Jaksa Pepitu
Jaksa Pepitu adalah dewan jaksa yang ada sejak zaman pembagian Kesultanan Cirebon menjadi tiga kekuasaan hingga masuknya pengaruh VOC ke ranah hukum dan pengadilan.[1] Jaksa Pepitu merupakan institusi peradilan di kesultanan-kesultanan Cirebon yang mengurusi masalah perdata dan pidana, secara harafiah makna Jaksa Pepitu bisa diambil dari dua kata pembentuknya yaitu Jaksa yang dalam bahasa Cirebon diserap dari kata dhyaksa (bahasa Sanskerta) dan Pepitu yang berasal dari kata pitu yang artinya tujuh.
Filosofi
[sunting | sunting sumber]Dalam Pepakem Cirebon, Jaksa melambangkan Candra Tirta Sari Cakra yang dapat diterjemahkan secara harafiah dari kosakata pembentuknya yaitu, Candra yang berarti bulan purnama yang menerangi kegelapan, Tirta yang berarti air yang menghanyutkan segala yang kotor, Sari yang berarti bunga yang menebarkan wangi harum dan Cakra yang berarti dia yang melihat secara seksama apa yang benar dan tidak benar.[2]
Dari kedalaman filosofinya maka kedudukan jaksa pepitu hanya diberikan oleh para penguasa Cirebon kepada para pejabat yang berpengalaman dan bermoral tinggi.
Dalam menjalankan tugasnya mengadili perkara, para jaksa pepitu tidak menggunakan gedung (bahasa Cirebon: gedong), bale (balai) atau mande (balai para ahli) di keraton melainkan menggunakan alun-alun besar di utara (kejaksan), mereka duduk dibawah pohon beringin sebagai simbol dari pengayoman[2] yang merupakan implementasi dari kalimat Candra Tirta Sari Cakra.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Jaksa Pepitu adalah dewan jaksa yang ada sejak zaman pembagian Kesultanan Cirebon menjadi tiga kekuasaan hingga masuknya pengaruh VOC ke ranah hukum dan pengadilan.[1] Apabila dilihat dari segi fungsi dan jumlah, tampak adanya persamaan antara Jaksa Pepitu dengan Saptopapatti, suatu badan di masa Majapahit yang terdiri dari tujuh orang Upapatti yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum, di samping dua Dharmadhyaksa kerajaan.[1]
Setelah pembagian kesultanan Cirebon pada tahun 1667 dan pembentukan kesultanan Kacirebonan pada tahun 1705 di Cirebon terdapat empat penguasa yaitu Sultan Sepuh I Syamsuddin Martawijaya, Sultan Anom I Badruddin Kartawijaya, Panembahan Agung Nasiruddin Wangsakerta dan Sultan Kacirebonan I Kaharuddin Aria atau yang dikenal dengan nama Pangeran Aria Cirebon, namun hanya ada satu badan peradilan, yaitu Pengadilan Kerta, dalam pengadilan ini penanganan dan penyelesaian perkara dilaksanakan oleh tujuh orang jaksa atau dikenal dengan nama Jaksa Pepitu secara kolektif baik untuk perkara perdata maupun pidana, ketujuh orang Jaksa tadi dua orang masing-masing mewakili kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan Panembahan Agung serta satu orang jaksa mewakili kesultanan Kacirebonan, selain bertindak sebagai hakim, jaksa pepitu juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan adakalanya bertindak sebagai pembela.[2]
Dalam kasus seseorang dari kesultanan Kasepuhan melakukan tindak pidana dalam wilayah hukum kesultanan Kanoman maka terhadap orang tersebut dilakukan penuntutan oleh seorang jaksa yang mewakili kesultanan Kanoman sedangkan dua orang jaksa lainnya berasal dari kesultanan Kasepuhan bertindak sebagai pembela dan empat orang jaksa lainnya yang masing-masing berasal dari kesultanan Kacirebonan dan Panembahan Agung bertindak sebagai hakim, namun putusan terhadap para terdakwa tadi dijatuhkan atas hasil musyawarah para jaksa pepitu. Adakalanya pula sultan langsung mengadili sendiri warganya dalam perkara-perkara yang sangat berat.[3]
Jaksa Pepitu dalam Gotra Sawala
[sunting | sunting sumber]Pada saat kesultanan-kesultanan Cirebon menggelar sebuah simposium agung (bahasa Cirebon: Gotra Sawala) yang dihadiri oleh para ahli sejarah, cendekiawan serta para penguasa di nusantara pada tahun 1677[4]-1698, para jaksa pepitu bersama dengan para ahli lain dibidangnya membantu Pangeran Raja (PR) Nasiruddin Wangsakerta yang pada masa itu bertindak sebagai ketua Gotra Sawala untuk mengumpulkan bahan dan menafsirkan data.[5]
Para jaksa pepitu yang membantu Pangeran Raja (PR) Nasiruddin Wamgsakerta adalah:[6][7]
- Ki Raksanagara, sebagai penulis naskah dan pengatur pertemuan, beliau melayani sekalian peserta, juga memeriksa dan meneliti naskah-naskah yang telah dikumpulkan.
- Ki Anggadiraksa, sebagai wakil Ki Raksa Nagara sebagai penulis merangkap sebagai bendahara. Beliaulah yang mempersatukan hasil pemeriksaan atau penelitian, kalau tidak mengandung kesalahan, lantas diserahkan kepada Pangeran Wangsakerta selaku penanggung jawab.
- Ki Purbanagara, bertugas sebagai pengumpul dan penyeleksi bahan naskah, beliau mencari dan mengambil bermacam-macam tulisan dari berbagai negara, yang akan dipilih. Ki Purbanagara mendapat tugas demikian, karena memiliki pengetahuan tentang riwayat masa lampau, terutama tentang timbul tenggelamnya suatu kerajaan di Nusantara.
- Ki Singhanagara, bertugas sebagai penanggung jawab keamanan, beliau melindungi semua peserta dan utusan yang datang dari berbagai negara. Peserta masing-masing membawa pasukan sebanyak 70 orang.
- Ki Anggadiprana, bertugas sebagai duta keliling ke seluruh kerajaan, negara, wilayah, dan desa. Merangkap sebagai juru bahasa di antara para peserta, juru bicara dalam perundingan.
- Ki Anggaraksa, sebagai penanggung jawab konsumsi, tugas pokoknya adalah menjadi pemimpin dapur, yang menyediakan berbagai makanan dan minuman bagi seluruh peserta.
- Ki Nayapati, sebagai penanggung jawab akomodasi dan transportasi, tugas pokoknya menyediakan penginapan dan kendaraan, di samping sebagai pemimpin pengawal.
Kasus
[sunting | sunting sumber]Kasus klaim persawahan antara Kanci dengan Japura
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1710, Sultan Sepuh Tajularipin Djamaluddin atas nama masyarakat desa Japura melakukan klaim terhadap lahan persawahan yang terletak diantara desa Japura dengan desa Kanci yang merupakan desa dibawah kekuasaan kesultanan Kanoman.[8] Bentrokan bersenjata berkaitan dengan permasalahan tersebut hampir terjadi, dalam sidang perdana, institusi peradilan Cirebon yaitu Jaksa Pepitu menolak menerima kasus tersebut[8] dikarenakan tidak ada cukup bukti untuk mendukung klaim yang diajukan oleh Sultan Sepuh yang mewakili masyarakat Japura, dengan yakin para jaksa mengetahui para saksi yang akan dipanggil untuk mendukung klaim Japura yang dibuat oleh Sultan Sepuh, tiga dari empat saksi yang diajukan oleh Sultan Sepuh tidak dapat diterima kesaksiannya karena mereka bersaksi atas nama majikan mereka, sebagai akibatnya, nanti para Jaksa memiliki tugas yang mustahil untuk membujuk pihak yang kalah menerima hasil keputusan dikarenakan adanya bukti yang tidak sah[8]
Komposisi jaksa pada peradilan di Cirebon setelah disahkannya Pangeran Adiwijaya (putera kedua Sultan Sepuh Martawijaya) sebagai salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Arya Cirebon adalah dua orang jaksa mewakili Kanoman, dua orang jaksa mewakili gusti Panembahan, dua orang jaksa mewakili Kasepuhan dan seorang jaksa mewakili pangeran Arya Cirebon[3]
Perintah dari Belanda di Batavia yang memaksa untuk menerima kasus tersebut membuat politisasi dikalangan para jaksa yang semakin besar, dikarenakan penolakan Jaksa Pepitu yang didasarkan kepada kurangnya bukti telah ditolak oleh Belanda maka semakin sedikit alasan para jaksa tersebut untuk tidak mendukung kepentingan dari atasan mereka masing-masing yang merupakan para penguasa Cirebon, hal ini menyebabkan kebuntuan peradilan dikarenakan para jaksa yang mewakili keluarga Sepuh (termasuk didalamnya seorang jaksa yang mewakili pangeran Arya Cirebon yang merupakan anak kedua Sultan Sepuh Martawijaya) kontra terhadap dua orang jaksa yang mewakili keluarga Kanoman, padahal sudah jelas bahwa ada bias dalam kesaksian dan kurangnya bukti yang diajukan oleh Sultan Sepuh pada saat itu. Hal ini menyebabkan Pangeran Raja Depati Kusuma Agung yang merupakan wakil penguasa kesultanan Kanoman dan masyarakat Kanci merasa bahwa keputusan yang dihasilkan oleh institusi Jaksa Pepitu tersebut tidak sah dan tidak mengikat.[8]
