Lompat ke isi

Gajah putih

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gajah putih kerajaan dalam sebuah karya seni lukisan Thai sekitar pertengahan abad ke-19.

Gajah putih (atau gajah albino) adalah sejenis gajah langka, walaupun bukan spesies yang berbeda. Meskipun sering digambarkan sebagai berwana seputih salju, kulit mereka sebenarnya biasanya berwarna coklat lembut kemerahan yang berubah merah muda saat basah. Mereka memiliki bulu mata dan kuku yang lentik.

Gajah putih hanya putih secara penamaan, dan tidak berwarna putih. Dari yang saat ini disimpan oleh penguasa Myanmar (bangsa Burma), yaitu Jenderal Than Shwe yang menganggap dirinya sebagai pewaris sah dari tahta raja-raja Burma, terdapat satu gajah yang keabu-abuan dan tiga lainnya yang berwarna merah muda, tetapi secara resmi disebut "putih". Raja Thailand juga menyimpan sejumlah gajah putih. Saat ini tidak ada gajah putih di Laos, atau di Kamboja, tetapi mantan Wakil Presiden AS Spiro Agnew pernah menghadiahkan seekor gajah putih kepada Raja Norodom Sihanouk dari Kamboja.

Budaya India dan Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Indra (alias Sakra) dan Sachi Menunggangi Airawata, Gajah Ilahi berkepala lima, Naskah dari kitab Jain, Panchakalyanaka ("Lima Peristiwa Menguntungkan dalam Kehidupan Jina Rishabhanatha [Adinatha]"), sekitar 1670-1680 M, Lukisan di museum LACMA, lukisan asli dari Amber, Rajasthan

Dalam agama Hindu di India dan nusantara (Indonesia), Gajah putih dianggap milik Dewa Indra. Nama gajah Dewa Indra adalah Airawata, sang gajah terbang. Airawata dinobatkan sebagai Raja dari semua gajah oleh Dewa Indra.

Di nusantara Indonesia, gajah putih adalah hewan yang suci pada zaman kerajaan Hindu-Buddha. Gajah putih masih dipopulerkan oleh kebudayaan Gayo di Aceh dalam tradisi Tari Guel. Kabupaten Bener Meriah di Dataran tinggi Gayo juga mendapatkan julukan "Bumi Gajah Putih" karena tradisi tersebut.

Negeri Siam / Kerajaan Thai

[sunting | sunting sumber]
"Bendera gajah putih", bendera Siam tahun 1855-1916.

Di Negeri Siam (sekarang Kerajaan Thai), gajah putih (bahasa Thai: chang phueak, Aksara Thai: ช้างเผือก) adalah suci dan simbol kekuasaan kerajaan; semua gajah putih yang ditemukan di kerajaan harus diberikan kepada Raja Siam, begitu pula Raja Thai (biasanya ini adalah upacara kerajaan dan gajah tersebut tidak dimasukkan ke dalam penangkaran). Makin banyak gajah putih yang dimiliki raja, dipercaya akan semakin besarlah kekuasaannya dan semakin baik nasib kerajaannya. Karena tradisi-tradisi inilah Negeri Siam juga dijuluki sebagai Negeri Gajah Putih di nusantara (Indonesia). Raja Thai Bhumibol Adulyadej atau "Rama IX" memiliki sepuluh gajah putih dan dianggap sebagai pencapaian besar yang mungkin dapat diperolehnya berkat adanya kemajuan teknologi komunikasi modern.

Seekor gajah putih di Kerajaan Thai tidak harus albino, meskipun harus memiliki kulit pucat. Hewan calon akan dinilai berdasarkan serangkaian kriteria fisik dan perilaku (termasuk warna mata, bentuk ekor dan telinga, dan kecerdasan). Mereka yang lulus tes kemudian diserahkan ke salah satu dari empat kategori dan ditawarkan kepada raja, meskipun yang mendapat nilai rendah kadang-kadang akan ditolak.

Pada masa lalu Kerajaan Siam, gajah putih dengan kualitas yang lebih rendah akan diberikan sebagai hadiah kepada teman dan sekutu raja Siam. Hewan ini membutuhkan banyak perawatan, dan karena suci, tidak dapat disuruh untuk bekerja, hal ini menjadikan gajah putih sebagai beban keuangan yang besar pada penerima hadiah atau pemiliknya, sehingga hanya raja atau orang yang sangat kaya yang mampu membelinya. Menurut satu cerita, gajah putih kadang-kadang diberikan sebagai hadiah untuk beberapa musuh (sering bangsawan berkedudukan lebih rendah yang tidak disenangi raja Siam). Penerima yang malang, tidak dapat memperoleh keuntungan apa pun dari hadiah ini, dan juga wajib menjaga hewan tersebut, akan mengalami kebangkrutan dan kehancuran karena tidak mampu mengurus hewan tersebut [butuh rujukan].

Begitu pula di Myanmar, gajah putih juga dihormati sebagai simbol kekuasaan dan nasib baik. Pengumuman oleh rezim militer Myanmar tentang penemuan gajah putih pada tahun 2001 [1] dan 2002[2] dinilai oleh oposisi mereka sebagai bertujuan untuk memperkuat dukungan untuk rezim mereka. Sebanyak tiga gajah putih pada tahun 2010 [3] ditaruh di sebuah paviliun di pinggiran Yangon.

Budaya Barat

[sunting | sunting sumber]

Istilah "white elephant" ("gajah putih") dalam bahasa Inggris, berarti hal spektakuler dan bergengsi yang memberikan lebih banyak kesulitan daripada kegunaan, atau telah habis manfaatnya bagi orang yang memilikinya. Walaupun benda / objek tersebut mungkin berguna bagi orang lain, pemiliknya saat ini biasanya akan senang apabila bisa lepas dari benda tersebut. Dengan alasan ini, secara komersial, sebuah benda yang dinilai sebagai "gajah putih" dapat tersedia untuk dibeli dengan harga yang sangat menguntungkan. Salah satu contoh benda seperti ini mungkin adalah rumah besar yang biaya perawatannya melebihi kapasitas finansial pemiliknya.

Di Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru istilah "kios gajah putih" berarti sebuah kios di pasar yang menjual benda yang tidak biasa atau pernak-pernik lainnya yang telah disumbangkan, karena benda-benda tersebut adalah "gajah putih" bagi pemilik sebelumnya.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "BBC". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-03. Diakses tanggal 2010-06-08. 
  2. ^ "irrawaddy.org". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-11. Diakses tanggal 2010-06-08. 
  3. ^ "Gajah Putih Dilecehkan oleh Junta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-06. Diakses tanggal 2010-06-08.