Aktivitas otak dan meditasi
Meditasi dan efeknya pada sistem saraf pusat menjadi fokus penelitian kolaboratif dalam ilmu saraf, psikologi dan neurobiologi selama abad ke-20 terakhir. Penelitian tentang meditasi berusaha untuk mendefinisikan dan mencirikan berbagai praktik. Efek meditasi pada otak dapat dipecah menjadi dua kategori: perubahan keadaan dan perubahan sifat, masing-masing perubahan dalam kegiatan otak selama tindakan meditasi dan perubahan-perubahan yang merupakan hasil dari praktik jangka panjang.
Meditasi perhatian sering dipelajari, pendekatan meditasi Buddhis ditemukan di dalam Zen dan Vipassana.[1][2] Jon Kabat-Zinn menggambarkan meditasi perhatian sebagai perhatian yang lengkap dan tidak berprasangka terhadap kejadian yang sedang terjadi saat itu.[3]
Perubahan keadaan otak
[sunting | sunting sumber]Elektroensefalografi
[sunting | sunting sumber]Elektroensefalografi (EEG) telah digunakan dalam banyak studi sebagai metode utama untuk mengevaluasi otak yang sedang bermeditasi. Elektroensefalografi menggunakan timbal listrik yang ditempatkan di seluruh kulit kepala untuk mengukur aktivitas listrik kolektif dari korteks serebral. Secara khusus, EEG mengukur medan listrik dari kelompok-kelompok besar sel saraf. EEG memiliki manfaat resolusi temporal yang sangat baik dan mampu mengukur kumpulan aktivitas terhadap sebagian atau seluruh korteks ke skala milidetik. Tidak seperti metode berbasis pencitraan lainnya, EEG tidak memiliki resolusi spasial yang baik dan lebih tepat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas spontan yang berjalan dari korteks. Aktivitas spontan ini diklasifikasikan menjadi empat klasifikasi utama berdasarkan pada frekuensi aktivitas, mulai dari gelombang delta frekuensi rendah (<4 Hz) yang umumnya ditemukan selama tidur hingga gelombang beta (13–30 Hz) yang berhubungan dengan otak yang sedang terjaga dan waspada. Di antara kedua gelombang ekstrem ini adalah gelombang theta (4–8 Hz) dan gelombang alfa (8–12 Hz).
Banyak studi tentang meditasi perhatian, dinilai dalam ulasan oleh Cahn dan Polich pada tahun 2006, telah menghubungkan gelombang alfa dan theta dengan frekuensi yang lebih rendah terhadap meditasi.[4] Banyak studi yang lebih tua melaporkan temuan yang lebih spesifik, seperti penurunan penghambatan alfa dan aktivitas peningkatan lobus frontal yang spesifik terhadap gelombang theta tertentu.[5] Penghambatan alfa adalah fenomena di mana otak yang aktif, yang secara normal menyajikan aktivitas gelombang beta, tidak dapat dengan mudah beralih ke aktivitas gelombang alfa yang sering terlibat dalam pemanggilan kembali daya ingat. Temuan ini menyarankan bahwa dalam keadaan meditasi seseorang lebih santai tetapi mempertahankan kesadaran yang tajam. Dua karya ulasan yang luas dan komprehensif, bagaimanapun, menunjukkan kontrol dan analisis statistik yang buruk dalam studi awal karya ini dan komentar yang hanya dapat dikatakan dengan keyakinan bahwa peningkatan aktivitas gelombang alfa dan theta memang ada.[6]
Pencitraan saraf
[sunting | sunting sumber]Pencitraan resonansi magnetik fungsional/functional magnetic resonance imaging (fMRI) adalah metodologi lain yang sangat dimanfaatkan untuk mempelajari perubahan keadaan dalam otak yang sedang bermeditasi. fMRI mendeteksi kenaikan halus dalam aliran darah ke daerah otak dengan aktivitas metabolisme yang lebih tinggi. Dengan demikian daerah dari aktivitas metabolik yang meningkat ini menunjukkan daerah bagian otak mana yang saat itu sedang digunakan untuk memproses rangsangan apa pun yang disajikan. Bertentangan dengan EEG, keuntungan dari fMRI adalah resolusi spasialnya, dengan kemampuan untuk menghasilkan peta spasial terinci dari aktivitas otak. Walaupun demikian fMRI ini mengalami resolusi temporal dan tidak dapat mengukur aktivitas progresif, seperti EEG, dengan banyak detail.
Temuan topografi
[sunting | sunting sumber]Sebagai teknologi yang relatif baru, fMRI baru-baru ini telah digunakan untuk menilai perubahan keadaan otak selama meditasi. Studi terbaru telah menunjukkan peningkatan aktivitas di korteks cingulate anterior, korteks frontal, dan korteks prefrontal, khususnya di daerah prefrontal medial dorsal selama meditasi Vipassana.[7] Demikian pula, daerah korteks cingulate dan korteks frontal terbukti mengandung peningkatan aktivitas selama meditasi Zen.[8] Kedua studi ini mengomentari kemungkinan bahwa temuan ini dapat menunjukkan adanya keadaan kontrol volunter yang tinggi terhadap perhatian selama meditasi perhatian. Karya-karya ulasan oleh Cahn dan Chiesa menyatakan bahwa hasil ini menunjukkan konsistensi dalam efek meditasi pada daerah-daerah tersebut di otak, mengutip banyak penelitian lain yang mencakup disiplin meditasi lainnya, tetapi menyebutkan perlunya penyelidikan lebih lanjut dengan kontrol yang lebih baik.
Kajian terhadap meditasi dan emosi
[sunting | sunting sumber]Ulasan oleh Cahn juga mencatat temuan yang menggambarkan keadaan emosional yang tinggi dari para meditator. Sebuah kajian yang lebih kompleks, yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Lutz dkk, berfokus pada respon emosional selama meditasi. Penyelidikan ini melibatkan penciptaan keadaan “meditasi kasih sayang” oleh meditator pemula dan meditator berpengalaman dan menguji respon meditator tersebut terhadap suara bermuatan emosi. Hasil fMRI menunjukkan aktivitas tinggi di korteks cingulate tetapi juga di amigdala, taut temporo-parietal, dan sulkus/cekung temporal superior posterior kanan dalam menanggapi suara-suara emosional tersebut. Para penulis kajian tersebut yakin studi ini menunjukkan sensitivitas yang lebih besar mengenai ekspresi emosional dan emosi positif karena adanya pengaktifan sirkuit sel saraf.[9]
Perubahan otak akibat praktik meditasi berkepanjangan
[sunting | sunting sumber]Elektroensefalografi
[sunting | sunting sumber]Serupa dengan penelitian pada perubahan keadaan dalam fungsi otak, kajian yang lebih tua membuat klaim yang lebih spesifik tentang perubahan sifat pada meditator versus non-meditator. Perubahan gelombang alfa diindikasikan menjadi sifat dan juga keadaan fenomena. Studi telah melaporkan peningkatan pada frekuensi tertentu yang dinyatakan dalam kisaran alfa, meningkatkan kekuatan pita alfa, dan perlambatan secara keseluruhan (pengurangan frekuensi) dalam kegiatan EEG pada meditator berpengalaman dibandingkan meditator kurang berpengalaman saat bermeditasi.[10] Fenomen penghambatan alfa, diamati sebagai perubahan keadaan dalam fungsi otak, juga diselidiki sebagai perubahan sifat mungkin terjadi. Satu kajian yang menguji berbagai teknik meditasi mencoba untuk menunjukkan bahwa penghambatan alfa dipengaruhi oleh praktik meditasi jangka panjang oleh respon pengujian terhadap rangsangan auditoris/pendengaran.[11] Karya-karya ulasan, bagaimanapun, mengomentari temuan yang tidak konsisten serta kurangnya hasil berulang dalam penelitian ini dan penelitian lainnya. Mereka lebih lanjut berkomentar bahwa, mirip dengan pengamatan perubahan keadaan otak, hanya pernyataan umum dapat dibuat tentang perubahan sifat otak: beberapa perubahan dalam profil elektroensefalografik ada tetapi dengan beberapa inkonsistensi.[12] Juga penting untuk dicatat bahwa perubahan-perubahan sifat ini diamati selama meditasi, dan meskipun hal tersebut menunjukkan bahwa profil elektroensefalografik seorang praktisi termodifikasi oleh latihan meditasi, studi EEG ini belum menunjukkan perubahan pada otak non-meditasi, bahkan pada meditator berpengalaman.
Pencitraan saraf
[sunting | sunting sumber]Perubahan sifat otak juga telah diamati dalam studi pencitraan saraf/neuroimaging, paling sering menggunakan fMRI. Dalam meta-analisis terhadap 21 studi pencitraan saraf, delapan daerah otak ditemukan secara konsisten mengalami perubahan, termasuk wilayah-wilayah yang menjadi kunci untuk perubahan-kesadaran (korteks frontopolar/daerah Brodmann 10), kesiagaan tubuh eksteroseptif dan interoseptif (korteks sensoris dan korteks insular), konsolidasi dan rekonsolidasi ingatan (hippokampus), pengaturan diri dan emosi (korteks singulat anterior dan korteks orbitofrontal), dan komunikasi intra-dan-interhemisferis (fasciculus longitudinal superior; corpus callosum).[13] Perubahan ini dibedakan oleh peningkatan kepadatan pada jalur daerah materi abu-abu dan putih di dalam otak orang yang bermeditasi dibandingkan dengan individu yang tidak. Dari semua daerah dengan temuan yang dilaporkan, sejumlah besar perubahan struktural ditemukan pada belahan otak kiri.
Juga terdapat bukti yang menunjukkan meditasi memainkan peran protektif terhadap penurunan alami dalam volume materi abu-abu yang berhubungan dengan penuaan. Satu studi menemukan bukti bahwa meditator Zen mengalami penuaan lebih lambat yang menghubungkan penurunan angka untuk volume materi abu-abu otak di dalam putamen yang berperan dalam pembelajaran, fleksibilitas kognitif dan pengolahan perhatian.[14] Bukti ini bisa menyarankan perhatian yang lebih baik bagi para meditator yang sedang mengalami penuaan versus non-meditator.
Praktisi meditasi jangka panjang juga telah terbukti memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa sakit. Efek ini telah berhubungan dengan perubahan fungsi dan struktur dalam korteks somatosensori dan peningkatan kemampuan untuk memisahkan daerah di otak yang berhubungan dengan penilaian kognitif terhadap rasa sakit (korteks cingulate anterior dan korteks prefrontal dorsolateral).[15]
Perubahan keadaan otak yang ditemukan pada meditator hampir secara eksklusif ditemukan dalam korteks-korteks eksekutif dan asosiasi yang memiliki susunan yang lebih tinggi. Hal ini mendukung gagasan bahwa meditasi meningkatkan pengendalian-diri dan kemampuan untuk memperhatikan (attentiveness). Penelitian terbaru juga telah menyelidiki bagaimana perubahan-perubahan ini dapat mengubah fungsi dan konektivitas jaringan modus default, yang merupakan jaringan hipotesis dari daerah otak yang aktif ketika seseorang terlibat dalam tugas-tugas internal seperti melamun.[16]
Validitas Temuan
[sunting | sunting sumber]Dalam meta-analisis yang dilakukan oleh Fox dkk, beberapa sumber bias diindikasikan analisi mana yang mempertanyakan validitas terhadap penelitian meditasi yang menggunakan pencitraan saraf. Fox dkk menunjukkan bias publikasi yang mungkin mengarah ke pelaporan-berlebihan terhadap hasil yang signifikan. Fox dkk juga menyatakan bahwa perbedaan otak yang signifikan ditemukan dalam banyak studi meditasi yang dapat dijelaskan dengan perbedaan-perbedaan otak yang sudah ada sebelumnya pada mereka yang bermeditasi.[17] Penelitian lebih lanjut akan diperlukan sebelum adanya kesimpulan pasti yang dapat dibuat.
Pustaka populer
[sunting | sunting sumber]Penggambaran positif
[sunting | sunting sumber]Selain pustaka ilmiah, beberapa penulis telah menulis tentang penelitian yang menjanjikan mengenai meditasi dalam buku-buku yang ditargetkan untuk khalayak umum. Setelah buku tersebut, Buddha’s Brain oleh Rick Hanson, PhD berbagi penelitian ilmiah terbaru dan penyelidikan-penyelidikan terhadap meditasi. Hanson, seorang ilmuwan saraf dan peneliti, menjelaskan kepada pembaca studi ilmiah dalam bahasa sederhana dan membahas dampak dari hasilnya. Argumen utama Hanson adalah bahwa emosi-emosi positif, seperti cinta dapat diperkuat melalui meditasi secara neuroplastic, mengutip lusinan studi ilmiah untuk mendukung klaim ini.[18] Sudut pandang Hanson adalah wakil dari gerakan rakyat yang lebih besar untuk mempelajari dan merangkul fenomena Timur termasuk meditasi di dunia Barat.
Bantahan
[sunting | sunting sumber]Para kritikus, seperti Owen Flanagan, PhD, percaya bahwa Hanson, dan orang-orang seperti dia, itu melewati batas hasil penelitian ilmiah saat ini. Dalam bukunya Bodhisatta’s Brain: Buddhism Naturalized, Flanagan menyajikan sudut pandang yang lebih konservatif terhadap penelitian ilmiah saat ini dan memperingatkan pembaca terhadap hasil yang tampaknya menarik dari studi terbaru. Flanagan tidak percaya ilmu saat ini mendukung gagasan bahwa emosi positif dapat diperkuat dengan cara yang sama seperti korban stroke dapat memulihkan penggunaan anggota gerak dengan menggunakannya. Flanagan benar-benar mengakui bahwa meditasi mungkin bermanfaat dalam beberapa cara, tetapi mekanisme bagaimana meditasi dapat mempengaruhi otak masih belum diketahui.[19] Flanagan dan Hanson menggunakan banyak studi ilmiah yang sama guna mencoba untuk mendukung sudut pandang berbeda mereka, namun kedua penulis ini mengidentifikasi kebutuhan dan pentingnya studi masa depan yang menyelidiki meditasi.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Mizuno, Kogen (1972). Essentials of Buddhism. Tokyo: Kosei Publishing Company.
- ^ Ahir, D.C. (1999). Vipassana: A Universal Buddhist Meditation Technique. New Delhi: Sri Satguru Publications.
- ^ Kabat-Zinn, Jon (1998). Wherever You Go, There You Are: Mindfulness Meditation in Everyday Life. New York: Hyperion.
- ^ Cahn BR, Polich J (2006). "Meditation states and traits: EEG, ERP, and neuroimaging studies". Psychological Bulletin 132 (2): 180–211
- ^ Kasamatsu KH, Hirai T (1966). "An electroencephalographic study on the zen meditation (Zazen)". Folia Psychiatrica et Neurologica Japonica 20: 315–336.
- ^ Chiesa A, Serretti, A (2010). "A systematic review of neurobiological and clinical features of mindfulness meditations". Psychological Medicine 40 (8): 1239–1252.
- ^ Holzel BK, Ott U, Hempel H, Hackl A, Wolf K, Stark R, Vaitl D (2007). "Differential engagement of anterior cingulate and adjacent medial frontal cortex in adept meditators and non-meditators". Neuroscience Letters 421: 16–21.
- ^ Pagnoni G, Cekic M, Guo Y (2008). "Thinking about not- thinking’: neural correlates of conceptual processing during Zen meditation". PLoS ONE 3: e3083.doi:10.1371/journal.pone.0003083.
- ^ Lutz A, Brefczynski-Lewis J, Johnstone T, Davidson RJ (2008). "Regulation of the Neural Circuitry of Emotion by Compassion Meditation: Effects of Meditative Expertise". PLoS ONE 3 (3): e1897. doi:10.1371/journal.pone.0001897. PMC 2267490. PMID 18365029.
- ^ Stigsby B, Rodenberg JC, Moth HB (1981). "Electroencephalographic findings during mantra meditation (transcendental meditation). A controlled, quantitative study of experienced meditators". Electroencephalography and Clinical Neurophysiology 51: 434–442.
- ^ Becker DE, Shapiro D (1981). "Physiological responses to clicks during Zen, yoga, and TM meditation". Psychophysiology 18: 694–699.
- ^ Andersen J (2000). "Meditation meets behavioural medicine: The story of experimental research on meditation". Journal of Consciousness Studies 7: 17–73.
- ^ Fox, Kieran C.R.; Nijeboer, Savannah; Dixon, Matthew L.; Floman, James L.; Ellamil, Melissa; Rumak, Samuel P.; Sedlmeier, Peter; Christoff, Kalina (June 2014). "Is meditation associated with altered brain structure? A systematic review and meta-analysis of morphometric neuroimaging in meditation practitioners". Neuroscience & Biobehavioral Reviews 43: 48–73.
- ^ Pagnoni G, Cekic M (2007). "Age effects on gray matter volume and attentional performance in Zen meditation". Neurobiology of Aging 28 (10): 1623–1627.
- ^ Grant, J. A.; Rainville, P. (5 January 2009). "Pain Sensitivity and Analgesic Effects of Mindful States in Zen Meditators: A Cross-Sectional Study". Psychosomatic Medicine 71(1): 106–114
- ^ Jang, Joon Hwan; Jung, Wi Hoon; Kang, Do-Hyung; Byun, Min Soo; Kwon, Soo Jin; Choi, Chi-Hoon; Kwon, Jun Soo. "Increased default mode network connectivity associated with meditation". Neuroscience Letters 487 (3): 358–362.
- ^ Fox, Kieran C.R.; Nijeboer, Savannah; Dixon, Matthew L.; Floman, James L.; Ellamil, Melissa; Rumak, Samuel P.; Sedlmeier, Peter; Christoff, Kalina. "Is meditation associated with altered brain structure? A systematic review and meta-analysis of morphometric neuroimaging in meditation practitioners". Neuroscience & Biobehavioral Reviews 43: 48–73
- ^ Hanson, Rick (2009). Buddha’s Brain: The Practical Neuroscience of Happiness, Love, and Wisdom. Oakland, CA: New Harbinger Publication, INC.
- ^ Flanagan, Owen (2011). Bodhisattva’s Brain: Buddhism Naturalized. Cambridge, MA: The MIT Press.