persentase tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 80% pada tahun 2050.[9][10]

Peningkatan persentase masyarakat urban Eropa pada masa yang akan datang berpotensi untuk menggerakkan inovasi, menciptakan banyak kesempatan kerja, serta meningkatkan perekonomian secara keseluruhan. Namun, potensi-potensi tersebut diikuti dengan peluang meningkatnya tantangan dan permasalahan pada bidang lingkungan dan transportasi. Sebagian besar permasalahan lingkungan yang dihadapi masyarakat Eropa kontemporer berasal dari perkotaan. Namun, diharapkan bahwa daerah perkotaan pula yang akan bersinergi untuk mengatasi hal ini. Permasalahan lingkungan yang ada tentu saja memerlukan komitmen dan inovasi dari pemerintah dan pihak berwenang (stakeholder) setempat agar dapat diatasi.[11]

Salah satu alat kebijakan yang digunakan Komisi Eropa untuk mendukung usaha tersebut adalah dengan menghadirkan Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa. Uni Eropa memiliki kewenangan terbatas terhadap perencanaan dan urusan perkotaan sehingga soft measure berupa penghargaan ini dihadirkan.[8] Penghargaan ini hadir sebagai pengakuan bagi upaya lokal dalam memperbaiki kualitas lingkungan, ekonomi, dan kehidupan di kota-kota. Penghargaan ini diberikan setiap tahun pada kota yang memimpin gerakan menunju kota ramah lingkungan sehingga diharapkan dapat bertindak sebagai panutan yang menginspirasi kota-kota lain. Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa ini resmi diluncurkan oleh Komisi Eropa pada tahun 2008. Melihat keberhasilan Penghargaan Ibukota Kebudayaan Eropa, Komisi Eropa terinspirasi untuk mengimplementasikan ide yang mendukung dan mendorong usaha untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan kualitas perkotaan.[8][12]

Tujuan daripada Penghargaan Ibukota Hijau Eropa adalah sebagai berikut.[5]

  1. Memberikan penghargaan terhadap kota yang memiliki pencapaian standar lingkungan yang tinggi dan konsisten;
  2. Mendorong kota-kota untuk berkomitmen terhadap tujuan ambisius yang ada untuk lebih jauh meningkatkan kualitas lingkungan serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan;
  3. Menjadi teladan dalam menginspirasi kota-kota lain sekaligus mempromosikan praktik terbaik dalam mencapai kualitas lingkungan yang tinggi sekaligus membagikan pengalaman di antara kota-kota di seluruh Eropa.

Kriteria Kelayakan

[sunting | sunting sumber]

Penghargaan ini terbuka bagi negara-negara anggota Uni Eropa, calon anggota Uni Eropa, serta Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss. Semua kota dari negara-negara tersebut yang memiliki penduduk lebih dari 100.000 jiwa dapat mengajukan diri untuk meraih penghargaan ini. Apabila tidak ada kota yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa di suatu negara, maka kota terbesar di negara tersebut berhak dan layak untuk mengajukan pendaftaran. Suatu kota yang telah dinobatkan menjadi Ibu Kota Hijau Eropa tidak diperkenankan untuk mendaftarkan diri lagi selama sepuluh tahun ke depan sejak penobatan tersebut.[13] Kota-kota berpenduduk kurang dari 100.000 jiwa sementara di negara tersebut terdapat kota yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa tidak dapat mendaftar penghargaan ini. Melainkan terdapat penghargaan serupa bagi kota-kota yang lebih kecil tersebut yakni Penghargaan Daun Hijau Eropa.[14]

Penjurian dan Pemilihan

[sunting | sunting sumber]

Juri bertugas untuk menentukan pemenang penghargaan ini yang diberikan kepada kota yang diakui memimpin gerakan menuju kota ramah lingkungan. Basis penilaian juri adalah laporan evaluasi dan rekomendasi dari panel ahli. Sementara itu, keputusan finalnya diambil berdasarkan kualitas presentasi yang dibawakan. Pemenang kemudian diumumkan pada malam penghargaan.[15]

Pemilihan

[sunting | sunting sumber]
Stockholm, Ibukota Hijau Eropa yang pertama

Kota yang mengajukan diri untuk meraih penghargaan ini dinilai berdasarkan 12 indikator lingkungan yang meliputi perubahan iklim dan adaptasi, transportasi lokal, alam dan keragaman hayati, kinerja (penggunaan) energi, manajemen air, kualitas udara, pengolahan air limbah, manajemen dan produksi sampah, inovasi lingkungan dan pekerjaan berkelanjutan, manajemen lingkungan terintegritas, kawasan perkotaan hijau dan penggunaan lahan berkelanjutan, serta kualitas lingkungan yang bebas polusi suara.[6]

Calon ibukota hijau diminta untuk memberikan informasi mengenai kinerja mereka dalam 12 indikator lingkungan pada formulir pendaftaran yang tersedia dalam tiga bahasa (Inggris], Jerman, dan Prancis. Pendaftaran dilakukan secara daring.[16] Kinerja tiap indikator harus diberi deskripsi yang menjelaskan situasi saat ini, usaha yang dilakukan selama lima hingga sepuluh tahun terakhir, tujuan jangka pendek dan jangka panjang, serta dokumentasi kinerja tersebut. Setelah formulir pendaftaran dikirimkan maka informasi yang diberikan oleh masing-masing kota akan dinilai oleh panel ahli yang diakui secara internasional. Para panel melakukan evaluasi kualitatif serta peer review (tinjauan sejawat) berdasarkan 12 indikator yang ada. Setelah itu para hali akan menentukan kota mana saja yang masuk ke tahap akhir kompetisi. Kota yang masuk ke tahap akhir disebut sebagai finalis.[17] Mereka akan diundang untuk merepresentasikan visi, rencana aksi, dan strategi komunikasi di hadapan para juri. Setelah masing-masing finalis menyelesaikan presentasi mereka, juri akan mempertimbangkan dan kemudian memilih kota pemenang Penghargaan Ibukota Hijau Eropa.[17]

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2010 dan 2011

[sunting | sunting sumber]

Terdapat delapan kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2010 dan 2011. Delapan kota tersebut adalah Amsterdam, Bristol, Freiburg, Hamburg, Kopenhagen, Munster, Oslo, dan Stockholm.[18] Para juri berkumpul pada 29 Januari 2019 untuk mendiskusikan laporan evaluasi serta rekomendasi yang diberikan oleh panel ahli. Setelah menimbang laporan evaluasi serta rekomendasi para ahli, juri sepakat memutuskan bahwa:

  • Stockholm memenangi Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa yang pertama dan dinobatkan sebagai Ibukota Hijau 2010.[19]
  • Hamburg memenangi Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa 2011.[19]

Pemilihan Ibukota Hijau 2012 dan 2013

[sunting | sunting sumber]

Terdapat enam kota yang menjadi finalis pemilihan Ibukota Hijau Eropa 2012 dan 2013. Enam kota tersebut adalah Barcelona, Malmö, Nantes, Nuremberg, Reykjavik, dan Vitoria-Gasteiz.[18] Para juri berkumpul pada 10 Oktober 2010 untuk mendiskusikan laporan evaluasi serta rekomendasi yang diberikan oleh panel ahli. Babak final antara enam kota Eropa ini berlangsung ketat karena skor yang didapat tidak terlalu jauh berbeda. Enam finalis dari 17 pendaftar awal memiliki pencapaian yang menakjubkan dan argumentasi yang kuat mengapa mereka harus terpilih sebagai ibukota hijau.[20]

Selain melihat 12 indikator utama penilaian, para juri juga memperhatikan hal-hal seperti: kesempatan untuk mereplikasi praktik terbaik di antara kota-kota yang memiliki corak beragam serta jumlah penduduk yang berlainan; potensi yang dimiliki calon pemenang untuk merambah audiens baru, serta mempromosikan skema Ibu Kota Hijau Eropa belum lama diluncurkan; dan pencapaian pada bidang lingkungan, terutama di ranah keragaman hayati, air, transportasi, pergerakan melawan perubahan iklan, serta upaya dan rencana yang akan dilakukan ke depannya, sebelum akhirnya memutuskan bahwa

Pemilihan Ibukota Hijau 2014

[sunting | sunting sumber]

Terdapat tiga kota yang menjadi finalis pemilihan Ibukota Hijau Eropa 2014. Ketiga kota tersebut meliputi Bristol, Frankfurt, dan Kopenhagen.[18] Ketiga finalis diberikan kesempatan untuk mempresentasikan visi dan aksi, upaya komunikasi, serta rencana lingkungan kota masing-masing pada 8 Juni 2012.[21]

Para juri melakukan penilaian terhadap presentasi tersebut mengacu pada beberapa kriteria evaluasi, sebagai berikut.

  • Komitmen kota secara keseluruhan, visi dan antusiasme. Hal ini dinilai oleh panel ahli melalui presentasi yang dipaparkan.[21]
  • Upaya komunikasi yang meliputi apa yang telah kota lakukan dalam mengkomunikasikan masalah lingkungan aktual kepada masyarakatnya yang berkenaan dengan 12 indikator utama, keefektifan upaya komunikasi, serta sejauh mana kota mampu bersinergi dengan rekan setempat untuk memaksimalkan [21]
  • Kemampuan kota untuk bertindak sebagai teladan yang menginspirasi kota lain termasuk strategi yang akan diadopsi apabila terpilih menjadi Ibu Kota Hijau Eropa.[21]

Menurut penilaian juri, Bristol menampilkan keunggulan-keunggulannya sebagai finalis serta memperlihatkan peningkatan pesat dalam pembangunan berkelanjutan dalam beberapa dekade terakhir. Namun, peningkatan dan perbaikan masih harus dilakukan, terutama menyangkut konsumsi air. Juri menilai bahwa Frankfurt sukses dalam memadukan inovasi serta tradisi lingkungan yang lama terpelihara di kota itu sehingga kota ini dapat menjadi contoh bagi kota lain. Kekurangan dari kota ini adalah perluasan bandar udara yang dapat menimbulkan polusi suara. Sementara itu, Kopenhagen dinilai berhasil dalam program ekonomi hijau. Kekuatan utama ibu kota Denmark ini dikombinasikan dengan strategi komunikasi yang efisien serta komitmen yang luar biasa membuat para juru memutuskan bahwa kota ini dinobatkan sebagai Ibukota Hijau Eropa 2014.[21]

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2015

[sunting | sunting sumber]

Terdapat empat kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2015. Keempat kota tersebut meliputi Bristol, Brussels, Glasgow, dan Ljubljana.[18] Para finalis memaparkan presentasi mereka mengenai visi, rencana aksi, dan strategi komunikasi kepada juri pada 24 Mei 2013. Masing-masing kota menunjukkan pencapaian mereka serta ruang atau celah mana saja yang masih memerlukan peningkatan atau usaha yang lebih maksimal.[22]

Bristol, Ibu Kota Hijau Eropa 2015

Juri mencatat bahwa Brussels membuat kemajuan yang pesat yang waktu yang singkat dan mengapresiasi hal itu. Brussels dianggap berhasil soal pembangunan berkelanjutan dan penataan wilayah permukiman. Kota yang dijuluki sebagai Ibu Kota Eropa ini bekerja sama dengan otoritas lingkungan lokal untuk mengkomunikasikan isu lingkungan melalui kampanye, penggunaan situs web dan media sosial, serta pameran. Namun, kualitas udara dan pergerakan atau mobilitas masih memerlukan perhatian untuk ditingkatkan.[22]

Glasgow menarik perhatian juri terutama dalam bidang area perkotaan hijau serta perekonomian hijau. Kota yang merupakan salah satu jantung industri di Skotlandia ini menunjukkan bagaimana kota industri dan kota pelabuhan mampu berkembang menjadi kota hijau. Momentum yang dimanfaatkan oleh Glasgow adalah kegemerlapan Pesta Olahraga Persemakmuran 2014 yang diselenggarakan di kota itu. Glasgow berusaha membangun kota berdasarkan perencanaan kota pintar dan hijau. Hasilnya adalah antara tahun 2013-2015 terdapat 59 proyek ramah komunitas yang direalisasikan di kota ini. Meskipun demikian, juri berkesimpulan bahwa kebisingan dan mobilitas masyarakat masih kurang dan memerlukan usaha untuk meningkatkan kualitas pada indikator tersebut.[22]

Visi Ljubljana 2025 menjadi kota ramah lingkungan yang menghadirkan kualitas hidup yang layak bagi penduduknya membuat juri terkesima. Fakta lainnya adalah Ljubljana sangat hijau dan memiliki kualitas udara yang bagus. Bahkan 38% seluruh wilayah kota ini termasuk dalam European Natura 2000 Sites". Ljubljana merealisasikan pembangunan taman-taman baru dari ruang kota yang tak terpakai. Namun, juri menilai bahwa pencapaian Ljubljana masih kurang dan belum cukup untuk menyangdang gelar Ibu Kota Hijau walaupun potensi yang dimiliki ibu kota Slovenia ini sangat menjanjikan. Kota ini diyakini dapat menjadi panutan sempurna bagi kota ukuran medium di seluruh Eropa.[22]

Bristol yang merupakan finalis pemilihan tahun 2014 hadir kembali dan membuat juri kagum melalui rencana investasi kota ini pada bidang transportasi dan energi. Seiring dengan rencana besar ini emisi karbon di Bristol sejak tahun 2005 turun secara konsisten. Padahal geliat perekonomian sangat maju. Kota ini memiliki ambisi untuk menjadi ibu kota industri rendah emisi di Eropa dengan menargetkan 17.000 lapangan kerja baru di bidang industri kreatif berbasis digital tahun 2030. Bristol menyandang predikat sebagai kota terhijau di Inggris, memiliki akses yang mudah, kualitas udara yang sangat baik, serta pertumbuhan pengguna sepedanya sangat pesat. Berbagai pencapaian yang dimiliki Bristol termasuk inovasi perekonomian hijau membuat juri secara bulat mengukuhkan kota ini sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2015.[22]

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2016

[sunting | sunting sumber]

Terdapat lima kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2016. Kelima kota tersebut meliputi Essen, Ljubljana, Nijmegen, Oslo, dan Umeå.[18] Kota finalis diberi kesempatan untuk memaparkan presentasi mereka pada 23 Juni 2014. Poin penilaian utama para juri adalah komitmen secara keseluruhan, kapasitas untuk bertindak sebagai panutan, serta strategi komunikasi.[23]

Semarak perayaan saat Ljubljana ditetapkan sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2016

Juri menilai bahwa Kota Essen memperlihatkan transformasi yang sangat mengagumkan dari kota industri bersejarah menjadi kota yang terdepan dalam bidang lingkungan. Kota ini dinilai memiliki kontribusi besar terhadap upaya peningkatan kualitas lingkungan di wilayah Wilayah Metropolitan Rhine-Ruhr.[23] Sementara itu Nijmegen dipuji karena pendekatan yang dipakai kota ini berbasis pada kohesi sosial dan teritorial serta memiliki koordinasi yang baik dengan bermacam pemangku kebijakan serta melibatkan Sungai Waal yang berada di kota ini sebagai bagian dari proyek perbaikan lingkungan.[23]

Oslo memukai para juri terutama bagaimana cara kota ini bersinergi dengan berbagai komunitas dan LSM. Program nol emisi yang digagas melalui OsloGoGreen juga mendapat tanggapan yang sangat positif. Oslo juga dianggap berhasil dalam mengurangi penggunaan Bahan Bakar Minyak di tengah popularitas negara mereka sebagai pemain industri migas tingkat global.[23] Sementara itu, presentasi yang dibawakan oleh Umeå dipuji para juri terutama mengenai rencana-rencana yang akan diambil ke depannya seperti investasi lebih di bidang energi ramah lingkungan dengan menargetkan 65% bus akan dielektrifikasi dalam jangka waktu lima tahun ke depan.[23]

Transformasi besar-besar dalam 10-15 tahun terakhir di Ljubljana dianggap sebagai yang paling memukai juri. Ibu kota salah satu negara pecahan Yugoslavia ini memperlihatkan peningkatan mutu pengelolaan air dan limbah. Inisiatif untuk mewujudkan masyarakat nol sampah pun gencar digaungkan. Ljubljana digadang-gadang sebagai ibu kota pertama negara-negara Eropa yang memiliki komitmen bebas sampah yang besar.[24] Taman dan area terbuka hijau di dalam kota berhasil dipertahankan. Lahan-lahan tak terpakai pun mulai direvitalisasi. Hal lain yang menjadi pemungkas mengapa juri menetapkan kota ini sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2016 adalah pengalaman Ljubljana dalam berbagi pengetahuan dan praktik tanggap bencana kepada kota-kota lain di kawanan Balkan.[23]

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2017

[sunting | sunting sumber]

Terdapat empat kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2017. Keempat kota tersebut meliputi Essen, Nijmegen, S’-Hertogenbosch, dan Umeå.[18] Pada 14 Juni 2015, keempat finalis diberikan kesempatan untuk mempresentasikan mengenai kota mereka. Hal yang dipresentasikan meliputi visi kota, rencana aksi, dan strategi komunikasi.[25] Berdasarkan hasil presentasi, juri mengevaluasi materi yang disampaikan oleh kota finalis. Menurut juri Nijmegen punya daya tarik besar berupa kampanye Sustainable Relay. Kampaye unik tersebut mendemonstrasikan kemampuan kota ini dalam mengkomunikasikan komitmen kepada para penduduk dan meningkatkan kesadaran warganya terhadap isu-isu lingkungan. Selain itu Nijmegen memiliki Urban Lab yang merupakan proyek rintisan untuk mendukung sinergi antarpemangku kepentingan di kota itu.[25]

Terdapat sinergi yang kuat dan mengesankan di Kota S’-Hertogenbosch. Sinergi tersebut melibatkan pemerintahan lokal dengan pelaku industri serta pebisnis kota tersebut. Kota ini merintis apa yang dinamakan Spark Centre yang fokus mengembangkan inovasi teknologi ramah lingkungan. Sementara itu Umeå beraspirasi untuk meningkatkan jumlah penduduknya dari 120.000 jiwa pada tahun 2015 menjadi 200.000 jiwa pada tahun 2050. Bersamaan dengan ini, Umeå memiliki pendekatan yang dikenal sebagai compact city. Pendekatan ini bertujuan untuk memperoleh dukungan dan rasa percaya dari masyarakat dengan menjamin bahwa peningkatan populasi tidak akan mempengaruhi ruang hijau yang ada. Tantangan iklim dipercaya membuat Umeå dapat menjadi pusat inovasi.[25]

Essen dinilai memiliki performa yang bagus dalam 12 indikator penilaian. Hal yang paling memukau adalah bagaimana Essen melepas ketergantungan pada energi lama yang menghasilkan banyak limbah dan emisi.[26] Kota itu beralih secara perlahan ke ekonomi hijau. Ekonomi hijau yang diadopsi kota ini berhasil membuka lapangan pekerjaan baru. Strategi Essen untuk menuju kota hijau kelas dunia patut dicontoh. Strategi ini fokus pada pelibatan dan transformasi masyarakat yang diejawantahkan melalui kerja sama pihak pemerintah dengan berbagai komunitas di kota tersebut. Selain itu, kontribusi Essen terhadap wilayah di sekitarnya juga diacungi jempol. Di balik sederet pencapaiannya, juri percaya bahwa masih banyak yang perlu ditingkatkan oleh Essen dan menilai bahwa kota di daerah Rhine-Ruhr layak menjadi teladan kota-kota Eropa. Oleh karena itu Essen dinobatkan sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2017.[25]

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2018

[sunting | sunting sumber]

Terdapat tiga kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2018. Ketiga kota tersebut meliputi Nijmegen, S’-Hertogenbosch, dan Umeå.[18] Masing-masing kota diberi kesempatan untuk mengadakan presentasi di hadapan juri pada 22 Juni 2016. Presentasi tersebut wajib memaparkan visi kota, rencana aksi, dan strategi komunikasi yang kemudian dinilai berdasarkan kriteria seperti komitmen, visi, dan antusiasme keseluruhan; kapasitas untuk menjadi model dan menginspirasi kota lain; serta aksi komunikasi yang akan diambil apabila kota tersebut memenangkan pemilihan.[27]

Selama proses penilaian juri menyimpulkan bahwa ketiga kota finalis mendemonstrasikan bukan saja catatan lingkungan yang mengagumkan, melainkan pula potensi besar mereka untuk menjadi pemenang penghargaan ini. Juri menilai bahwa pemilihan tahun 2018 sangat kompetitif sehingga pemenang agak susah untuk diputuskan.[27]

Finalis pertama, Nijmegen membawakan presentasi yang ambisius, jelas, dan terstruktr. Hal ini menunjukkan bahwa kota ini tak hanya menjual ide, melainkan kemauan untuk menginvestasikan waktu dan usaha lebih sehingga ide dapat berkembang menjadi inisiatif. Juri menghargai keterlibatan warga dalam mewujudkan kota yang lebih hijau. Selain itu, para pemangku kepentingan yang ada di kota ini saling bekerja sama. Hal ini menunjukkan bahwa kota ini memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bertindak sebagai panutan bagi kota-kota lain di Eropa. Infrastruktur bagi pesepeda, transportasi massal yang bersih dan ramah lingkungan, serta manajemen sampah yang bagus membuat kota ini sangat diapresiasi.[27]

Finalis kedua, Umeå membuat juri terkesima dengan visi mereka. Strategi komunikasi yang dibawakan dalam presentasi sangat jelas dan terarah. Catatan lingkungan yang dimiliki pun sangat baik. Begitu pula dengan upaya pendekatan mereka yang melibatkan masyarakat melalui menghadirkan diskusi mengenai kebijakan lingkungan, meskipun masih menemui beberapa kendala.[27]

Finalis ketiga, S’-Hertogenbosch membawakan presentasi yang idenya penuh dengan orisinalitas atau kebaruan. Fokus yang digagas kota ini adalah kerja sama antargenerasi. Kota ini memiliki duta lingkungan muda sebagai karakter utama yang bersinergi dengan pekerja profesional di kota tersebut sebagai wujud strategi menuju kota yang berkelanjutan. Dari presentasi kota ini kita dapat melihat bagaimana para pemuda berperan penting dalam mewujudkan kota hijau serta bagaimana S’-Hertogenbosch memandang dan mewadahi kaum muda ini. Kekuatan sinergi orang muda dan profesional diperkuat dengan serangkaian proyek-proyek inovatif yang berkontribusi pada modernisasi kota ini selama bertahun-tahun khususnya bidang perencanaan air. Fokus utama kota ini tentang perencanaan air adalah manajemen air hujan dan perlindungan banjir.[27]

