Paraphrenia
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Paraphrenia adalah gangguan mental yang mirip dengan skizofrenia dalam hal gejala positifnya (delusi dan atau halusinasi), tetapi tidak memiliki gejala negatif seperti gangguan kecerdasan atau kepribadian.[1][2][3]
Dibandingkan dengan skizofrenia, paraphrenia kurang diwariskan, tidak bermanifestasi sampai pasien jauh lebih tua, dan memiliki tingkat perkembangan yang lebih lambat.[4] Gejala paraphrenia umumnya timbul mendekati usia 60 tahun.[2][5] Sementara, prevaleni kejadiaanya terjadi sekitar 0,1% dan 4% pada orang tua.[1]
Paraphrenia tidak termasuk dalam DSM-5. Psikiater kerap mendiagnosis pasien paraphrenia dengan gejala psikosis atipikal, gangguan delusi, psikosis yang belum ditentukan, gangguan schizoafektif, dan delusi penganiayaan persisten.[4] Praktisi kesehatan mental saat ini telah menggolongkan paraphrenia sebagai psikosis yang serupa skizofrenia dengan onset lambat.[4]
Dalam buku panduan psikiatri Rusia, paraphrenia termasuk tahapan terakhir dari perkembangan skizofrenia. Dalam hal ini, paraphrenia dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, "paraphrenia sistematis" adalah paraphrenia dengan delusi yang terstruktur logis dan kompleks (F22.0). Sedangkan, tipe kedua, "paraphrenia ekspansif-paranoid" adalah paraphrenia dengan waham kebesaran dan delusi penganiayaan, yang juga termasuk varian skizofrenia paranoid (F20.0).[6] Kata "paraphrenia" berasal dari bahasa Yunani Kuno yakni παρά (dekat) dan φρήν (pikiran).
Ciri dan gejala
[sunting | sunting sumber]Gejala utama paraphrenia adalah delusi dan halusinasi paranoid.[1][7] Pasien dengan paraphrenia kerap mengalami delusi yang menempatkan dirinya sebagai subjek penganiayaan, meski delusi erotis, hipokondriasis, atau kemulukan juga mungkin terjadi. Halusinasi pada paraphrenia seringkali bersifat auditori, dengan sekitar 75% pasien melaporkan pengalaman seperti itu. Halusinasi visual, penciuman, dan taktil juga telah dilaporkan.[1][7] Paranoid dan halusinasi dapat berupa "suara ancaman atau tuduhan dari tetangga yang dianggap pasien paraphrenia sebagai hal yang mengganggu dan tidak pantas".[1] Pada pasien paraphrenia lainnya hampir tidak terlihat ciri-ciri gangguan mentalnya. Paraphrenia tidak mengganggu kecerdasan atau kepribadian sehingga pasien terlihat mandiri,[7] tetap berorientasi baik dalam ruang dan waktu.[1]
Meski paraphrenia dan skizofrenia sama-sama menghasilkan delusi dan halusinasi, keduanya tetap bisa dibedakan. Pasien dengan skizofrenia menunjukkan perubahan dan kemunduran kepribadian. Sedangkan, pasien dengan paraphrenia mempertahankan kepribadian dan respon afektif.[2][7]
Penyebab
[sunting | sunting sumber]Neurologis
[sunting | sunting sumber]Paraphrenia kerap dihubungkan dengan perubahan di bagian otak, seperti tumor, stroke, pembesaran ventrikel, atau neurodegeneratif.[4] Studi yang meneliti kaitan antara lesi otak organik dan perkembangan delusi menunjukkan bahwa lesi otak yang mengarah pada disfungsi subkortikal dapat menghasilkan delusi ketika diuraikan oleh korteks yang utuh.[8]
Faktor predisposisi
[sunting | sunting sumber]Pasien dengan paraphrenia memiliki defisit sensorik, termasuk masalah pendengaran dan penglihatan, di mana mereka biasanya menunjukan kurangnya kontak sosial, tidak memiliki rumah permanen, belum menikah, tidak memiliki anak, dan berkepribadian maladaptif.[4][9][10] Faktor-faktor tersebut tidak secara langsung menyebabkan paraphrenia, tetapi lebih mungkin mendorong munculnya paraphrenia di kemudian hari.
Diagnosa
[sunting | sunting sumber]Penyakit ini relatif jarang didiagnosis dan tidak terdaftar dalam DSM maupun ICD, tetapi banyak penelitian telah mengakui bahwa kondisi ini berbeda dari skizofrenia dengan faktor alami yang terjadi pada mayoritas penderitanya.[4] Oleh karena itu, paraphrenia dipandang berbeda dari skizofrenia dan demensia progresif di usia lanjut.[2] Ravindran (1999) merilis daftar kriteria untuk diagnosis paraphrenia yang relevan dengan banyak penelitian saat itu.[10]
- 1. Gangguan delusi terjadi dalam durasi minimal enam bulan dan ditandai dengan hal-hal berikut:
- a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi semi-sistematis yang kerap disertai dengan halusinasi pendengaran.
- b. Mampu menjaga hubungan baik dengan orang lain.
- c. Tidak mengalami:
- i. Gangguan intelektual
- ii. Halusinasi visual
- iii. Ketidaklogisan
- iv. Perilaku tidak pantas
- v. Perilaku yang sangat tidak teratur pada waktu selain episode akut
- d. Gangguan perilaku yang dapat dimengerti dalam kaitannya dengan cerita delusi dan halusinasi.
- e. Hanya sebagian yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia . Tidak ada gangguan otak seirus.
Penanganan
[sunting | sunting sumber]Penelitian menunjukkan bahwa paraphrenia dapat ditangani dengan terapi obat antipsikotik secara disiplin.[1][10] Sementara itu, Herbert menemukan bahwa kombinasi stelazine dan disipal dapat menjadi pengobatan efektif penyakit ini, di mana pasien dapat dipulangkan dini dan terhindar dari rawat inap kembali.[9] Sedangkan, terapi perilaku dapat membantu pasien dalam mengurangi perhatian mereka terhadap delusi, meski psikoterapi saat ini bukanlah penanganan utamanya.[10]
Prognosis
[sunting | sunting sumber]Individu dengan paraphrenia memiliki harapan hidup yang sama dengan orang normal.[1][2][4][3] Walau begitu, kesembuhan dari gejala psikotik penyakit ini cukup jarang terjadi dan dalam kebanyakan kasus pasien terpaksa menjalani rawat inap selama sisa hidupnya.[1][2][9] Pasien dengan paraphrenia mengalami gangguan fungsi kognitif yang lambat, di mana gangguan ini dapat memicu demensia di beberapa kasus.[2][4][7]
Epidemiologi
[sunting | sunting sumber]Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi paraphrenia pada populasi usia lanjut dalah sekitar 2-4%.[1]
Perbedaan jenis kelamin
[sunting | sunting sumber]Meski paraphrenia dapat dialami pria dan wanita, tetapi dominasinya ada pada wanita bahkan setelah dihubungkan dengan angka harapan hidup.[1] Rasio wanita pengidap paraphrenia versus pria pengidap paraphrenia berkisar antara 3:1 hingga 45:2.[5]
Usia
[sunting | sunting sumber]Paraphrenia dapat ditemukan terutama pada pasien di atas usia 60, tetapi juga telah terlihat pada pasien berusia 40-an dan 50-an.[2][5]
Tipe kepribadian dan situasi kehidupan
[sunting | sunting sumber]Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan paraphrenia memiliki kepribadian pramorbid yang erat dengan perilaku suka bertengkar, religius, curiga atau sensitif, tidak ramah, dan dingin.[1] Banyak pasien juga terlihat suka menyendiri, eksentrik, dan terisolasi.[7] Sebagian besar sifat yang dikenali sebelum timbulnya paraphrenia pada individu, biasanya diidentifikasi sebagai paranoid atau skizoid.[9] Pasien dengan paraphrenia seringkali hidup sendiri (baik lajang, janda, atau bercerai).[9] Penelitian juga menunjukkan bahwa pasien dengan paraphrenia memiliki tingkat pernikahan yang rendah dengan sedikit atau tidak memiliki anak (kemungkinan terkait kepribadian pramorbidnya).[1][5][9]
Faktor fisik
[sunting | sunting sumber]Perilaku paranoid dan halusinasi di usia lanjut telah dikaitkan dengan gangguan pendengaran dan penglihatan, di mana pasien dengan paraphrenia kerap menunjukkan salah satu atau kedua gangguan tersebut.[1][5][9] Gangguan pendengaran pada paraphrenia dikaitkan dengan onset dini, durasi yang lama, dan kehilangan pendengaran akut.[5]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Karl Ludwig Kahlbaum mengenalkan istilah paraphrenia pada tahun 1863. Kahlbaum menggunakan "paraphrenia" untuk menggambarkan kecenderungan gangguan kejiwaan tertentu yang terjadi pada periode transisi tertentu dalam kehidupan manusia. Ia menyebut paraphrenia hebetica untuk mewakili kegilaan masa remaja dan paraphrenia senilis untuk mewakili kegilaan usia lanjut.[4][11][12]
Istilah "paraphrenia" juga digunakan oleh Sigmund Freud pada tahun 1911 sebagai alternatif nama dari skizofrenia dan demensia prekoks. Saat itu, ketiga penyakit tersebut belum dibedakan.[13][14][15] Emil Kraepelin pada tahun 1912-1913[16][17] kemudian mendefinisikan ulang paraphrenia (seperti saat ini) sebagai sekelompok kecil individu yang memiliki banyak gejala skizofrenia dengan sedikit gangguan pikiran.[4][12] Penelitian yang diakukan oleh Kraepelin kemudian dilanjutkan oleh Wilhelm Mayer pada tahun 1921. Mayer menemukan bahwa terdapat sedikit atau bahkan tidak ada perbedaan pada skizofrenia dan paraphrenia. Dalam penelitian tersebut, pasien dengan paraphrenia seiring berjalannya waktu akan bergabung ke dalam kelompok skizofrenia.[4][12] Namun, data Meyer terbuka untuk berbagai interpretasi.[11] Roth dan Morrissey pada tahun 1952 mengadakan penelitian masif dengan melakukan survei penerimaan pasien yang lebih tua di rumah sakit jiwa. Roth dan Morrissey mencirikan pasien tersebut memiliki delusi paraphrenia yang dikaitkan dengan gangguan kehendak, halusinasi, dan kesadaran patognomonik skizofrenia.[4][18]
Pengobatan terkini merubah istilah "paraphrenia" menjadi diagnosis "psikosis mirip skizofrenia dengan onset sangat lambat" dan "psikosis atipikal, gangguan delusi, psikosis yang belum ditentukan, gangguan skizoafektif, dan delusi penganiayaan persisten" oleh psikoterapis.[4] Studi saat ini telah mengidentifikasi paraphrenia sebagai entitas diagnostik yang berbeda dari skizofrenia dengan faktor alami yang terjadi pada mayoritas penderitanya.[4]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n Almeida, dkk (1992). "Late paraphrenia: a review". International Journal of Geriatric Psychiatry. 7 (1): 543–548. doi:10.1002/gps.930070803. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-03-18.
- ^ a b c d e f g h Roth, M (1955). "The Natural History of Mental Disorder in Old Age". The British Journal of Psychiatry. 101 (2): 281–301. doi:10.1192/bjp.101.423.281.
- ^ a b Roth & Kay (1998). "Late paraphrenia: a variant of schizophrenia manifest in late life or an organic clinical syndrome? A review of recent evidence". International Journal of Geriatric Psychiatry. 13 (2): 775–784.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n Casanova, M. F. (2010). "The pathology of paraphrenia". Current Psychiatry Reports. 12 (1): 196–201. doi:10.1007/s11920-010-0108-8.
- ^ a b c d e f Almeida dkk (1995). "Psychotic states arising in late life (late paraphrenia). The role of risk factors". The British Journal of Psychiatry. 166 (1): 215–228. doi:10.1192/bjp.166.2.215.
- ^ Сметанников, П. Г. (2002). Психиатрия: Краткое руководство для врачей [Psychiatry: A Brief Guide for Physicians] (dalam bahasa Russian). Rostov-on-Don: Phoenix (Феникс). hlm. 157, 165. ISBN 5-222-02133-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-14. Diakses tanggal 2022-03-18.
- ^ a b c d e f Kay & Roth (1961). "Environmental and Hereditary Factors in the Schizophrenias of Old Age ("Late Paraphrenia") and their Bearing on the General Problem of Causation in Schizophrenia". Journal of Mental Science. 107 (2): 649. doi:10.1192/bjp.107.449.649.
- ^ Cummings, J. L. (1985). "Organic delusions: Phenomenology, anatomical correlations, and review". British Journal of Psychiatry. 146 (3): 184–197. doi:10.1192/bjp.146.2.184.
- ^ a b c d e f g Herbert & Jacobson (1967). "Late Paraphrenia". British Journal of Psychiatry. 113 (2): 461. doi:10.1192/bjp.113.498.461.
- ^ a b c d Ravindran dkk (1999). "Paraphrenia redefined". Canadian Journal of Psychiatry-Revue Canadienne De Psychiatrie. 44 (1): 133–137. doi:10.1177/070674379904400202.
- ^ a b Kraam, Abdullah; Phillips, Paula (2012). "Hebephrenia: a conceptual history". History of Psychiatry (dalam bahasa Inggris). 23 (4): 387–403. doi:10.1177/0957154X11428416. ISSN 0957-154X.
- ^ a b c McKenna, P. J. (1997). Schizophrenia and related syndromes. New York: Psychology Press. hlm. 239–242. ISBN 978-0-86377-790-5.
- ^ Zanchettin, Joceline (2018). "Sigmund Freud's clinical intuition in the field of psychosis". Psicologia USP (dalam bahasa Inggris). 29 (1): 116–125. doi:10.1590/0103-656420170103. ISSN 0103-6564.
- ^ Freud, Sigmund (1911). Psycho-Analytic Notes on an Autobiographical Account of a Case of Paranoia (Dementia Paranoides) (PDF). London: The Hogarth Press and The Institute of Psycho-analysis. hlm. 1–43.
- ^ Peter, Widmer (2007). Psychosen: Eine Herausforderung für die Psychoanalyse. Berlin: Berlin Zeitung. hlm. 75–102.
- ^ Kraepelin, Emil (1912). "Über paranoide Erkrankungen". Zeitschrift für die gesamte Neurologie und Psychiatrie. 11 (2): 22. doi:10.1007/bf02866488.
- ^ Wohlgemutha, A (1927). "Psychotherapie: Ein Lehrbuch für Studierende und Ärzte". Journal of Mental Science. 73 (1): 56. doi:10.1192/bjp.73.300.120.
- ^ Roth & Morrissey (1952). "Problems in the Diagnosis and Classification of Mental Disorder in Old Age; with a Study of Case Material". The British Journal of Psychiatry. 98 (2): 66–80. doi:10.1192/bjp.98.410.66.