Lompat ke isi

Hak untuk hidup

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan, terutama, tidak seharusnya dibunuh oleh manusia lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup timbul dalam pembahasan tentang isu-isu hukuman mati, perang, aborsi, eutanasia, pembunuhan yang dapat dibenarkan, dan meluas hingga sarana perawatan kesehatan publik.

Dalam sejarah umat manusia, dikatakan bahwa belum ada suatu penerimaan umum mengenai konsep hak untuk hidup sebagai bawaan setiap individu. Evolusi hak asasi manusia sebagai suatu konsep berlangsung perlahan dalam sejumlah bidang melalui berbagai cara. Hak untuk hidup tidak terkecuali dalam tren tersebut, dan utamanya sepanjang milenium terakhir telah dihasilkan banyak kumpulan dokumen legal skala nasional maupun internasional (contohnya Magna Carta dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang mengodifikasikan paradigma umum ini ke dalam prinsip-prinsip yang dibahasakan secara khusus.

Pernyataan yuridis

[sunting | sunting sumber]

Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan sebagai pribadi.

  • Pada tahun 1950, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia diadopsi oleh Majelis Eropa, menyatakan hak asasi manusia yang dilindungi untuk hidup dalam Artikel 2. Terdapat pengecualian-pengecualian dalam hal eksekusi-eksekusi menurut hukum dan pertahanan diri, penangkapan tersangka yang melarikan diri, serta pengendalian kerusuhan dan pemberontakan. Sejak saat itu Protokol 6 dalam Konvensi tersebut menyerukan negara-negara untuk melarang hukuman mati kecuali pada saat perang atau keadaan darurat nasional, dan saat ini berlaku di semua negara anggota Majelis Eropa. Protokol 13 mengatur tentang penghapusan sepenuhnya hukuman mati, dan telah diterapkan di sebagian besar negara anggota Majelis tersebut.
  • Pada tahun 1966, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setiap manusia memiliki hak inheren untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dengan sewenang-wenang dirampas kehidupannya.

— Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Artikel 6.1

Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadinya, serta hak untuk tidak dirampas darinya kecuali berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan fundamental.

— Piagam Hak dan Kebebasan Bangsa Kanada, Bagian 7
  • Pada tahun 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi tentang Hak Anak (CRC).
  • Undang-Undang Dasar Republik Federal Jerman memegang prinsip martabat manusia yang tertinggi, bahkan di atas hak untuk hidup.
  • Gereja Katolik mengeluarkan Piagam Hak Keluarga[2] yang di dalamnya dinyatakan bahwa hak untuk hidup terimplikasikan secara langsung oleh martabat manusia.
  • Artikel 21 dalam Konstitusi India, 1950, menjamin hak untuk hidup bagi semua orang di dalam wilayah India dan menyatakan: "Tidak seorang pun dapat dirampas haknya untuk hidup dan kebebasan pribadinya kecuali berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh hukum." Artikel 21, kendati dikemas dalam bahasa negatif, memberikan setiap orang hak mendasar untuk hidup dan kebebasan pribadi yang telah menjadi suatu sumber tanpa batas bagi banyak hak-hak lainnya.[3]

Hukuman mati

[sunting | sunting sumber]

Para penentang hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati merupakan suatu pelanggaran terhadap hak untuk hidup, sementara para pendukungnya berpendapat bahwa hukuman mati bukan merupakan suatu pelanggaran terhadap hak untuk hidup karena mereka menganggap bahwa hak untuk hidup seharusnya diterapkan dengan penghormatan pada suatu rasa keadilan. Mereka yang menentangnya meyakini bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran terburuk hak asasi manusia, karena hak untuk hidup adalah hak yang paling penting, serta hukuman mati melanggarnya dengan tidak semestinya dan menimbulkan suatu siksaan psikologis pada terhukum. Para aktivis hak asasi manusia menentang hukuman mati, menyebutnya "hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat", sementara Amnesty International memandangnya sebagai "penyangkalan mutlak dan tidak dapat diperbaiki lagi terhadap Hak-Hak Asasi Manusia".[4]

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi, pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014,[5] resolusi-resolusi yang tidak mengikat yang menyerukan suatu moratorium global mengenai eksekusi-eksekusi, dengan maksud penghapusan sepenuhnya hukuman mati.[6]

Eutanasia

[sunting | sunting sumber]

Klaim seseorang yang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri melalui eutanasia sering disebut "hak untuk memilih",[7] sedangkan mereka yang menentang legalisasi eutanasia sering disebut sebagai "right-to-lifers" ("para pendukung/penganut hak untuk 'terhukum' seumur hidup").[8]

Pencatatan aborsi dalam buku panduan The Associated Press Stylebook and Briefing on Media Law (2000) menetapkan bahwa dalam publikasinya digunakan istilah "anti-aborsi", bukan "pro-kehidupan", dan "hak aborsi", bukan "pro-aborsi" atau "pro-pilihan", serta menyarankan untuk menghindari penggunaan kata "aborsionis" yang memiliki konotasi orang yang melakukan "aborsi gelap", dan lebih mendukung penggunaan istilah seperti "dokter aborsi" atau "praktisi aborsi".[9]

