Abu al-Mafakhir dari Banten: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22: Baris 22:


== Kehidupan awal ==
== Kehidupan awal ==
[[Maulana Muhammad dari Banten|Sultan Maulana Muhammad]] wafat pada awal tahun 1596 di [[Kota Palembang|Palembang]] ketika sedang melakukan ekspedisi militer terhadap [[Kesultanan Palembang]].<ref>{{Cite book|last=Hernadi|first=Edi|url=https://books.google.com/books?id=W0yqDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA198&dq=sultan+maulana+muhammad+palembang&hl=en|title=Sejarah Nasional Indonesia: Edisi Revisi 2013|publisher=Uwais Inspirasi Indonesia|isbn=978-623-227-121-0|language=id}}</ref> Kemudian pada tanggal [[23 Juni]] [[1596]], dikarenakan putranya Abul Mafakhir masih berusia lima bulan, maka untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya. Pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanegara meninggal, jabatannya digantikan oleh adiknya. Namun [[17 November]] [[1602]] ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Khawatir akan terjadi perpecahan dan iri hati, maka pemerintahan diputuskan untuk tidak dipegang oleh Mangkubumi, tetapi langsung oleh Ibunda Sultan, Nyimas Ratu Ayu Wanagiri. Pada [[8 Maret]] [[1608]] sampai [[26 Maret]] [[1609]] terjadi perang saudara di antara keluarga kerajaan. Melalui usaha Pangeran [[Pangeran Jayakarta|Jayakarta]] akhirnya perang dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Banten kembali aman, lalu diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala sebagai mangkubumi baru sekaligus menjadi wali Sultan Muda. Untuk menertibkan kemananan negara, Ranamanggala menghukum para pangeran atau penggawa yang melakukan penyelewengan. Pada Januari 1624, Pangeran Arya Ranamanggala mundur dari jabatannya karena sakit. Saat itu Abul Mafakhir sudah cukup dewasa, sehingga ia pun dinobatkan sebagai raja dan kekuasaan atas Kesultanan Banten sepenuhnya dipegang olehnya. Dua tahun kemudian tepatnya 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia.<ref name=":1">{{Cite news|url=http://www.kesultananbanten.id/sample-page/|title=SEJARAH KESULTANAN BANTEN DARI MASA KE MASA|date=2016-12-06|newspaper=Website Resmi Kesultanan Banten|language=en-US|access-date=2017-04-14|archive-date=2017-02-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20170208040038/http://www.kesultananbanten.id/sample-page/|dead-url=yes}}</ref>
[[Maulana Muhammad dari Banten|Sultan Maulana Muhammad]] wafat pada awal tahun 1596 di [[Kota Palembang|Palembang]] ketika sedang melakukan ekspedisi militer terhadap [[Kesultanan Palembang]].<ref>{{Cite book|last=Hernadi|first=Edi|url=https://books.google.com/books?id=W0yqDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA198&dq=sultan+maulana+muhammad+palembang&hl=en|title=Sejarah Nasional Indonesia: Edisi Revisi 2013|publisher=Uwais Inspirasi Indonesia|isbn=978-623-227-121-0|language=id}}</ref> Kemudian pada tanggal [[23 Juni]] [[1596]], dikarenakan putranya Abul Mafakhir masih berusia lima bulan, maka untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya. Pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanegara meninggal, jabatannya digantikan oleh adiknya. Namun [[17 November]] [[1602]] ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Khawatir akan terjadi perpecahan dan iri hati, maka pemerintahan diputuskan untuk tidak dipegang oleh Mangkubumi, tetapi langsung oleh Ibunda Sultan, Nyimas Ratu Ayu Wanagiri yang menikah lagi dengan Pangeran Camara.<ref name="djajadiningrat">Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]]: Djambatan</ref> Pada [[8 Maret]] [[1608]] sampai [[26 Maret]] [[1609]] terjadi perang saudara di antara keluarga kerajaan dikarenakan pengaruh Pangeran Camara yang dianggap lebih menguntungkan para pedagang asing.<ref name="djajadiningrat2">Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]]: Djambatan</ref> Melalui usaha Pangeran [[Pangeran Jayakarta|Jayakarta]] akhirnya perang dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Banten kembali aman, lalu diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala sebagai mangkubumi baru sekaligus menjadi wali Sultan Muda. Untuk menertibkan kemananan negara, Ranamanggala menghukum para pangeran atau penggawa yang melakukan penyelewengan. Pada Januari 1624, Pangeran Arya Ranamanggala mundur dari jabatannya karena sakit. Saat itu Abul Mafakhir sudah cukup dewasa, sehingga ia pun dinobatkan sebagai raja dan kekuasaan atas Kesultanan Banten sepenuhnya dipegang olehnya. Dua tahun kemudian tepatnya 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia.<ref name=":1">{{Cite news|url=http://www.kesultananbanten.id/sample-page/|title=SEJARAH KESULTANAN BANTEN DARI MASA KE MASA|date=2016-12-06|newspaper=Website Resmi Kesultanan Banten|language=en-US|access-date=2017-04-14|archive-date=2017-02-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20170208040038/http://www.kesultananbanten.id/sample-page/|dead-url=yes}}</ref>


== Hubungan luar negeri ==
== Hubungan luar negeri ==


=== Konflik dengan VOC ===
=== Konflik dengan VOC ===
Di tahun 1598, Banten dikunjungi oleh [[Ekspedisi Kedua Belanda ke Hindia Timur|kapal-kapal rombongan ekspedisi Belanda]] yang dipimpin oleh [[Jacob Corneliszoon van Neck]].<ref name="Masselman">Masselman, George. 1963. The Cradle of Colonialism. [[New Haven, Connecticut|New Haven]]: Yale University Press</ref> Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh istana Kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni [[Cornelis de Houtman]] yang tercatat bermasalah dan merendahkan keluarga sultan di Banten.{{sfn|Winchester|2003|p=17}} Para pedagang Belanda lalu mulai berdatangan ke Banten untuk berdagang. Setelah [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]] berdiri di tahun 1602, purnawirawan AL Belanda [[Pieter Both]] lalu ditunjuk sebagai gubernur jenderal pertama untuk memudahkan kendali perdagangan Belanda di Nusantara.<ref>{{Cite book|last=Balk, G. L., dkk.|date=2007|url=https://sejarah-nusantara.anri.go.id/media/userdefined/pdf/BRILLVOCInventaris.pdf|title=Arsip-arsip Verenigde Oostindische Compagnie (VOC ) dan lembaga-lembaga pemerintahan kota Batavia (Jakarta)|location=Leiden dan Boston|publisher=Arsip Nasional Republik Indonesia dan Brill|isbn=978-90-04-16365-2|pages=88|translator-last=Robson-McKillop, R., Kasim, S. C., dan van den End, Th.|url-status=live}}</ref>

Keinginan [[VOC]] untuk melakukan monopoli perdagangan lada di Banten merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC, karena sultan Abulmufakhir menolak mentah-mentah kemauan [[VOC]] tersebut yang hendak memaksakan monopoli perdagangan. Dengan kokohnya kedudukan VOC di [[Batavia]] sejak 1619 setelah berganti nama dari [[Jayakarta]], konflik antara kedua belah pihak kian memuncak. VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari [[Maluku]] yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, [[Anyer]], dan [[Lampung]]. Bahkan [[Kota Kuno Banten|Kota Banten]] sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan November 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.<ref name=":1" />
Keinginan [[VOC]] untuk melakukan monopoli perdagangan lada di Banten merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC, karena sultan Abulmufakhir menolak mentah-mentah kemauan [[VOC]] tersebut yang hendak memaksakan monopoli perdagangan. Dengan kokohnya kedudukan VOC di [[Batavia]] sejak 1619 setelah berganti nama dari [[Jayakarta]], konflik antara kedua belah pihak kian memuncak. VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari [[Maluku]] yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, [[Anyer]], dan [[Lampung]]. Bahkan [[Kota Kuno Banten|Kota Banten]] sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan November 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.<ref name=":1" />



Revisi per 8 Oktober 2023 14.44

Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir
Upacara Khitanan Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir Menurut Karya Grafis Prancis abad ke-18
Sultan Banten Ke - 4
Masa jabatan
1624–1651
Informasi pribadi
LahirJanuari 1596
Meninggal10 Maret 1651
MakamPemakaman Kenari Banten, Kasemen
AgamaIslam
AnakAbu al-Ma'ali Ahmad (Putera Mahkota)
Orang tua
DinastiAzmatkhan
DenominasiSunni
Dikenal sebagaiSultan Banten
Pemimpin Muslim
PendahuluMaulana Hasanuddin
PenerusSultan Ageng Tirtayasa

Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau dikenal dengan Pangeran Ratu atau Sultan Agung adalah raja ke-4 Kesultanan Banten yang bertakhta dari tahun 1596 hingga 1651. Dia merupakan putra Sultan Maulana Muhammad[1] yang menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang menggunakan gelar "Sultan".[2][3] Sultan Abulmafakhir wafat pada 10 Maret 1651 dan dimakamkan di Pemakaman Kenari Banten.[4][5]

Kehidupan awal

Sultan Maulana Muhammad wafat pada awal tahun 1596 di Palembang ketika sedang melakukan ekspedisi militer terhadap Kesultanan Palembang.[6] Kemudian pada tanggal 23 Juni 1596, dikarenakan putranya Abul Mafakhir masih berusia lima bulan, maka untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya. Pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanegara meninggal, jabatannya digantikan oleh adiknya. Namun 17 November 1602 ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Khawatir akan terjadi perpecahan dan iri hati, maka pemerintahan diputuskan untuk tidak dipegang oleh Mangkubumi, tetapi langsung oleh Ibunda Sultan, Nyimas Ratu Ayu Wanagiri yang menikah lagi dengan Pangeran Camara.[7] Pada 8 Maret 1608 sampai 26 Maret 1609 terjadi perang saudara di antara keluarga kerajaan dikarenakan pengaruh Pangeran Camara yang dianggap lebih menguntungkan para pedagang asing.[8] Melalui usaha Pangeran Jayakarta akhirnya perang dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Banten kembali aman, lalu diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala sebagai mangkubumi baru sekaligus menjadi wali Sultan Muda. Untuk menertibkan kemananan negara, Ranamanggala menghukum para pangeran atau penggawa yang melakukan penyelewengan. Pada Januari 1624, Pangeran Arya Ranamanggala mundur dari jabatannya karena sakit. Saat itu Abul Mafakhir sudah cukup dewasa, sehingga ia pun dinobatkan sebagai raja dan kekuasaan atas Kesultanan Banten sepenuhnya dipegang olehnya. Dua tahun kemudian tepatnya 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia.[9]

Hubungan luar negeri

Konflik dengan VOC

Di tahun 1598, Banten dikunjungi oleh kapal-kapal rombongan ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck.[10] Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh istana Kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni Cornelis de Houtman yang tercatat bermasalah dan merendahkan keluarga sultan di Banten.[11] Para pedagang Belanda lalu mulai berdatangan ke Banten untuk berdagang. Setelah VOC berdiri di tahun 1602, purnawirawan AL Belanda Pieter Both lalu ditunjuk sebagai gubernur jenderal pertama untuk memudahkan kendali perdagangan Belanda di Nusantara.[12]

Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada di Banten merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC, karena sultan Abulmufakhir menolak mentah-mentah kemauan VOC tersebut yang hendak memaksakan monopoli perdagangan. Dengan kokohnya kedudukan VOC di Batavia sejak 1619 setelah berganti nama dari Jayakarta, konflik antara kedua belah pihak kian memuncak. VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, dan Lampung. Bahkan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan November 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.[9]

Konflik dengan Mataram

Di timur, Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung sejak 1613 menerapkan politik ekspansi yang bertujuan untuk menyatukan seluruh Jawa di bawah kepemimpinan Mataram.[13][14] Sultan Agung menganggap Banten harus menjadi bagian dari Mataram karena Banten dahulunya adalah bagian dari Kesultanan Demak yang mendahului Mataram.[15] Di tahun 1619, Kesultanan Cirebon tunduk sebagai vasal Mataram.[16] Setahun kemudian, Kerajaan Sumedang Larang di Parahyangan yang memiliki hubungan buruk dengan Banten menyatakan bergabung dengan Mataram.[17] Dengan bergabungnya Sumedang Larang dengan Mataram, wilayah Banten menjadi berbatasan langsung dengan Mataram. Setelah Mataram berhasil menaklukan Surabaya di tahun 1625, Sultan Agung mempersiapkan tentaranya untuk berekspansi ke arah barat.

Di tahun 1627, anak dari bupati wedana Parahyangan Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa menghadap Abulmafakhir dikarenakan kekecewaannya karena jabatan bupati wedana ayahnya tidak turun kepada dirinya namun pamannya yaitu Rangga Gede. Kartajiwa mengusulkan untuk memimpin tentara Banten menyerbu daerah Parahyangan, dimana apabila Parahyangan berhasil dikuasai olehnya, maka daerah tersebut akan menggabungkan diri sebagai bagian dari Banten.[18] Abulmafakhir menyanggupi usulan tersebut, dimana ia memberikan Kartajiwa pasukan untuk dipimpin olehnya. Dalam penyerbuan ini daerah-daerah perbatasan di Parahyangan sebelah barat berhasil diduduki oleh Banten, meskipun hanya bersifat sementara karena pasukan Mataram di bawah pimpinan Dipati Ukur berhasil mengusir pasukan Banten keluar dari daerah Parahyangan.[19]

Sultan Agung juga memiliki niatan untuk menaklukan Banten, namun sebelumnya ia menyerbu Batavia terlebih dahulu agar bisa mengusir VOC kemudian menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer sebelum menyerbu Banten secara langsung. Serbuan Mataram yang dilakukan tahun 1628 & 1629 ini gagal menaklukan Batavia.[20] Banten dan Mataram lalu terus bermusuhan hingga terjadi Pemberontakan Trunajaya yang terjadi di tahun 1674.[21]

Misi Diplomatik

Pada masa pemerintahannya, Abulmafakhir telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, di antaranya kepada Raja Inggris, James I tahun 1605[22] dan tahun 1629 kepada Charles I.[2][23] Selain itu, dia juga mengutus beberapa pembesar istana ke Mekkah pada tahun 1633. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.[9]

Pemberian Gelar Sultan

Pada tahun 1636 Syarif Mekah dengan otorisasi Kesultanan Utsmaniyah memberikan pengesahan gelar Sultan kepada Abulmafakhir beserta sang putra mahkota, Abu al-Ma'ali Ahmad, yang menjadikannya sebagai raja Islam di Nusantara yang pertama kali resmi menggunakan gelar Sultan.[butuh rujukan]

Rujukan

  1. ^ Kurniasih; Rahmawati, Nur (2023-02-09). Serang dalam Lintasan Sejarah. Penerbit NEM. ISBN 978-623-423-675-0. 
  2. ^ a b Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  3. ^ "4.1.1.1.1.1.1. Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir / Pangeran Ratu d. 1651 - Rodovid ID". id.rodovid.org. Diakses tanggal 2017-04-14. 
  4. ^ sorasoca. "Ziarah Situs Makam Kenari - Qubicle" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-15. Diakses tanggal 2017-04-14. 
  5. ^ Drs. H. Tri Hatmadji, (2005), Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, ISBN 979-99324-0-8.
  6. ^ Hernadi, Edi. Sejarah Nasional Indonesia: Edisi Revisi 2013. Uwais Inspirasi Indonesia. ISBN 978-623-227-121-0. 
  7. ^ Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan
  8. ^ Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan
  9. ^ a b c "SEJARAH KESULTANAN BANTEN DARI MASA KE MASA". Website Resmi Kesultanan Banten (dalam bahasa Inggris). 2016-12-06. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-08. Diakses tanggal 2017-04-14. 
  10. ^ Masselman, George. 1963. The Cradle of Colonialism. New Haven: Yale University Press
  11. ^ Winchester 2003, hlm. 17.
  12. ^ Balk, G. L., dkk. (2007). Arsip-arsip Verenigde Oostindische Compagnie (VOC ) dan lembaga-lembaga pemerintahan kota Batavia (Jakarta) (PDF). Diterjemahkan oleh Robson-McKillop, R., Kasim, S. C., dan van den End, Th. Leiden dan Boston: Arsip Nasional Republik Indonesia dan Brill. hlm. 88. ISBN 978-90-04-16365-2. 
  13. ^ Arizal, Masril. "Mataram Punya Ambisi Kuasai Jawa, tapi Selalu Gagal, karena Kerajaan di Jawa Barat Tak Pernah Bisa Dikalahkan". indramayu.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 2023-02-27. 
  14. ^ Yogyakarta, Taman Budaya. "Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekpansi Sultan Agung". Taman Budaya Yogyakarta | buku-perpustakaan (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-02-27. 
  15. ^ Sidiq, Ricu; Najuah, Najuah; Lukitoyo, Pristi Suhendro (2020-09-25). Sejarah Indonesia Periode Islam. Yayasan Kita Menulis. ISBN 978-623-6761-12-0. 
  16. ^ Pustaka rajya rajya i bhumi Nusantara. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. 
  17. ^ West Java Miracle Sight: A Mass of Verb and Scene Information. MPI Foundation. 2005. 
  18. ^ Lubis, Nina Herlina (2001). Konflik elite birokrasi: biografi politik Bupati R.A.A. Martanagara. Humaniora Utama Press. ISBN 978-979-9231-52-9. 
  19. ^ Lubis, Nina Herlina (1998). Kehidupan kaum ménak Priangan, 1800-1942. Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 
  20. ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-21). "Mengapa Serangan Sultan Agung ke Batavia Mengalami Kegagalan?". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-02-28. 
  21. ^ Kartodirdjo, Sartono (1987). Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari emporium sampai imperium. Gramedia. ISBN 978-979-403-129-2. 
  22. ^ Hits, Banten Hits | Tangerang. "Surat Raja Banten untuk Raja Inggris James I Tahun 1605 - Situs Berita Banten". www.bantenhits.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-14. Diakses tanggal 2017-04-14. 
  23. ^ duniakita. "Inilah dunia kita: Sejarah Islam di Inggris yang dilupakan ..." Inilah dunia kita (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-14. 

Pranala luar

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Sultan Maulana Muhammad
Sultan Banten
1596–1647
Diteruskan oleh:
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad