Lompat ke isi

Ngaras

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ngaras adalah salah satu upacara adat Sunda yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan tujuan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tua dan meminta doa untuk kelancaran acara pernikahan.[1] Secara etimologis istilah ngaras berasal dari kata bahasa Sunda yaitu ras, kata ras adalah kata yang digunakan untuk mengingat, merasakan, atau mengingatkan.[2] Selain itu, dalam bahasa Sunda juga terdapat kata ngaraas yang artinya menyeberangi sungai yang tidak terlalu dalam. Kata ngaraas berasal dari kata 'raas' yang memiliki awalan nga-. Bisa jadi, dalam ilmu linguistik, kata ngaraas mengalami proses morfologi sinkope (hilangnya fonem di tengah kata) menjadi kata ngaras. [3]

Upacara ngaras dimaksudkan untuk mengingatkan anak akan kemulyaan orang tuanya. Dengan kasih sayang, mendidik dan membimbing jalan hidup yang benar-benar sesuai dengan pedoman agama dan hukum negara dalam melakoni kehidupan di dunia. Tentunya bimbingan yang bersumber dari ajaran agama tersebut merupakan pedoman bagaimana menempatkan orang tua dalam wilayah iman dan takwa dengan hormat kepada orang tua. Islam menuntut anak untuk menghormati orang tuanya, terutama ibunya . Dalam budaya sunda menghormati ibu dan ayah tersirat dalam ungkapan munjung jangan pergi ke gunung, ibadah jangan ke laut, munjungnya harus ke ibu, ibadah harus ke ayah. Ungkapan tersebut tentu saja merupan penjelasan dari ungkapan lainnya yang berbunyi ibunya yang berhasil mengandung ayahnya.

Menghormati orang tua

[sunting | sunting sumber]

Peran ibu dan ayah dalam masyarakat sunda memiliki peran yang paling tinggi. Jadi kalau ada anak yang tidak menghormati orang tuanya disebut doraka kepada orang tuanya . Bagi orang Sunda, menghormati orang tua merupakan salah satu kewajiban utama. Mungkin orang - orang sangat yakin bahwa murka Tuhan tidak lain adalah salah satu bentuk durhaka kepada orang tua dan kehendak Tuhan adalah hasil dari kehendak orang tua. Sikap hormat tilawat kepada orang tua, di masyarakat Sunda salah satunya ditunjukkan melalui tradisi minum air yang digunakan untuk membersihkan kaki orang tua yang merupakan acara besar dalam tradisi ngaras. Segala bentuk perilaku sangat erat kaitannya dengan perjalanan amal seseorang. Perjalanan orang simbolis berjalan kaki. Telapak kaki memberi kesan bahwa eksistensi manusia sesungguhnya terlihat dari karyanya . Karena itu, kaki memiliki makna yang dalam dan luhur.

Sadar diri sebagai manusia

[sunting | sunting sumber]

Ngaras juga dikatakan sebagai ekspresi dari berlari dan merasakan, perasaan bahwa manusia dilahirkan ke alam dunia berasal dari cinta dan kasih sayang ibu dan ayah . Dalam Islam, ngaras berasal dari kata arasy yang artinya tempat yang luhur. Dengan demikian, lambang dalam upacara adat ngaras adalah mencuci dan mencium telapak kaki ibu dengan hormat. Kemudian ibu dan ayah mempelai laki-laki berjanji bahwa mereka akan bahagia dan ridho atas pernikahan kedua mempelai.

Menyucikan diri

[sunting | sunting sumber]

Hali ini diilustrasikan dengan kata ngaras yang artinya menyeberangi sungai untuk mengambil air yang jernih untuk membersihkan kaki orang tua.[4] Dalam paradigma Islam, kaki penting sebagai tanda menyembah dan memohon ampun. Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Kaki tersebut memiliki makna yang dalam dan nilai luar biasa yaitu sebagai sarana dalam melaksanakan perjalanan hidup manusia . Jika kontrol manusia sudah di luar jalur, maka perjalanan hidup juga akan keluar dari jalur yang seharusnya. Uraian ini mengandung makna bahwa perilaku anak bergantung pada cara orang tua mendidiknya agar berada di jalur yang benar. Mereka tetap berada di jalur yang dikehendaki Tuhan . Bimbingan dari orang tua akan membangun watak, karakter, dan kebiasaan anak.[5]

  • Menambah referensi upacara pernikahan selain upacara adat Sunda yang telah ada, seperti siraman, ngerik, seserahan, ngeuyeuk seureuh, sawer, buka pintu, huap lingkung, dll.
  • Semoga ada upacara yang lebih khidmat untuk menunjukkan pengabdian seorang anak kepada orang tuanya. Oleh karena itu, tidak salah jika seorang anak menunjukkan pengabdian kepada orang tuanya dengan mengungkapkan perasaannya.
  • Semoga ada upacara yang istimewa, untuk menyampaikan rasa cinta orang tua kepada anak.
  • Harapan untuk mendatangkan keridhaan Tuhan .
  • Mempererat persaudaraan kedua mempelai.
  • Menyampaikan pesan mulya khususnya kepada kedua mempelai pada umumnya untuk semua yang hadir di tempat tersebut.
  • Turunkan suasana stres (tegang, emosional) terutama bagi keluarga pengantin.
  • Menumbuhkan rasa hormat kepada orang tua terutama bagi kedua mempelai. Bagi yang menyaksikan maka akan tersadar bahwa kita ada di dunia karena ibu dan ayah.
  • Dalam membasuh kaki orang tua ada arti meminta ridho orang tua agar rumah tangganya lancar. Dengan demikian, upacara ngaras diharapkan mampu mempertahankan keharmonisan sebuah keluarga yang akan dibangun.[1]

Urutan Acara

[sunting | sunting sumber]
  • Acara pertama, pengatur acara menjelaskan tujuh kain batik yang diartikan sebagai perjalanan hidup yang selalu dalam waktu tujuh hari. Setiap manusia harus menghargai waktu. Tentu saja budaya Sunda sangat berhubungan dengan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an Surat Al-Ashr. Karenanya, mengisi waktu tujuh hari dalam seminggu itu merupakan hal yang baik.
  • Pengatur acara menjelaskan berbagai daun yang harus ada dan menjadi simbol upacara. Daun tersebut adalah daun hanjuang, sirih, puring, melati, beringin, mamangkokan, kibeusi, waregu, dan handeuleum . Sebut saja beberapa contoh dedaunan (biasanya penyelenggara membawa berbagai macam dedaunan sesuai dengan kebutuhan saja.[6] Sebagai gambaran, berikut makna beberapa daun yang harus adaHanjuang, simbol yang menjelaskan bahwa selama kita diberi kesempatan untuk bernafas, kita pasti punya nafsu. Arti lainnya adalah sebagai pembatas antara kehidupan sendiri dan rumah tangga.
    • Seureuh adalah simbol melawan hawa nafsu, karena akan memiliki teman hidup. Arti lainnya adalah melambangkan cinta antara calon pengantin wanita dan calon pengantin pria .
    • Puring adalah simbol diri sendiri (mpu) . Artinya kita yang ada di dalam diri sendiri dan harus bisa mengendalikannya.
    • Malati adalah simbol bahwa sekecil apapun kasih sayang yang diberikan harus dihormati sebersih putihnya bunga melati.
    • Caringin yang menjadi simbol dalam perjalanan hidup harus bisa menuntun orang lain.
    • Mamangkokan merupakan lambang sikap menerima rizki yang diberikan oleh Allah SWT, baik dalam jumlah besar maupun dalam jumlah kecil. Daun mangkok besar dan kecil berbentuk mangkok seperti tangan yang menyatakan rasa syukur.
    • Kibeusi adalah simbol kekuatan. Hidup selalu menghadapi masalah. Oleh karena itu, kita harus tetap waspada dalam menghadapi setiap permasalahan rumah tangga dengan bijak.
    • Waregu merupakan simbol waruga atau jasad yang harus selalu kuat dalam menghadapi masalah.
    • Handeuleum adalah simbol alam, ide, dan keinginan.
  • Mempelai laki-laki diperintahkan untuk menyalakan palita, biasanya memiliki lima sumbu yang disusun dalam sebuah cobek.
  • Kedua mempelai menuangkan air dalam tempayan ke dalam paso yang berisi berbagai macam bunga . Sambil menuangkan air, kedua mempelai membasuh kaki orang tua mereka sebagai puncak acara ngaras.
  • Setelah membasuh kaki orang tuanya, kedua mempelai mencurahkan kasih sayang kepada orang tuanya dengan sungkem dan berpelukan sekaligus meminta doa terbaik.
  • Terakhir, kedua mempelai meminta restu dari perwakilan saudara mereka dengan cara sungkem atau berjabat tangan.[5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Nurizka (24 Juni 2016). "Simbol Jeung Ma'na Dina Runtuyan Upacara Adat Ngaras di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung". Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses tanggal 30 Maret 2023. 
  2. ^ Danadibrata. (2015).Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama, Hal. 567
  3. ^ LBSS. (2007).Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate, Hal. 407
  4. ^ "Upacara Daur Hidup dalam Pernikahan Adat Sunda". webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-14. Diakses tanggal 2020-08-26. 
  5. ^ a b Hendrayana, Dian. "Ngaras: Upacara Membasuh Kaki Yang Sarat Makna". pls. 266. ISSN 1411-688X. 
  6. ^ Suryalaga, H. R. (1997). Rineka Budaya Sunda. Bandung: Geger Sunten, kc. 32

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]