Istilah "hak untuk hidup" digunakan dalam perdebatan tentang aborsi oleh mereka yang hendak menekan praktik aborsi,[10] dan, dalam konteks kehamilan, istilah "hak untuk hidup" dikemukakan oleh Paus Pius XII dalam ensiklik kepausan tahun 1951:

Setiap manusia, bahkan anak di dalam kandungan, memiliki hak untuk hidup secara langsung dari Allah dan bukan dari orang tuanya, bukan dari otoritas manusia atau masyarakat mana pun. Dengan demikian, tidak ada orang, tidak ada masyarakat, tidak ada otoritas manusia, tidak ada ilmu pengetahuan, tidak ada "indikasi" mana pun entah itu secara medis, eugenika, sosial, ekonomi, ataupun moral, yang dapat menawarkan atau memberikan suatu label yudisial yang sahih atas suatu pembuangan secara langsung satu kehidupan manusia yang tak bersalah. --- Paus Pius XII, "Sambutan kepada Para Bidan mengenai Hakikat Profesi Mereka", Ensiklik Kepausan, 29 Oktober 1951.[11]

Pada tahun 1966, Konferensi Uskup Katolik Nasional (NCCB) meminta Pastor James T. McHugh untuk mulai mengamati tren dalam reformasi aborsi di wilayah Amerika Serikat.[12] Komite Nasional Hak untuk Hidup (NRLC) mendapat pendanaan pada tahun 1967 sebagai Liga Hak untuk Hidup demi koordinasi kampanye-kampanye mereka di bawah naungan NCCB.[13][14] Agar dapat menjadi suatu gerakan nonsektarian yang lebih berbasis luas, para pemimpin kunci di Minnesota mengusulkan suatu model organisasi yang memisahkan NRLC dari pengawasan langsung NCCB. Pada awal tahun 1973, Direktur NRLC Pastor James T. McHugh dan asisten eksekutifnya, Michael Taylor, mengusulkan suatu rencana berbeda, memfasilitasi independensi NRLC dari Gereja Katolik.

Blastosis manusia berdiameter sekitar 0,1-0,2 mm dan terdiri dari 200-300 sel setelah pembelahan sel yang cepat.

Para pendukung gerakan antiaborsi berpendapat bahwa manusia prenatal (sebelum terlahirkan) sejak saat konsepsi (pembuahan) memiliki hak fundamental untuk hidup yang setara dengan yang dimiliki manusia setelah dilahirkan. Meskipun para pendukung pro-kehidupan mengakui bahwa kaum wanita memiliki hak kemandirian secara jasmaniah, mereka menolak hak yang dituntut kaum wanita untuk melanggar hak prenatal untuk hidup, yakni dengan membunuh embrio atau janin manusia. Secara umum, mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai pendukung "hak untuk hidup" meyakini bahwa aborsi tidak dapat diterima secara moral.

Istilah "hak untuk memilih" merupakan suatu perangkat retoris yang digunakan dalam perdebatan tentang aborsi oleh para pendukung hak aborsi. Banyak pendukung hak aborsi yang berpendapat bahwa manusia prenatal adalah bukan pribadi manusia, dan tidak memiliki hak fundamental yang sama untuk hidup sebagaimana seorang manusia dewasa. Pendukung hak aborsi lainnya berpendapat bahwa entah manusia prenatal memiliki atau tidak memiliki hak fundamental untuk hidup yang setara dengan manusia dewasa adalah hal yang tidak relevan karena hak wanita atas integritas tubuh dianggap mengesampingkan hak apa saja yang dimiliki janin. Para pendukung "hak untuk memilih" mungkin berpegang pada salah satu atau kedua posisi tersebut.

Secara umum, mereka yang menyebut diri sebagai "pro-pilihan" merupakan para pendukung aborsi elektif secara legal. Pada saat yang sama, beberapa pendukung legalisasi aborsi beralasan bahwa mereka tidak tahu pasti pada tahap kehamilan yang mana kehidupan dimulai; Senator Barrack Obama menggunakan pandangan ini pada waktu pemilu Amerika Serikat tahun 2008.[15] Bagaimanapun, sejumlah pakar biologi telah menyatakan bahwa karakter atau atribut kehidupan telah tampak pada tahap seluler.[16] Para pendukung lainnya menyatakan bahwa mereka memiliki pandangan pribadi menentang aborsi, tetapi tidak mau menempatkan keyakinan mereka ke dalam hukum; Senator Joe Biden mengambil posisi ini dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2008.[17]

Etika dan hak untuk hidup

[sunting | sunting sumber]

Beberapa etikawan unitarian berpendapat bahwa "hak untuk hidup", sejauh itu ada, tergantung pada kondisi-kondisi selain afiliasi spesies manusia. Filsuf ateis Peter Singer adalah seorang pendukung utama argumen tersebut. Bagi Singer, hak untuk hidup didasarkan pada kemampuan untuk merencanakan dan mengantisipasi masa depan seseorang. Hal ini memperluas konsep tersebut hingga semua hewan non-insani seperti kera, namun karena manusia yang tidak terlahirkan, bayi, dan orang yang cacat parah tidak memiliki kemampuan itu, ia menganggap bahwa aborsi, infantisida (pembunuhan bayi) yang tidak menimbulkan rasa sakit, dan eutanasia "dapat dibenarkan" (meski tidak wajib) dalam keadaan-keadaan khusus tertentu, misalnya pada kasus seorang bayi cacat yang hidupnya akan menderita atau jika orang tuanya tidak ingin membesarkannya dan tidak ada orang yang ingin mengadopsinya.[18] Para bioetikawan yang terkait dengan komunitas Hak Disabilitas dan Studi Disabilitas berpendapat bahwa epistemologi Singer berdasar pada konsepsi-konsepsi prasangka sosial dan diskriminasi mengenai disabilitas atau kecacatan.[19]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Marušić, Juraj (1992). Sumpetarski kartular i poljička seljačka republika (dalam bahasa bahasa Kroasia) (edisi ke-1st). Split, Croatia: Književni Krug Split. hlm. 129. ISBN 86-7397-076-8. 
  2. ^ (Inggris) Pontifical Council for the Family. The Family and Human Rights Diarsipkan 2023-04-24 di Wayback Machine. Vatican website. Retrieved 2011-07-09.
  3. ^ (Inggris) Maneka Gandhi v. Union of India AIR 1978 SC 597
  4. ^ (Inggris) "Abolish the death penalty". Amnesty International. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-18. Diakses tanggal 23 August 2010. 
  5. ^ (Inggris) "117 countries vote for a global moratorium on executions". World Coalition Against the Death Penalty. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-02. Diakses tanggal 2016-11-28. 
  6. ^ (Inggris) "moratorium on the death penalty". United Nations. 15 November 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-09. Diakses tanggal 23 August 2010. 
  7. ^ (Inggris) 1999, Jennifer M. Scherer, Rita James Simon, Euthanasia and the Right to Die: A Comparative View, Page 27
  8. ^ (Inggris) 1998, Roswitha Fischer, Lexical Change in Present-day English, page 126
  9. ^ (Inggris) "Abortion", The Associated Press Stylebook and Briefing on Media Law. Norm Goldstein, editor. Perseus Publishing, 2000. ISBN 0-7382-0308-4.
  10. ^ (Inggris) Solomon, Martha. "The Rhetoric of Right to Life: Beyond the Court's Decision" Diarsipkan 2009-07-24 di Wayback Machine. Paper presented at the Southern Speech Communication Association (Atlanta, Georgia, April 4–7, 1978)
  11. ^ (Inggris) "Address to Midwives on the Nature of Their Profession", 29 October 1951. Pope Pius XII.
  12. ^ (Inggris) "The national right to life committee: its founding, its history, and the emergence of the pro-life movement prior to Roe v. Wade Diarsipkan 2021-03-07 di Wayback Machine.". Robert N. Karrer. The Catholic Historical Review. 97.3 (July 2011): p527. From General OneFile.
  13. ^ (Inggris) K.M. Cassidy. "Right to Life Diarsipkan 2021-03-15 di Wayback Machine.". In Dictionary of Christianity in America, Coordinating Editor, Daniel G. Reid. Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1990. pp. 1017,1018.
  14. ^ (Inggris) "God's Own Party The Making of the Religious Right", pp. 113-116. ISBN 978-0-19-534084-6. Daniel K. Williams. Oxford University Press. 2010.
  15. ^ (Inggris) Dinan, Stephen (August 17, 2008). "Obama, McCain air moral, ethical views". The Washington Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-27. Diakses tanggal January 7, 2010. Barack Obama Saturday said that defining when life begins is "above my pay grade". 
  16. ^ (Inggris) Solomon, Eldra P.; Berg, Linda R.; Martin, Diana W. (2002), Biology (6th ed.), Brooks/Cole, ISBN 0-534-39175-3, LCCN 2001095366
  17. ^ (Inggris) Phillips, Kate (September 7, 2008). "As a Matter of Faith, Biden Says Life Begins at Conception". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-19. Diakses tanggal January 7, 2010. Senator Joseph R. Biden Jr., the Democratic nominee for vice president, departed Sunday from party doctrine on abortion rights, declaring that as a Catholic, he believes life begins at conception. But the Delaware senator added that he would not impose his personal views on others, and had indeed voted against curtailing abortion rights and against criminalizing abortion. 
  18. ^ (Inggris) Singer, Peter. Practical ethics Cambridge University Press (1993), 2nd revised ed., ISBN 0-521-43971-X
  19. ^ (Inggris) Singer, Peter (2001). "An Interview". Writings on an Ethical Life. hlm. 319–329. ISBN 1841155500. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Templat:Artikel tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia