Lompat ke isi

Vitamin E

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Strukur alfa tokoferol (Vitamin E).
Vitamin E dalam bentuk pil

Vitamin E adalah nama umum untuk dua kelas molekul ( tocopherol dan tocotrienol) yang memiliki aktivitas vitamin E dalam nutrisi.[1]

Vitamin E bukan nama untuk setiap satuan bahan kimia spesifik namun, untuk setiap campuran yang terjadi di alam yang menyediakan fungsi vitamin E dalam nutrisi.[1]

Sejarah Penemuan

[sunting | sunting sumber]

Vitamin E pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh Dr. H.M Evans dari California melalui penelitian untuk mempertahankan kehamilan normal tikus betina diperlukan suatu subtansi tak dikenal.[1] Tanpa bahan ini, janin tikus akan mati dalam sepuluh hari saat dikandung. Tikus jantan yang kekurangan bahan ini juga mengalami kelainan pada testisnya.[1] Sehingga saat itu vitamin E disebut sebagai vitamin anti kemandulan. Pada wanita juga dianjurkan sebagai perawatan untuk kemandulan, kelainan menstruasi, peradangan vagina, gejala menopause, mencegah keguguran dan kesuburan benih.[1]

Vitamin E pertama kali diisolasi pada tahun 1936 dari minyak tepung gandum.[1] Disebut vitamin E karena ditemukan setelah vitamin-vitamin yang sudah ada yaitu A, B, C, dan D. Bentuk vitamin E merupakan kombinasi dari delapan molekul yang sangat rumit yang disebut ’tocopherol’.[1]

Kata ’tocopherol’ berasal dari bahasa Yunani: Toketos yang berati ’kelahiran anak’ dan Phero berarti ’saya bawa’, akhiran ’-ol’ ditambahkan untuk menunjukkan bahwa bahan ini merupakan salah satu dari alkohol yang menyebabkan mabuk jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.[1]

Sifat-sifat

[sunting | sunting sumber]

Tocopherol tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut lemak seperti minyak, lemak, alkohol, aseton, eter dan sebagainya.[2] Karena tidak larut dalam air, vitamin E dalam tubuh hanya dapat dicerna dengan bantuan empedu hati, sebagai pengelmulsi minyak saat melalui duodenum.[3]

Vitamin E stabil pada pemanasan namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi.[3] Vitamin E bersifat basa jika tidak ada oksigen dan tidak terpengaruh oleh asam pada suhu 100o C. Bila terkena oksigen di udara, akan teroksidasi secara perlahan-lahan.[2] Sedangkan bila terkena cahaya warnanya akan menjadi gelap secara bertahap.[2]

Vitamin E mudah didapat dari bagian bahan makanan yang berminyak atau sayuran. Vitamin E banyak terdapat pada buah-buahan, susu, mentega, telur, sayur-sayuran, terutama kecambah.[1] Contoh sayuran yang paling banyak mengandung vitamin E adalah minyak biji gandum, minyak kedelai, minyak jagung, alfalfa, selada, kacang-kacangan, asparagus, pisang, strawberry, biji bunga matahari, buncis, ubi jalar dan sayuran berwarna hijau.[1] Vitamin E lebih banyak terdapat pada makanan segar yang belum diolah.[3]

Satu unit setara dengan 1 mg alfa-tocopherol asetat atau dapat dianggap setara dengan 1 mg.[1] Selain itu ASI juga banyak mengandung vitamin E untuk memenuhi kebutuhan bayi.[1]

Dalam perkembangannya, Vitamin E diproduksi dalam bentuk pil, kapsul, dan lain-lain sebagaimana vitamin-vitamin yang sudah terlebih dahulu ada.[1] Vitamin yang sudah dikemas dalam berbagai bentuk ini banyak dijual bebas di pasaran serta dianggap berguna.[1]

Vitamin E berguna untuk:

  • meningkatkan daya tahan tubuh, membantu mengatasi stres, meningkatkan kesuburan, meminimalkan risiko kanker dan penyakit jantung koroner.[3]
  • berperan sangat penting bagi kesehatan kulit, yaitu dengan menjaga, meningkatkan elastisitas dan kelembapan kulit, mencegah proses penuaan dini, melindungi kulit dari kerusakan akibat radiasi sinar ultraviolet, serta mempercepat proses penyembuhan luka.[3]
  • sebagai Antioksidan. Semua vitamin E adalah antioksidan dan terlibat dalam banyak proses tubuh dan beroperasi sebagai antioksidan alami yang membantu melindungi struktur sel yang penting terutama membran sel dari kerusakan akibat adanya radikal bebas.[4] Dalam melaksanakan fungsinya sebagai antioksidan dalam tubuh, vitamin E bekerja dengan cara mencari, bereaksi dan merusak rantai reaksi radikal bebas[1]Y. Dalam reaksi tersebut, vitamin E sendiri diubah menjadi radikal.[1] Namun radikal ini akan segera beregenerasi menjadi vitamin aktif melalui proses biokimia yang melibatkan senyawa lain.[1]
  • melindungi sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh dari kerusakan.[5] Selain bisa melindungi dari akibat kelebihan vitamin A dan melindungi vitamin A dari kerusakan, vitamin ini juga bisa melindungi hewan dari akibat berbagai obat, bahan kimia, dan logam yang mendukung pembentukan radikal bebas.[1]

Vitamin ini larut dalam lemak.[5] Kelarutannya dalam lemak merupakan sifat yang menguntungkan karena sebagian besar kerusakan akibat radikal bebas terjadi di dalam membran sel dan lipoprotein yang terbuat dari molekul lemak.[2]

Dosis dan pengaruh

[sunting | sunting sumber]

Bila vitamin E digunakan sebagai antioksidan, maka seorang perempuan membutuhkan sedikitnya 120 IU (international unit) per hari.[3] Namun menurut catatan medis, kebanyakan perempuan Indonesia hanya mengonsumsi makanan yang mengandung 10.4 - 13,4 IU per hari.[3] Untuk mencukupi kebutuhan itu, vitamin E dapat dikonsumsi dari vitamin E sintetis (dl-a tokoferol).[3]

Dosis vitamin E yang besar bisa memperbaiki dan mencegah terjadinya perkembangan kelainan saraf.[6] Beberapa penelitian menunjukan bahwa peningkatan konsumsi vitamin E dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.[6] Asupan vitamin E harian sebesar 10-30 mg dianggap cukup untuk mempertahankan kadar viamin E dalam darah.[7] Namun batas konsumsi vitamin E yang dianjurkan adalah 8 sampai 10 IU (International Units)- suatu batas dimana sepertiga orang Amerika menggunakannya.[7] Untuk keuntungan maksimal vitamin E, diperlukan 100 sampai 400 IU setiap hari.[7] Sebagian besar penelitian menunjukan bahwa ini merupakan konsumsi optimal untuk mengurangi risiko penyakit kronis. Sedangkan dalam bahan makanan yang kita konsumsi setiap harinya diperkirakan mengandung 25 IU vitamin E.[7]

Kekurangan

[sunting | sunting sumber]

Kekurangan vitamin E akan menyeabkan sel darah merah terbelah. Proses ini disebut hemolisis eritrodit dan dapat dihindari dengan vitamin E.[1]

Akibat lain kekurangan vitamin E adalah:[1]

  • perubahan degeneratif pada sistem saraf dan otot
  • kelemahan dan kesulitan berjalan
  • nyeri pada otot betis
  • gangguan penglihatan
  • anemia
  • retensi cairan (odem)
  • kelainan kulit

Pada bayi, kekurangan vitamin E dapat menyebabkan kelainan yang mengganggu penyerapan lemak pada bayi yang prematur dan kekurangan gizi.[6] Namun kekurangan vitamin E sesungguhnya sangat jarang terjadi karena vitamin ini banyak terdapat dalam makanan, terutama dalam minyak sayur.[6] Pada manusia kekurangan vitamin E bisa disebabkan karena diet yang sangat buruk dalam jangka waktu lama.[6]

Kelebihan

[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya vitamin E dianggap sebagai bahan yang cukup aman.[3] Dalam beberapa kasus, kelebihan vitamin E menimbulkan gangguan pada kinerja sistem imun terhadap infeksi.[7] Gejala yang akan dirasakan adalah sakit kepala, lemah dan selalu lelah, serta pusing yang disertai gangguan penglihatan.[3] Untuk itu, jumlah vitamin E dalam tubuh harus berada dalam batasan yang ketat.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Youngson R. 2005. Antioksidan, Manfaat Vitamin C & E Bagi Kesehatan. Cet.1. Jakarta: Arcan.
  2. ^ a b c d (Inggris) Eitenmiller RR, Lee J. 2004. Vitamin E: food chemistry, composition, and analysis. New York: Marcel Dekker Inc.
  3. ^ a b c d e f g h i j k Anonim. 2007. Situs wawasan digital: Vitamin E, berapa banyak dibutuhkan tubuh?. Wawasan Digital 22 Maret 2007 Diarsipkan 2008-12-08 di Wayback Machine. Diakses 22 Apr 2010.
  4. ^ Kusrini IA. 2008. Bahasa Indonesia 3. Cet. 1. Jakarta: Quadra.
  5. ^ a b Aisyiyah. 2003. Suara ʻAisyiyah'. vol. 80. Jakarta: Aisyiyah Association.
  6. ^ a b c d e (Inggris) Diplock AT. 1989. Vitamin E: biochemistry and health implications. New York: New York Academy of Sciences
  7. ^ a b c d e (Inggris) [Institute of Medicine US]. 2000. Dietary reference intakes for vitamin C, vitamin E, selenium, and Carotenoids. Washington: National Academy of Science.