Tari tanggai
Tari tanggai adalah sebuah tarian yang disajikan untuk menyambut tamu yang telah memenuhi undangan.[1] [2] Tari tanggai biasanya dipertontonkan dalam acara pernikahan adat daerah Palembang.[1] [2] [3] [4] Tari tanggai menggambarkan keramahan, dan rasa hormat masyarakat Palembang atas kehadiran sang tamu dan dalam tari ini tersirat sebuah makna ucapan selamat datang dari orang yang mempunyai acara kepada para tamu.[1] [2] [3]
Tari tanggai memiliki persamaan dengan tari Gending Sriwijaya.[4] [5] Perbedaannya adalah Tari tanggai dibawakan oleh 5 orang sedangkan tari Gending Sriwijaya dibawakan oleh 9 orang dan perlengkapan penari Gending Sriwijaya lebih lengkap dibandingkan dengan Tari tanggai.[4] [5] Penari tari Tanggai menggunakan pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau ramai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga dan kerana tanggai yang dipakai penari, maka tari ini dinamakan tari tanggai.[4] [5]
Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai dengan busana khas daerah sehingga penari kelihatan lebih anggun.[4] Kelenturan gerak dan lentiknya jemari penari menunjukan betapa tulusnya tuan rumah memberikan penghormatan kepada tamu.[4] Perpaduan gerak gemulai penari dengan harmoni lagu pengiring yang berjudul “enam bersaudara” melambangkan keharmonisan hidup masyarakat Palembang.[4] [5]
Pada zaman sekarang, tari tanggai selain dipertontonkan dalam acara pernikahan masyarakat Palembang,tari ini juga dipertontonkan dalam acara-acara resmi organisasi dan pergelaran seni di sekolah-sekolah.[5] Sanggar-sanggar seni di kota Palembang banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian adat Sumatra Selatan.[5]
Musik
Musik pengiring di dalam tari tanggai merupakan sebuah musik yang menggabungkan sebuah instrumental yang digarap oleh komponis dan sekaligus di iringi oleh beberapa gendang dan satu buah gong yang berperan sebagai ritem/ritme.[6]
Iringan instrumental di dalam tari tanggai sendiri, menggambarkan nuansa melayu dan tidak meninggalkan warna atau rasa dari musik daerah Palembang.[6] Adapun alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari tanggai adalah :
Judul dari lagu pengiring tari tanggai adalah “Enam Bersaudara”, sedangkan untuk penciptanya tidak diketahui dengan jelas siapa penciptanya.[6] Pada masa ini, di dalam penyajian musik tari tanggai, seseorang yang akan mengadakan acara melihat situasi dan kondisi tempat dari pemilik acara, sehingga nantinya lagu “Enam Bersaudara" bisa diiringi oleh organ tunggal, band, atau juga dapat menggunakan alat musik tradisional khas daerah.[6]
Gerakan
Ragam Gerak
Tari Tanggai mempunyai wujud atau bentuk yang tersusun dari rangkaian-rangkaian gerak atau motif gerak yang telah di kembangkan dan di variasikan menjadi satu kesatuan yang utuh.[6] Sehingga membentuk sebuah struktur tari.[6]
Adapun sturktur gerakan tari adalah sebagai berikut :
- Gerakan tari awal
- Gerak masuk posisi sembah
- Gerak Borobudur hormat
- Gerak Sembah berdiri
- Jalan keset
- Kecubung berdiri bawa kanan
- Kecubung bawah kiri
- Kecubung berdiri atas kanan
- Kecubung atas kiri
- Ukur benang.[6]
- Gerak tari pokok
- Tutur sabda
- Sembah duduk
- Tabur bunga duduk kanan dan kiri
- Memohon duduk kanan
- Kecubung duduk kanan dan kiri
- Stupa kanan dan kiri
- Tutur sabda
- Borobudur
- Ulur benang.[6]
- Gerakan tari akhir
- Tolak bala berdiri kanan dan kiri
- Nyumping berdiri kanan dan kiri
- Mendengar berdiri kanan dan kiri
- Tumpang tali/ulur benang berdiri kanan dankiri
- Sembah berdiri
- Borobudur berdiri
- Borobudur hormat.[6]
Tujuan
Hiburan
Tari tanggai selalu di tampilkan setiap acara adat, baik secara resmi maupun tidak resmi.[6] Dalam hal ini bagi para penari, tari tanggai mempunyai kenikmatan tersendiri bagi mereka sendiri dan secara tidak langsung dapat menghibur diri para tamu yang datang.[6]
Simbol kehormatan
Salah satu penari harus ada yang menjadi primadona dan akan membawa tepak yang berisikan sekapur sirih yang merupakan sombol kehormatan.[6] Sedangkan tamu kehormatan di berikan sekapur sirih sebagai simbol bahwa masyarakat Palembang siap menerima tamu tersebut.[6] Penari tersebut membawa kapur sirih jadi dan sirih tak jadi.[6] Sirih jadi adalah sirih yang sudah di ramu, sedangkan Sirih tak jadi adalah yang akan di ramu oleh tamu itu sendiri.[6]
Pendidikan
Tari Tanggai selain memiliki unsur hiburan, Tari tanggai juga memiliki unsur pendidikannya (pengetahuan), khususnya dalam bidang seni tari.[6]
Sejarah
Pada zaman dahulu, tari tanggai dipersembahkan terhadap dewa siwa dengan membawa sesajian yang berisi buah dan beraneka ragam bunga, karena tari tanggai pada masa ini tari tanggai merupakan tari yang di sakralkan atau di sucikan karena fungsinya sebagai pengantar persembahan terhadap dewa-dewa dalam kepercayaan Buddha dan tidak boleh ditarikan sembarangan.[6] Tari Tanggai yang ada di Palembang memiliki banyak kesamaan dengan tarian yang ada di China.[6] Ini disebabkan karena pada zaman dahulu di Sumatra Selatan ada sebuah kerajaan yang dibangunan oleh generasi Raja Syailendra yang memeluk agama Buddha.[6] Secara tidak langsung, tarian Tanggai ini pun diajarkan karena tari ini berfungsi sebagai tari pemujaan dan persembahan dalam kepercayaan agama Buddha.[6]
Pada zaman penjajahan Belanda, Pemerintah Belanda tidak memperbolehkan perempuan untuk menari, sehingga hanya laki-laki yang boleh menari dan pada kemudian hari mereka tertarik dengan tanggai, maka pada tahun 1920 mereka menggunakan tanggai dan sekapur sirih (sirih, pinang, kapur, gambir dan tembakau yang di jadikan satu, yang disusun dalam sebuah tepak sirih) yang berfungsi sebagai tari sambut yang dinamakan Tari Tepak atau Tari tanggai.[7]
Pada zaman penjajahan Jepang, tari ini tidak boleh ditampilkan, maka penjajah Jepang memita Sukainah Rozak selaku Putri karesidenan Palembang untuk menciptakan garakan Tari Gending Sriwijaya.[7] Sedangan syair lagu dari Tari Gending Sriwijaya diciptakan oleh Nung Cik AR, dan musik Tari Gending Sriwijaya di ciptakan oleh Dahlan Mahibat.[7]
Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI dan pencipta syair tersebut, yakni Nung Cik AR disinyalir merupakan anggota PKI sehingga ia ditangkap dan Tari Gending Sriwijaya pada saat itu tidak boleh ditampilkan.[7] Namun, dikarenakan banyaknya Tamu Kehormatan Negara dan Pejabat Negara yang datang ke Palembang dan tidak adanya tarian yang biasa digunakan untuk menyambut tamu-tamu yang datang, maka ibu Elly Rudi dan ibu Anna Kumari mengangkat kembali dan menyusun gerakan-gerakan tarian yang sebelumnya digunakan sebagai penghormatan terhadap tamu yang datang ke Palembang, yakni Tari Tanggai.[7]
Referensi
- ^ a b c (Inggris) Aripratna. "Tari Tanggai" (pdf). Diakses tanggal 28 April 2014.
- ^ a b c (Inggris) "Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014.
- ^ a b (Indonesia) "Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014.
- ^ a b c d e f g (Indonesia) "Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014.
- ^ a b c d e f (Indonesia) Vicky Dewi. "Tari Tanggai" (pdf). Diakses tanggal 28 April 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Indonesia) "Tari Tanggai Sumatra Selatan". Diakses tanggal 26 April 2014.
- ^ a b c d e (Indonesia) "Sejarah Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014.