Lompat ke isi

Rumah Gapura Candi Bentar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Rumah Gapura Candi Bentar sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang rumah-rumah adat Bali.[1] Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi yang serupa dan sebangun dan membatasi sisi kiri dan sisi kanan pintu masuk ke pekarangan rumah. Gapura-gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atasnya sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di baagian dalam olehk-anak tangga yang menjadi jalan masuk. Gapura Candi Bentar dalam arsitektur Bali merupakan sebuah perwujudan bangunan yang berfungsi untuk masuk-keluar dari satu sisi ke sisi lainnya (dari luar ke dalam dan atau sebaliknya). Pada awalnya ketika arsitektur Bali masih sesuai dengan keadaan pada masa kerajaan, Gapura Candi Bentar hanya dibangun di lingkungan Puri (Istana Raja) dan Pura (tempat suci agama Hindu). Tidak ditemukan adanya Candi Bentar di perumahan masyarakat kebanyakan.

Bentuknya merupakan gapura, atau candi yang terbelah dua tepat di tengah-tengahnya sehingga menjadi bentukan yang simetri. Baik di puri mau pun di pura, Candi Bentarmenempati posisi di areal paling luar, menjadi pembuka jalansekaligus penerimabagi mereka yang akan mengunjungitempat tersebut. Para Undagi yang mengerjaakan bangunan ini sudah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan peruntukannya.Undagi memahami betul, di mana dan kapan Candi Bentar harus tampil megah, tampil normal (akrab), kokoh dan sebagainya.

Di Pura yang merupakan Kahyangan Jagat seperti Pura Ulun Danu Batur (di Kintamani, Bangli), atau di Pura Besakih (Karangasem), tampak bahwa Gapura Candi Bentar berdiri kokoh, besar, tinggi atau dengan kata lain: megah. Areal Pura yang luas dan topografi yang tidak rata (rendah di arah luar, dan meninggi menuju ke areal Pura yang lebih di dalam), ikut mendukung kemegahan yang terwujud. Dalam teori modern, para undagi telah memperhitungkan dan menerapakan beberapa aspek estetika, dalam hal ini skala dan proporsi.

Bagian dan Fungsi Rumah

[sunting | sunting sumber]

Bagi masyarakat Bali, rumah merupakan keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang pada umumnya dikelilingi oleh tembok (panyengker). Berikut ini adalah bagian-bagian dan fungsi tiap ruangan yang ada di Rumah Gapura Candi Bentar.

1. Sanggah atau pamerajan merupakan tempat suci bagi keluarga.

2. Panginjeng karang merupakan tempat memuja roh yang menjaga pekarangan.

3. Bale manten yaitu tempat tidur kepala keluarga, anak gadis, dan sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Adakalanya digunakan sebagai kamar pengantin baru.

4. Bale gede / bale adat adalah tempat upacara lingkaran hidup yang dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai bale serbaguna.

5. Bale dauh merupakan tempat kerja, pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki.

6. Paon atau dapur adalah tempat memasak dan berfungsi sebagai lumbung (tempat menyimpan padi dan hasil bumi).

7. Angkul angkul atau Pintu gerbang rumah adat Bali

Nilai-Nilai dalam Rumah

[sunting | sunting sumber]

Rumah Adat Bali[2] dibangun dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali yang mengatur tentang tata peletakan rumah, aturan ini mungkin hamper sama dengan aturan Feng Shui dari Cina. Pembangunan rumah Adat Bali harus memiliki tiga asppek yang biasa disebut dengan “Tri Hita Karana”yakni filosofi yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dengan alam. Kednamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan (penghuni rumah), palemahan (lingkungan dari tempat rumah itu berada), dan parahyangan.

Umumnya sudut utara dan sudut timur adalah tempat yang lebih disucikan sehingga di sana ditempatkan ruang-ruang yang lebih suci, sedangkan ruang barat dan sudut selatan merupakan sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya. Biasanya sudut-sudut tersebut merupakan arah masuk ke dalam rumah atau untu bangunan lainnya seperti kamar mandi.

Bahan Bangunan Rumah

[sunting | sunting sumber]

Bahan bangunan yang dipergunakan disesuaikan dengan kemampuan pemiliknya. Masyarakat bali biasa menggunakan popolan (tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan bata. Untuk tempat suci atau tempat pemujaan, baik itu milik satu keluarga, atau kumpulan kekerabatan digunakan sesuai dengan kemampuan ekonomi pemiliknya. Misalnya: bagi yang memiliki uang lebih dapat megunakan bahan untuk atap dari ijuk, sedangkan bagi yang keuangannya terbatas diperkenankan menggunakan alang-alang atau genting.

Ragam Hiasan Rumah Adat Bali

[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya Rumah Adat Balidpenuhi dengan hiasan berupa ukiran, pahatan, serta pemberian warna. Ukiran atau pahatan yang ditempatkan pada rumah adat tersebut menambil 3 aspek kehidupan di bumi yaitu: manusia, hewan, dan tumbuhan. Ragam hias yang ditempatkan pada bagian-bagian bangunan dari jenis tumbuhan antara lain.

1. Keketusan

[sunting | sunting sumber]

Mengambil pola tumbuh-tumbuhan yang dibuat dengan lengkungan-lengkungan, bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar, biasanya ditempatkan pada bidang-bidang yang luas.

2. Kekarangan

[sunting | sunting sumber]

Merupakan suatu pahatan dengan motof karangan yangnyeupi tumbuhan lebat dengan daun yang terurai ke bawah atau menyerupai serumpun perdu. Hiasan ini biasanya dipahatkan pada sudut sebelah atas atau karang simbar. Kekarangan ditempatkan pada sendi tiang yang disebut karang suring.

3. Pepatraan

[sunting | sunting sumber]

Ragam hias jenis ini ada beberapa macam, yaitu patra wangga yang merupakan hiasan kembang mekar, patra sari yang berberntuk flora dari jenis berbatang menjalar dan melingkar-lingkar, patra bun-bunan, patra pidpid, patra punggel, patra samblung, patra pae, dll.

Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan symbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juag berfungsi sebagai symbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung yang disebut pratima.

Aspek Aspek Estetika

[sunting | sunting sumber]

Hal-hal yang dapat dipergunakan untuk menencapai estetika melalui bentuk adalah: keterpaduan, keseimbangan, proporsi, skala, irama dan urutan. Sedangkan yang dapat dilakukan melalui ekspresi adalah: karakter, warna, gaya dan bahan. Penggunaan atau implementasi unsur -unsur estetika tersebut tidaklah harus semua diterapkan pada sebuah objek. Tergantung darikonsep perwujudan sebuah disain, elemen-elemen estetika dapat saja hanya diterapkan beberapa di antaranya.

Keseimbangan

[sunting | sunting sumber]

Tidak sulit untuk mencari teori untuk mengatakan Candi Bentar ini seimbang. Candi Bentar memang sudah aslinya seimbang dan bahkan simetris sempurna. Hal ini muncul karena belahan kiri dan belahan kanan sama persis keadaannya. Di samping itu, jika Candi Bentar dibuat tidak seimbang simetri, maka sebagai sebuah sosok di titik sangat penting iniakan menjadi timpang. Selain daripada itu, Candi Bentar ini tampil untuk dilihat dari dua arah, sehingga dari arah masuk maupun keluar akan terlihat keseimbangan yang sama.

Candi Bentar ini memiliki kesatuan yang kuat, bukan karena sosoknya yang boleh disebut sebagai satu kesatuan (unit), melainkan karena pilihan bagian-bagian atau elemen candi satu sama lain saling menguatkan. Artinya bagian-bagian yang boleh disebut aksesoris candi, memiliki bentuk dasar yang serupa. Sehingga ketika digabung menjadi Candi Bentar, kesatuannya saangat kental terasa.

Melihat candi bentar ini, proporsi yang dimaksud adalah proporsi yang menyangkut keutuhan sosok Candi Bentar secara bersamaan. Bagian belahan kiri dan belahan kanan tidak dapat dilihat terpisah untuk merasakan atau menangkap proporsinya akan terkesan berbeda hasil pengamatan jika proporsinya dilihat sebagian sebagian.

Candi Bentarini dibuat dengan tujuan yang sangat erat dengan keinginan untuk menunjukkan jati diri sebagai sebuah penanda ketika akan memasuki kawasan wisata di Bali. Perwujudannya yang pertama adalah identitas lokal yang kuat. Sebagaimana sudah sering terlihat bahwa Candi Bentarmerupakan salah satu bentukan yang sangat kental ke-Baliannya.

Fungsi Ruang Luar

[sunting | sunting sumber]

Ruang luar di sekitar tempat berdirinya Gapura Candi Bentar ini memiliki berbagai fungsi. Salah satu di antaranya adalah menyiapkan ruang terbuka hijau. Keadaan ini akan mampu untuk menjaga keseimbangan kawasan antara yang terbangun dan terbuka, sehingga udara segar yang sangat dibutuhkanakan selalu dapat terjaga dan tersedia dengan baik.Ketersediaan ruang terbuka ini juga menjadi lebih bermanfaat dengan penanganan pertamanan yang penuh perhitungan. Vegetasi yang tersebar dan tumbuh subur, tidak hanya menyehatkan pandangan mata dan menghembuskan udara segar, tetapi juga memberikan niilai estetika secara keseluruhan. Perpaduan antara tanaman mulai dari rumput yang rata tanah, perdu yang lebih tinggi dan pohon-pohon perindang, semua itu menjadi bentukan komposisi lanskap yang estetis.

Ruang luar di sekitar Candi Bentarjuga berfungsi sebagai prasarana transportasi.Mobilitas pengunjung dengan berbagai moda transportasitidak mengurangi kesempatan orang uuntuk tetap dapat melihat kemegahan Candi Bentar. Tentu saja yang paling leluasa menikmatinya adalah mereka yang berjalan kaki. Trotoar yang lebar, diselingi dengan lampu-lampu penerangaan dan patung-patung serta tanaman pohon bunga, semuanya menambah nyamannya para pejalan kaki di sepanjang jalan, termasuk kesempatan untuk memandang Candi Bentarmenjadi lebih leluasa.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Mengenal Lebih Dekat Rumah Adat Bali, Gapura Candi Bentar". Yuk Piknik (dalam bahasa Inggris). 2015-10-02. Diakses tanggal 2019-03-11. 
  2. ^ "Gapura Candi Bentar; Spiritualitas, Tradisi, dan Estetika Orang Bali". WACANA (dalam bahasa Inggris). 2012-12-18. Diakses tanggal 2019-03-11. [pranala nonaktif permanen]

Ajisaka, Arya (2012). Budaya Nusantara 33 Provinsi. Jakarta: Wahyu Media. hlm. 15. ISBN 9797955702. 

Utami, Rizky (2014). Ensiklopedia Rumah-Rumah Adat Nusantara. Bandung: CV Angkasa. hlm. 68. ISBN 9789796659845. 

Pranala luarLaksono, Hendro Tri (2012). Mengenal Adat Budaya dan Tradisi Nusantara. Jakarta: Cabe Rawit. hlm. 60. ISBN 9789796106943.