Kertas Lontar
Kertas Lontar adalah kertas yang terbuat dari daun lontar.Pada masa dahulu, media yang dipakai untuk kegiatan tulis-menulis di Jawa adalah daun lontar (Borasus flabellifer) atau daun nipah (Nipa fruticans WURMB). Setelah muncul Kertas Jawa atau Kertas Daluwang serta kertas impor, penggunaan kertas ini ternyata tidak serta merta punah dan masih dijumpai di beberapa tempat hingga Abad ke-20 di Jawa, Madura,Bugis, Bali, dan dikawasan ini banyak dijumpai naskah-naskah kuno yang menggunakan daun lontar sebagai alat tulis. Kualitas naskah yang dihasilkan berbeda-beda tergantung pada mutu bahan, cara pengerjaan dan perawatannya.
Mengenai jenis daun lontar yang digunakan sebagai bahan tulis, seorang sejarahwan Belanda, Van Der Molen menunjuk pada pendapat seorang ahli sejarah, Rumpius bahwa ada tiga jenis daun lontar yakni Lontarus domestica, Lontarus silvestris dan Lontarus silvestris altera. Lontarus domestica lebih banyak dipergunakan karena daunnya lebih lunak. Alat yang digunakan adalah sejenis pisau yang ditorehkan (pisau pangot dalam bahasa Sunda) atau kalam (pena) yang dicelupkan dengan tinta yang hitam pekat serta warnanya tidak luntur. Sementara menurut Friederich, seorang pembantu Museum KBG dimasa Hindia Belanda (kini Museum Nasional, Jakarta) yang dianggap seorang ahli tulisan kuno, huruf yang digunakan adalah huruf Kawi dengan jenis Kawi-Kwadraat (aksara Kawi tegak) dan Kawi curcief (aksara Kawi yang condong) seperti naskah yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu di Kedu, Jawa Tengah. Sebagai catatan, beebrapa sejarahwan juga mengklasifikasi bahwa huruf Bali merupakan varian dari huruf Kawi seperti, huruf Sunda Kuno dan beberapa variannya, yang juga dikatakan oleh seorang sejarahwan Belanda, Brandes.
Naskah-naskah yang menggunakan daun Lontar
[sunting | sunting sumber]Cukup banyak naskah Nusantara kuno yang menggunakan daun lontar, dan menurut Friederich antara lain berisi ajaran Hindu-Buddha. Di antara naskah itu ada yang menggunakan candrasangkala sebagai identitas yang menunjukkan tahun saka dengan contoh naskah ber-kolofon: panca (5) warna (4) catur (4) bhumi (1) yang berarti 1445 saka atau 1523/1524 Masehi. Sebuah naskah tua dengan kolofon 1256 Saka atau 1334/5 Masehi adalah Arjunawiwaha yang merupakan naskah tertua yang ditemukan di daerah Jawa Barat.
Contoh naskah lain yang menggunakan daun nipah adalah Kunjarakarna yang disimpan di Universitas Leiden dengan kode Lor. 2266, kemudian Bujangga Manik yang disimpand di Perpustakaan Bodleian di Oxford, Inggris, Carita Parahyangan dengan Aksara Sunda Kuno dan Siksakanda ng Karesian yang berkolofon nora catur sagara wulan (1440 saka atau 1518 Masehi) yang disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Catatan De-Clerq yang dilansir oleh Van der Molen juga menuliskan bahwa bahan nipah menjadi media tulis di Nusantara pada abad ke-20 dengan berita In het binnenland van Zuid-Sumatera dienden ze vroeger )en mischien nog wel) om er minnerbireven op to griffen.
Mengenai data literatur, kata yang dewasa ini digunakan di Bali untuk menunjukkan daun palma sebagai bahan tulis adalah ental atau lontar (bentuk metathesis dari rontal, yang berarti daun pohon tal yang diduga dari bahasa Jawa ), dalam puisi, kata-kata seperti siwala, sawala, suwala, suwalapattra, sewalapattra, siwalan, semuanya dipakai dalam arti surat, tetapi juga menunjuk pada daun pohon tal.
Kelemahan Naskah daun lontar
[sunting | sunting sumber]Tulisan yang ditulis dengan media daun lontar tidak begitu awet dibandingkan dengan prasasti yang ditulis pada batu ataupun lempengan kuningan. Ujung-ujungnya menjadi berumbai, uratnya meretak dan yang paling buruk adalah mudah dimakan serangga sehingga menjadi lekas rapuh. Naskah dari daun lontar tersebut paling tinggi atau paling lama berusia 100 sampai 150 tahun. Dengan demikian, naskah Jawa Kuno itu tersimpan dalam salinan yang tidak berusia terlalu tua. Demikian pula yang tersimpan di Bali, dituliskan di Bali dengan huruf Bali dan bahan kertas dari Bali pula.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, 2005