Pada akhirnya masalah ini diseleseikan dengan perintah langsung dari Batavia pada tahun 1711 yang memutuskan bahwa suara mayoritas harus dijalankan, hal ini menyebabkan pada gilirannya keputusan tersebut dapat diterima oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung. Batavia yang memaksakan penerimaan pengadilan mengakibatkan keputusan itu harus diberlakukan walaupun pada prosesnya merusak wewenang Jaksa Pepitu dalam memutuskan penerimaan sebuah kasus[8]
Kasus mantri Anom Surya Dita
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1715, Pangeran Arya Cirebon telah mengambil Surya Dita yang merupakan seorang mantan mantri di kesultanan Kanoman untuk menjadi bawahannya, peraturan yang dipakai oleh Pangeran Arya Cirebon ialah peraturan berkenaan dengan sentana (keluarga kesultanan) yang diperbolehkan untuk berpindah dukungan ke penguasa yang lainnya dengan kemauannya sendiri.[8]
Permasalahan kemudian mengemuka berkenaan dengan lahan persawahan yang dimiliki oleh Surya Dita, haruskah lahan tersebut ikut berpindah ke Pangeran Arya Cirebon atau tetap dibawah kontrol kesultanan Kanoman yang pada masa itu diwakilkan oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung. Pada persidangan Jaksa Pepitu pada tahun 1717 para jaksa tidak memiliki suara bulat dalam menentukan hasil persidangan, terlebih ketika jaksa yang mewakili Sultan Sepuh menemukan bahwa hasil suara mayoritas tersebut pada keputusannya memiliki unsur yang bertentangan dengan hukum yang berlaku sehingga keputusan tersebut dapat dikatakan tidak sah.
Residen Cirebon pada masa itu mendesak agar dicarikan segera solusi atas permasalahan tersebut, kemiripan dengan kasus Japura dengan Kanci pada tahun 1710-1711 terlihat jelas. Para jaksa terlihat bingung dalam menjawab desakan residen Cirebon atas solusi dan menghindari penolakan dari pihak yang kalah seandainya solusi yang ditawarkan berbeda dengan hukum dan kebiasaan yang berlaku, mengingat kebalikan dari pendirian para pangeran dari keluarga Sepuh pada kebulatan suara keputusan jaksa, tampak jelas bahwa prinsip-prinsip hukum tradisional digunakan sebagai alasan yang tepat bagi para pangeran untuk mengejar kepentingan ekonomi.[8]
Pada akhirnya dicapailah sebuah solusi bahwa Surya Dita diperbolehkan berpindah menjadi bawahan Pangeran Arya Cirebon namun lahan persawahan yang dimilikinya tetap berada pada kuasa kesultanan Kanoman[8]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Tendi, Tendi; Marihandono, Djoko; Abdurakhman, Abdurakhman (2019-03-06). "Between the Influence of Customary, Dutch, and Islamic Law: Jaksa Pepitu and Their Place in Cirebon Sultanate History". Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies (dalam bahasa Inggris). 57 (1): 117–142. doi:10.14421/ajis.2019.571.%p. ISSN 2338-557X.
- ^ a b c G.A.J. Hazeau. 1905. Tjirebonsch Wetboek (Papakem Tjerbon) van her jaar 1768 verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap. Leiden: A.W Sijthoff's Uitgeversmij M.V
- ^ a b Effendy Marwan. 2005. Kejaksaan RI: posisi dan fungsinya dari perspektif hukum. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
- ^ Staf Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian. 1987. Majalah Bhayangkara: pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian. Jakarta: Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
- ^ Ekadjati, Edi S, A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, Aam Masduki. 1994. Empat Sastrawan Sunda Lama. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
- ^ Atja. Edi. S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya-Rajya I Bumi Nusantara I.I: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi)
- ^ Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
- ^ a b c d e f g h Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |