Lompat ke isi

Seboto, Gladagsari, Boyolali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seboto
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenBoyolali
KecamatanGladagsari
Kode pos
57352
Kode Kemendagri33.09.20.2001 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Seboto (bahasa Jawa: Sebata) adalah desa di kecamatan Gladagsari, Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia. Di sana dimakamkan salah satu pahlawan nasional yang sangat berjasa di bidang perawatan orang-orang cacat yaitu Prof. Dr. Soeharso, yang namanya diabadikan menjadi sebuah rumah sakit rujukan nasional khusus tulang di Kota Surakarta dan di sana juga terdapat sebuah embung yang sering disebut dengan Embung Mini

Pembagian wilayah

[sunting | sunting sumber]

Desa Seboto terdiri dari dukuh[1]:

  • Bendo
  • Cengklik
  • Drajud
  • Dungus
  • Rejosari
  • Seboto
  • Selomiring
  • Sendang
  • Tempel
  • Wates

Sejarah desa Seboto dapat dibilang unik dan mengundang rasa penasaran apabila di bandingkan dengan sejarah berdirinya suatu tempat lainnya. Secara pasti desa Seboto dapat diketahui tahun berdiri/pembentukannya. Hal tersebut didukung dengan adanya prasasti yang sampai saat ini masih ada di lokasi komplek makam Pahlawan Prof. Dr. Soeharso.

Berikut adalah uraian sejarah desa Seboto yang telah dirangkum oleh tim Pemerintah Desa Seboto berdasarkan sumber dan bukti peninggalan sejarah.

Sejarah desa Seboto diawali pada masa perlawanan penjajah Belanda oleh Pangeran Diponegoro dan pengikutnya. Dalam suatu peperangan melawan penjajah Belanda pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro terpojok, banyak diantaranya meningga dunia di medan perang dan tidak sedikit yang mampu menyelamatkan diri dari kekejaman penjajah.

Satu di antara sekian banyak prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri dari kejaran penjajah yaitu bernama Ki Niti Poero, tersesat di hutan lereng gunung Merbabu dan menemukan sebuah Goa yang pada kahirnya menjadi tempat persembunyian Ki Niti Poero. Goa tempat persembunyian tersebut oleh penduduk lereng gunung Merbabu disebut Goa Inderajit (yang pada saat ini menjadi dukuh Drajut).

Setelah beberapa lama bersembunyi di goa, Ki Niti Poero memberanikan diri untuk keluar dan mencoba membur dengan masyarakat umum di desa dekat goa tempat persembunyiannya. Setelah Ki Niti Poero memastikan bahwa pasukan Belanda tidak lagi mengejarnya, beliau mulai beraktivitas bersama masyarakat desa. Setelah keberadaanya diterima dengan baik oleh warga desa, Ki Niti Poero akhirnya mengabdi kepada sesepuh desa yang bernama Ki Tjo Taroeno.

Selama pengabdiannya kepada Ki Tjo Taroeno, Ki Niti Poero merupakan pribadi yang baik, ulet, dan rajin dalam semua pekerjaan. Karena sifat dan sikapnya tersebut Ki Niti Poero mampu mengambil hati Ki Tjo Taroeno yang akhirnya menjadikannya tangan kanan dalam semua urusan. Ternyata bukan hanya Ki Tjo Taroeno ternyata warga desa pun memandang Ki Niti Poero sebagai sosok yang baik dan mempunyai wibawa. Ki Tjo Taroeno dan warga desa semakin dibikin takjub oleh Ki Niti Poero dengna keahlian yang tergolong langka kala itu. Ternyata Ki Niti Poero mempunyai bakat seni yang baik yaitu ahli dalam pembuatan tulisan-tulisan kaligrafi jawa.

Setelah Ki Tjo Taroeno meninggal dunia, warga desa kehilangan sosok sesepuh sekaligus panutan. Warga desa mulai kebingungan berusaha mencari penggantinya. Sesepuh desa mulai mengadakan pertemuan untuk membahas pengganti Ki Tjo Taroeno. Sosok seorang Ki Niti Poero yang memang telah lama berada di tengah-tengah warga dan tidak sedikit pengabdiannya kepada warga terlebih nama besarnya pernah berperang melawan penjajah bersama Pangeran Diponegoro membuatnya menjadi kandidat yang kuat. Pada akhirnya warga desa bersepakat mengangkat Ki Niti Poero menjadi Kepala Desa.

Dalam tugasnya sebagai Kepala Desa Ki Niti Poero mendapat predikat yang baik dari masyarakat, selain kepeduliannya terhadap sesama juga karena kepiawaiannya dalam mensejahterakan masyarakat. Seiring jabatannya sebagai Kepala Desa, disuatu waktu Ki Niti Poero menemukan sebuah tombak yang diberi nama “Koro Welang”, konon tombak tersebut mampu menambah kewibawaan sebagai Kepala Desa.

Sebagai Kepala Desa, Ki Niti Poero berpikir keras berupaya untuk meningkatkan taraf hidup warga desa. Satu di antara sekian banyak usahanya yang menjadi cikal bakal nama desa Seboto yaitu usahanya dalam mengajak warganya untuk membuat batu bata merah.

Dalam proses pembuatan batu bata merah selalu mengalami kegagalan. Percobaan demi percobaan hasilnya masih saja gagal, warga dan Ki Niti Poero sendiri mulai patah semangat. Kegagalan usaha pembautan batu bata merah tersebut ternyata dikarenakan tanah di desa banyak bercampur dengan pasir yang menyebabkan bata merah tidak dapat terbentuk dan kuat. Dari sekian banyak bata merah yang dibuat ternyata yang sempurna hanya satu.

Hal tersebutlah yang akhirnya menjadi cikal bakal nama desa Seboto yaitu karena Bata Merah yang sempurna hanya satu maka pada akhirnya desa tersebut diberi nama “SEBOTO”.

Peristiwa tersebut terjadi pada tahun Kuncoro Tri Sariro Tunggal, penjabarannya sebagai berikut:

Kuncoro: 1 (satu)

Tri: 3 (tiga)

Sariro: 8 (delapan)

Tunggal: 1 (satu)

Arti dari Kuncoro Tri Sariro Tunggal adalah tahun 1831.

Demikian uraian sejarah berdirinya Desa Seboto yang ternyata Desa Seboto didirikan oleh seorang pejuang kemerdekaan serta diawali dengan cerita yang penuh dengan semangat hidup tinggi penuh dengan gotong royong.

Semoga di usia Desa Seboto yang sudah mencapai angka 185 tahun pada tahun 2016 ini semakin maju, warganya sejahtera, alamnya lestari dan ijo royo royo.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Nama Dukuh di Kecamatan Gladagsari Kabupaten Boyolali". printilan.com. 20 Januari 2024. Diakses tanggal 9 Juli 2024. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Situs web resmi Pemerintah Desa Seboto Diarsipkan 2019-09-04 di Wayback Machine.