Calempong Oguong
Calempong Oguong adalah salah satu seni musik masyarakat Kabupaten Kampar.[1] Musik ini mulai berkembang di wilayah Kerajaan Pagaruyung sejak abad ke-14 Masehi pada masa Hindu-Buddha dan menyebar luas pada masa Islam abad ke-16 Masehi.[2] Calempong Oguong terdiri dari calempong, ketepak dan gong.[3] Jumlah pemainnya adalah lima orang.[4] Permainan musik ini dapat dimainkan oleh laki-laki maupun perempuan tetapi secara terpisah.[5] Calempong Oguong melambangan masyarakat Kampar yang terdiri dari kaum pendatang, penduduk lokal dan pemimpin suku serta perlambang musyawarah.[5]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masyarakat Kampar telah mengenal musik sejak zaman primitif dan saat masih meyakini animisme. Dalam Calempong Oguong tidak ada pengaruh musik Arab atau melodi daratan Asia.[6] Calempong mulai dikenal di Sumatera Barat sejak abad ke-14 Masehi dengan nama Talempong. Penyebarannya dimulai pada masa pemerintahan raja Adityawarman dari Kerajaan Pagaruyung. Awalnya, Calempong Oguong menggunakan kebudayaan Hindu dan Buddha. Pada abad ke-16 Masehi, musiknya disesuaikan dengan budaya Islam yang berkembang di Sumatera Barat, khususnya dalam masyarakat Minang dan Kampar.[2]
Cara bermain
[sunting | sunting sumber]Musik Calempong Oguong dihasilkan dari perpaduan tiga alat musik yaitu calempong, ketepak, dan gong. Calempong merupakan alat musik perkusi yang terbuat dari logam. Dalam Caemping Oguong digunakan enam Calempong dengan nada tinggi hingga menengah. Alat ini diletakkan di atas kotak kayu. Ketepak merupakan alat musik perkusi berbentuk bulat dengan permukaannya terbuat dari kulit kambing yang dirajut dengan rotan. Gong yang digunakan terbuat dari logam dengan bentuk bulat berongga.[3] Calempong Oguong hanya terdiri dari dua baris irama yang dimainkan berulang ulang pada setiap judul lagu. Calempong dimainkan dengan [3] Lagu-lagu yang dimainkan yaitu Sendayuong Onti-Onti, Lailahaillallah, Kak kak kak timbang baju, Nak pulang den nak tidho dan Ughang Suboghang.[5]
Pemain
[sunting | sunting sumber]Calempong Oguong dimainkan oleh lima orang yang terdiri dari satu orang penggolong, empat orang peningkah, dan satu orang pemukul gong. Enam buah Calempong dimainkan oleh penggolong dan seorang peningkah. Peningkah lainnya memainkan ketepak, dan pemukul gong memainkan dua gong.[4] Calempong Oguong di Limo Koto dimainkan pada malam hari sehingga hanya dilakukan oleh laki-laki. Di daerah Kampar Kiri, Kampar Kanan, dan XIII Koto Kampar, Calempong Oguong hanya dimainkan oleh perempuan dan hanya pada siang hari.[5]
Pemaknaan
[sunting | sunting sumber]Calempong Oguong dianggap sebagai perlambangan struktur sosial dalam masyarakat Kampar. Calempong melambangkan kaum pendatang, ketepak melambangkan penduduk lokal, sedangkan gong sebagai Ninik Mamak atau pemimpin suku. Selain itu, Calempong Oguong juga melambangkan persatuan masyarakat yang mengadakan musyawarah untuk menentukan suatu keputusan bersama.[5] Susunan nada calempong yang semakin ke tengah semakin tinggi dimaknai sebagai bentuk kekuatan magis yang memiliki jiwa dan raga seperti manusia. Selain itu, calempong yang berada di tengah diumpakan seperti posisi jantung dalam tubuh manusia.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Martini, Sri (September 2017). "Analisis Musik Calempong (Lagu Muara Takui) di Kecamatan Bangkinang Seberang Kabupaten Kampar Riau". Suara Guru. 3 (3): 530.
- ^ a b Bopindo, Isjoni, dan Saiman 2016, hlm. 4–5.
- ^ a b c Purnomo et al. 2018, hlm. 76.
- ^ a b Purnomo et al. 2018, hlm. 75–76.
- ^ a b c d e Bopindo, Isjoni, dan Saiman 2016, hlm. 5.
- ^ Purnomo et al. 2018, hlm. 75.
- ^ Purnomo et al. 2018, hlm. 77.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Bopindo, B., Isjoni, dan Saiman, M. (2016). "Sejarah dan Pelestarian Musik Calempong Baoguong di Kota Bangkinang Kabupaten Kampar". Jurnal Online Mahasiswa: Bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 3 (2): 1–8.
- Purnomo; et al. (2018). Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Hasil Penetapan Kemedkibud 2013 s.d. 2018 Untuk Wilayah Kerja BPNB Kepulauan Riau Provinsi Kepulauan RIau dan Riau (PDF). Tanjungpinang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau. ISBN 978-602-51182-5-8.