Ketiga finalis menampilkan presentasi yang sangat baik. Para juri mengalami kesulitan dalam proses menentukan pemenang karena satu finalis dengan finalis yang lain sangat kompetitif. Nilai dari assessment yang mereka dapatkan pun tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil penilaian juri mendaulat Nijmegen sebagai Ibu Kota Hijau 2018 dengan pertimbangan visi yang matang, kerja sama dan kemampuan untuk menjadi panutan, serta peningkatan pada sistem manajemen sampah dan peningkatan mutu transportasi.[27]

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2019

[sunting | sunting sumber]

Terdapat lima kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2019. Kelima kota tersebut meliputi Ghent, Lahti, Lisbon, Oslo dan Tallinn.[18] Presentasi bagi para finalis diadakan pada 31 Mei 2017. Tiap kota mendapat kesempatan untuk memaparkan presentasi mereka selama 45 menit yang diikuti 15 menit sesi diskusi serta tanya jawab. Awak media diperbolehkan untuk menghadiri dan meliput presentasi tiap finalis. Namun, mereka tidak diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan.[28]

Kelima finalis memaparkan presentasi yang baik dan juri menyebutkan bahwa pemilihan cukup kompetitif. Persaingan antarfinalis cukup tinggi. Ghent membawakan presentasi yang menjelaskan visi mereka dengan jelas. Juri menilai bahwa kota ini dapat menjadi model bagi kota-kota berukuran kecil dan menengah di Eropa. Partisipasi masyarakat dalam upaya menuju kota ramah lingkungan di Ghent sangat tinggi. Hal ini terlihat dari fokus kota yang menekankan pada smart citizens dibanding smart city. Dalam upayanya menuju kota hijau, Ghent berpegang pada prinsip kerja sama dan tidak meninggalkan satu pihak pun. Kota ini dipuji juri mengenai pangan berkelanjutan dan keinginan untuk dapat bekerja sama dengan Ibu Kota Hijau Eropa tahun-tahun sebelumnya.[28]

Lahti dinilai bagus dalam perencanaan air dan pengalaman mereka dalam merestorasi Danau Vesijärvi. Pemerintah Lahti bekerja sama dengan Universitas Helsinki dalam hal konservasi alam dan biodiversitas. Kota ini juga memiliki idea yang sangat brilian berupa menyampaikan cerita dari Lahti setiap minggu melalui tulisan atau diari warganya.[28] Lisbon dipuji karena memiliki kepemimpinan yang cakap dan berkemauan untuk mewujudkan diri menjadi kota ramah lingkungan. Juri mengapresiasi perencanaan kota Lisbon serta kemampuan kota ini menjadikan krisis ekonomi sebagai peluang untuk berubah. Lisbon dinilai mampu menjadi duta bagi kota-kota bersejarah lain yang sedang mencoba menjajaki untuk menjadi kota hijau yang bukan hanya mengalami perbaikan dari sisi lingkungan, melainkan kesejahteraan masyarakatnya.[28]

Finalis kelima, Tallinn yang merupakan kota asal ide penghargaan ini mempresentasikan tentang masyarakay digital. Masyarakat digital bebas kertas dan inovasi dalam pembuatan kartu identitas elektronik adalah keunggulan dari kota ini serta Estonia secara umum. Tallinn menunjukkan komitmen kuat untuk menjadi panutan bagi kota lain. Juri secara khusus terkesima dengan rancangan aksi komunikasi yang akan diambil serta betapa tinggi konektivitas atau keterhubungan masyarakat kota dengan bentang alam seperti laut dan danau.[28]

Juri terkesima dengan pendekatan menyeluruh (holistik) yang didemonstrasikan oleh Oslo. Ibu kota Norwegia ini memaparkan presentasi yang mencakup bahasan tentang keanekaragaman hayati, transportasi massal, integrasi sosial, serta kesehatan masyarakat. Oslo menetapkan tema bertajuk 'Kota untuk semuanya, masyarakat diprioritaskan'. Selain ide, kota ini menunjukkan aksi nyata dengan membuka kembali jalur air di sekeliling kota. Data terakhir menunjukkan ada 3.000 jalur air yang dibuka di kota itu. Oslo juga mengambil inisiatif untuk bekerja sama dengan kota-kota lain dan mengajukan proposal yang mendemonstrasikan dukungan penuh terhadap Agenda Perkotaan Uni Eropa.[28] Berbagai keunggulan yang diperlihatkan Oslo membuat juri memilih kota ini sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2019.[28][29]

Lokasi Ibu Kota Hijau Eropa. Hijau menandakan ibu kota hijau tahun ini; merah menandakan ibu kota hijau tahun-tahun sebelumnya; dan biru menandakan ibu kota hijau tahun yang akan datang

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2020

[sunting | sunting sumber]

Terdapat tiga kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2020. Ketiga kota tersebut meliputi Ghent, Lahti, dan Lisbon yang kemudian diberikan kesempatan untuk mempresentasikan kota masing-masing pada 20 Juni 2018.[18][30] Juri sangat menyukai komitmen Ghent dalam mendukung inovasi lingkungan dan pendekatan menyeluruh tentang pembangunan infrastruktur berkelanjutan di kota itu. Ghent juga dipuji lantaran partisipasi publiknya yang tinggi serta perhatiannya terhadap bahan makanan, sampah makanan, serta investasi terhadap teknologi ramah lingkungan.[30]

Inisiatif lingkungan inklusif di Lahti diapresiasi oleh para juri. Kota ini berkomitmen terhadap penggunaan energi bersih dan terbarukan serta mencanangkan 2020 sebagai tahun bebas batu bara. Lahti saat ini fokus pada perbaikan manajemen dan inovasi air untuk jangka panjang. Kota ini bahkan punya proposal perdagangan karbon yang potensial sekali untuk diadopsi oleh kota-kota Eropa lainnya. Juri mencatat bahwa kota ini meraih banyak kemajuan dalam pengolahan sampah dan limbah.[30]

Juri menganggap bahwa Lisbon secara sempurna mampu mendemonstrasikan semangat Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa melalui presentasi mereka yang sangat baik serta sinergi pemerintah dan masyarakatnya. Perjalanan Lisbon menjadi kota hijau dimulai tatkala krisis ekonomi menghantui. Hal ini membuat Lisbon menjadi spesial di mata juri. Ibu kota Portugal ini mampu mengubah keadaan menjadi suatu peluang. Keberhasilan Lisbon akan menjadi inspirasi sekaligus secara nyata menjadi teladan kota-kota Eropa. Berdasarkan pertimbangan ini pula juri mengumumkan bahwa Lisbon adalah Ibu Kota Hijau Eropa 2020.[30]

Lisbon, Ibu Kota Hijau Eropa 2020

Pemilihan Ibu Kota Hijau 2021

[sunting | sunting sumber]

Terdapat tiga kota yang menjadi finalis pemilihan Ibu Kota Hijau Eropa 2021. Ketiga kota tersebut meliputi Lahti, Lille, dan Strasbourg.[18] Pada babak final, kota-kota diberi waktu untuk menyelenggarakan presentasi serta sesi tanya jawab. Presentasi dilangsungkan selama 45 menit per kota dan diikuti 15 menit sesi tanya jawab. Presentasi babak final ini dilakukan pada 20 Juni 2019. Fokus penilaian juri adalah komitmen keseluruh serta visi kota yang dicerminkan melalui presentasi; kemampuan kota untuk menjadi inspirasi dan teladan bagi kota-kota Eropa lainnya; serta strategi dan aksi komunikasi.[31]

Presentasi dari perwakilan Lille mendapat pujian. Kota ini menunjukkan bahwa transisi menuju kota masa depan yang berkelanjutan terjangkau untuk seluruh penduduk dan terjadi pada tiap level masyarakat. Paparan tim Lille membawa pesan berbunyi Green Happiness. Pesan ini bertujuan agar tidak ada yang menganggap bahwa perbaikan dan peningkatan mutu lingkungan sebagai beban. Hal ini justru harus dipahami sebagai kesempatan untuk membawa perubahan. Pendekatan yang dipakai Lille adalah mengkombinasikan seni urban dengan lingkungan. Juri sangat mendukung rencana ambisius pangan berkelanjutan. Bahan pamgan di Lille dapat dijumpai di tengah kota. Pada tahun 2021, pemerintah kota ini merencanakan untuk membangun proyek laboratorium pertanian dan pertamanan urban. Proyek ini diyakini dapat direplikasi di kota-kota lain di seluruh Eropa.[31]

Strasbourg menawarkan solusi lokal untuk menghadapi persoalan global, seperti perubahan iklim. Kota ini diapresiasi karena catatan kolaborasinya dengan berbagai pihak serta upaya untuk bersinergi dengan wilayah lain di region tersebut serta Kehl yang merupakan kota rekan dari Jerman. Kolaborasi ini dianggap sebagai modal awal kota ini untuk menjadi panutan. Strasbourg sekarang sedang berada dalam mode transisi menuju kota hijau. Upaya mencapai visi ini melibatkan masyarakat dan berbagai pemangku kebijakan. Visi kota hijau Strasbourg pada akhirnya berbasis komunitas. Kota ini bahkan mengasosiasikan diri dengan SDG's, dalam rangka membentuk masa depannya sebagai kota hijau.[31]

Penilaian juri terhadap presentasi dari perwakilan Lahti sangat positif. Lahti dinilai menunjukkan ambisi besar untuk bertransformasi dari kota kecil miskin berbasis industri pada tahun 1990am menjadi kota masa depan. Juri merasa bahwa kota ini memiliki pemahaman yang tinggi mengenai betapa daruratnya permasalahan iklim global. Oleh karena itu mereka menargetkan untuk menjadi kota bebas karbon seutuhnya pada 2025. Visi ini sepuluh tahun lebih dahulu dibanding rencana nasional Finlandia yang baru akan mencapai target bebas karbon pada 2035, serta 25 tahun lebih dulu dibanding Visi Uni Eropa 2050. Kota ini pada akhirnya ditetapkan sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2021.[31]

Ibu Kota Hijau Eropa

[sunting | sunting sumber]

Keuntungan yang Didapat

[sunting | sunting sumber]

Kota yang dinobatkan menjadi Ibu Kota Hijau Eropa dapat meraih banyak keuntungan untuk jangka waktu yang panjang setelah status mereka sebagai Ibu Kota Hijau Eropa pada tahun itu digantikan oleh kota yang lain pada tahun berikutnya. Beberapa keuntungan atau manfaat yang diperoleh kota-kota pemenang, antara lain sebagai berikut.[43]

  1. Terjadi perkembangan yang signifikan di bidang pariwisata
  2. Mendapatkan liputan media internasional secara positif
  3. Dapat menyediakan pekerjaan baru dikarenakan ibu kota hijau sukses mengekspor produk hijau mereka serta jasa yang ramah lingkungan
  4. Lebih banyak proyek lingkungan yang lebih serius yang didanai oleh sponsor dan dana hibah
  5. Mendapatkan momentu untuk terus meningkatkan kualitas dan keberlanjutan lingkungan
  6. Meningkatkan rasa bangga warga kota serta rasa kepemilikan terhadap kota mereka
  7. Membangun jaringan bersama ibu kota hijau Eropa yang lain

Kemudian, secara spesifik beberapa kota mendapatkan manfaat selain manfaat-manfaat di atas. Bristol misalnya, pada tahun 2015 menerima dana sebesar 7 juta euro untuk mewujudkan beragam proyek di kota itu seperti pemberian penghargaan teknologi ramah lingkungan (clean tech award), festival teknologi hijau, dan sebagainya. Sementara itu, Kota Nantes yang merupakan Ibu Kota Hijau Eropa 2013 menyaksikan gelar "ibu kota hijau" yang tersemat pada kota itu sangat diapresiasi. Dalam pemilihan umum lokal tahun 2014, agenda lingkungan menjadi salah satu prioritas utama.[43]

Tanggapan dan Kritik

[sunting | sunting sumber]

Belum banyak kajian yang ditulis mengenai penghargaan ini. Padahal minat terhadap penghargaan ini tiap tahun semakin tinggi. Penghargaan ibu kota hijau memiliki satu keunggulan besar yakni penyebaran kesadaran yang positif tentang kota dan permasalahannya tanpa menggunakan regulasi yang ketat atau investasi besar-besaran.[44] Kesadaran yang dimaksud dapat dibangun di tengah masyarakat kota pemenang atau di luar itu dengan cara berbagi dan belajar bersama dari pengalaman kota yang terpilih sebagai ibu kota hijau. Kesadaran dan perhatian publik pada beberapa ibu kota hijau seperti Stockholm membawa citra yang baik dan meningkatkan pendapatan melalui berkembangnya sektor pariwisata berbasis lingkungan. Meskipun demikian, kajian khusus mengenai pengaruh ini masih sangat sedikit. Keunggulan lainnya adalah penghargaan ini secara tak langsung memaksa kandidat ibu kota hijau untuk mencegah fraksi di tingkat pemangku kebijakan dengan cara mempererat kolaborasi dan kerja sama.[44] Penghargaan ini mempromosikan perencanaan transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Perencanaan transportasi berkelanjutan ini tidak bergantung pada satu teknologi saja, melainkan mengajak kota-kota untuk berinovasi, membuat proyek rintisan, serta bereksperimen dengan sistem yang baru.[44]

Ada beberapa kelemahan dari penghargaan ini. Pertama, ketidakseragaman data karena ketiadaan standard mengenai data-data lingkungan perkotaan. Data-data yang ada disediakan oleh kota-kota kandidat. Ketidakseragaman ini mmebuat proses evaluasi bergantung pada data yang ada. Para pengevaluasi hampir tidak memiliki kesempatan untuk memverifikasi informasi. Secara konseptual Penghargaan Ibu Kota Hijau Eropa ini dikritisi karena tidak ada pemeringkatan yang jelas. Tidak diketahui pula sebenarnya apa yang dinilai selama proses sehingga memunculkan kesan kurang transparan.[45] Isu yang lain seputar penghargaan ini adalah ketiadaan prosedur untuk melakukan tindakan selanjutnya setelah suatu kota ditetapkan menjadi ibu kota hijau. Penghargaan ini menekankan pada pendaftaran dan proses evaluasi, bukan aktivitas dan hasil. Hal ini berimbas pada ketiadaan upaya sistematis untuk menghitung biaya, manfaat, dan hasil yang didapat kota pemenang maupun penghargaan ini secara umum. Namun, permasalahan-permasalahn yang ada dapat diminimalisasi di masa mendatang. Seiring waktu program penghargaan ini akan menjadi lebih dewasa dan meningkat secara mutu.[45] Upaya menjadikan suatu kota sebagai kota hijau dikritisi sebagian orang karena menunjukkan ketimpangan dalam relasi kuasa sehingga proyek-proyek yang ada hanya menguntungkan sebagian pihak saja.[46]

Kritikan di Hamburg

[sunting | sunting sumber]

Hamburg telah dikritik sejak kota itu mendaftarkan diri sebagai kandidat Ibu Kota Hijau Eropa. Walah berusaha keras untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) hingga 15%, pada tahun 2005 emisi CO2 kota ini 50% lebih tinggi daripada emisi zat serupa di Stockholm pada dekade 1990an. Proposal yang dikirimkan oleh salah satu kota di Jerman ini dikritik karena terlalu fokus pemotongan dana publik untuk bahan bakar. Sementara itu isu pembangunan di sekitar sungai serta kemacetan di pelabuhan dibiarkan begitu saja. Padahal pembangunan di sekitar sungai dan kemacetan di pelabuhan ini bertanggung jawab atas sebagian besar kerusakan lingkungan serta kehilangan flora-fauna yang dialami Hamburg.[47]

Kritikan di Bristol

[sunting | sunting sumber]

Bristol yang merupakan ibu kota hijau 2015 sedang bergelut dengan permasalahan yang sama dengan kota-kota besar lainnya di Britania Raya. Meski terjadi penurunan penggunaan mobil pribadi untuk pergi ke tempat kerja sejak 2001, Bristol dilabeli sebagai slaah satu kota terpadat di Britania Raya. Pada tahun 2013, kandungan ntirogen dioksida (NO2) di kota ini melebihi ambang batas yang ditetapkan Uni Eropa. Rata-rata konsentrasi gas NO2 melebihi batas 40 µg/m3. Bukan suatu kejutan apabila kemudian sebagian warga Bristol mempertanyakan catatan kota ini sebagai kota hijau. Mereka memandang Penghargaan Ibu Kota Hijau sebagai pengalihan semata dari isu-isu lingkungan yang dihadapi masyarakat Bristol.[48] Namun, Traci Lewis yang merupakan seorang konsultan (pembangunan) hijau menyebutkan bahwa ibu kota hijau hanyalah suatu platform. Menurutnya secara umum Bristol memetik kesuksesan. Memang tidak sempurna sehingga ada beberapa kritik, tetapi ibu kota hijau harus dipandang dari perspektif jangka panjang.[49]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Gudmundsson, Henrik (2015). "The European Green Capital Award. Its Role, Evaluation Criteria and Policy Implications" (PDF). Toshi Keikaku. 64 (2): 2–7. 
  2. ^ Marshall, Catherine. "Green with envy in Greta country". Canberra Times. 
  3. ^ "OSLO starts 2019 as Europe's Eco Capital". Energy World Digital. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-10. Diakses tanggal 2019-11-10. 
  4. ^ a b Smith, Emilly. "Green is a way of life in Europe's eco capital". CNN.com. 
  5. ^ a b Cömertler1, Seval "Greens of the European Green Capitals" pp. 1-10 from IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 2017, p. 2.
  6. ^ a b Pearlmutter, David (2017). The Urban Forest: Cultivating Green Infrastructure for People and the Environment. Springer International Publishing. hlm. 238. 
  7. ^ "Memorandum on the European Green Capital title" (PDF). Komisi Eropa. 
  8. ^ a b c Gudmundsson, Henrik (2015). "The European Green Capital Award. Its Role, Evaluation Criteria and Policy Implications" (PDF). Toshi Keikaku. 64 (2): 2–7. 
  9. ^ Bērziņa, Dina (2015). Human Geography: A Concise Introduction. Springer International Publishing. hlm. 164. 
  10. ^ Mark, Boyle (2015). Human Geography: A Concise Introduction. Wiley Blackwell. hlm. 227-228. 
  11. ^ Cocking, Simon. "Everything You Wanted to Know about the European Green Capital Award & European Green Leaf Award". Irish Tech News. 
  12. ^ a b Clark, Peter (2017). Green Landscapes in European City, 1750-2010. Routledge. hlm. 213-214. 
  13. ^ "Eligibility Check". European Commission. 
  14. ^ P.J., Rudden (2015). "Environmental sustainability of European cities". Proceedings of the Institution of Civil Engineers. Civil Engineering. 168 (2): 75–80. doi:10.1680/cien.14.00037. 
  15. ^ "The Jury". ec.europa.eu. 
  16. ^ Pace, Rocco (2016). "How green is a "Green City"? A review of existing indicators and approaches". IASS Woring paper. Postdam: Institute for Advanced Sustainability Studies (IASS): 1–26. 
  17. ^ a b Gudmundsson, Henrik (2015). "The European Green Capital Award. Its Role, Evaluation Criteria and Policy Implications" (PDF). Toshi Keikaku. 64 (2): 2–7. 
  18. ^ a b c d e f g h i j Previous Finalists Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  19. ^ a b The Jury’s Conclusions for the European Green Capital Award of 2010 and 2011 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  20. ^ a b c The Jury’s Conclusions for the European Green Capital Award of 2012 and 2013 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  21. ^ a b c d e Jury Report for the European Green Capital Award 2014 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  22. ^ a b c d e Jury Report for the European Green Capital Award 2015 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  23. ^ a b c d e f Jury Report European Green Capital Award 2016 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  24. ^ "From no recycling to zero waste: how Ljubljana rethought its rubbish". The Guardian. 
  25. ^ a b c d [https://ec.europa.eu/environment/europeangreencapital/wp-content/uploads/2012/06/2017-EGCA-Jury-Report.pdf Jury Report European Green Capital Award 2017] Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  26. ^ "Essen's experiment: can going green revive a post-industrial city economy?". The Guardian. 
  27. ^ a b c d e f Jury Report European Green Capital Award 2018 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  28. ^ a b c d e f g Jury Report 2019 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  29. ^ "How Oslo became the European Green Capital 2019". The Explorer.no. 
  30. ^ a b c d Jury Report 2020 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  31. ^ a b c d Jury Report 2021 Dikeluarkan oleh Komisi Eropa
  32. ^ Johnston, Brian. "The world's best 10 eco-conscious cities". Stuff.co.nz. 
  33. ^ a b c d e f Gudmundsson, Henrik (2015). "The European Green Capital Award. Its Role, Evaluation Criteria and Policy Implications" (PDF). Toshi Keikaku. 64 (2): 2–7. 
  34. ^ Gillilan, Lesley. "Why Bristol's eco aura won it European Green Capital 2015 status". The Guardian. 
  35. ^ "Bristol named European Green Capital for 2015". BBC.com. 
  36. ^ "How Ljubljana Became the 2016 European Green Capital?". Move.bg. 
  37. ^ Early, Samantha. "From coal city to European Green Capital - Essen's extreme makeover". DW.com. 
  38. ^ "Nijmegen wins award for Europe's greenest city". Climate Action. 
  39. ^ "Oslo European Green Capital 2019". Sustain Europe. 
  40. ^ "Oslo starts 2019 as Europe's eco capital". DW.com. 
  41. ^ "Finland's Lahti wins European Green Capital Award for 2021". Xinhua. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-07. Diakses tanggal 2019-11-07. 
  42. ^ "Lahti won the European Green Capital Award for 2021". TheMayor.eu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-29. Diakses tanggal 2019-11-07. 
  43. ^ a b "Winning Cities: Requirements & Benefits". European Commission. 
  44. ^ a b c Gudmundsson, Henrik (2015). "The European Green Capital Award. Its Role, Evaluation Criteria and Policy Implications" (PDF). Toshi Keikaku. 64 (2): 2–7. 
  45. ^ a b Gudmundsson, Henrik (2015). "The European Green Capital Award. Its Role, Evaluation Criteria and Policy Implications" (PDF). Toshi Keikaku. 64 (2): 2–7. 
  46. ^ Clark, Peter (2017). Green Landscapes in the European City, 1750–2010. Routledge. hlm. 238. ISBN 9781315302836. 
  47. ^ Cohen, Nevin (2011). Green Cities: An A-to-Z Guide. SAGE Publication. hlm. 256. ISBN 9781412973816. 
  48. ^ Birch, Hayley. "Is Bristol a worthy Green Capital of Europe – or is it all for show?". The Guardian. 
  49. ^ Emanuel, Louis. "Bristol Green Capital: Success or Flop?". B24/7. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]