Lompat ke isi

Ahmad Sukendro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ahmad Sukendro

Ahmad Sukendro (16 November 1923 – 11 Mei 1984)[1] adalah seorang jenderal intelijen di Angkatan Darat Indonesia. Lahir di Banyumas, ia dikenal sebagai tangan kanan Jenderal AH Nasution. Sukendro pernah menjabat sebagai Kepala Intelijen Markas Besar Angkatan Darat. Karir militernya dimulai di zaman pendudukan Jepang, ia memilih mendaftar menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA). Pada masa Revolusi Nasional Indonesia, Sukendro bergabung dengan BKR (cikal bakal TNI) di Divisi Siliwangi.

Pada 1957, saat meletus pemberontakan PRRI dan Permesta, Sukendro atas perintah Nasution, menggelar operasi intelijen. Orang-orangnya masuk ke daerah dan berhasil meredam emosi para segelintir perwira yang tak puas dengan Presiden Soekarno. Di saat yang lain, ketika menjadi kepala intelijen, Sukendro terlibat skandal penyelundupan di Tanjung Priok.[2]

Antara tahun 1964 hingga 1966, Sukendro menjabat dua posisi menteri sekaligus, yakni Menteri Negara pada Presidium Kabinet Dwikora serta Menteri Transmigrasi dan Kooperasi Presidium Kabinet Dwikora.[1]

Dalam dokumen laporan CIA yang sudah dibuka ke publik, nama Sukendro dimasukkan dalam kelompok brain trust atau pemikir bersama-sama dengan Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, dan Mayjen S Parman. Tiga nama tersebut termasuk orang-orang yang diculik dan dibunuh kelompok G30S di Lubang Buaya. Sukendro selamat karena namanya dicoret atas alasan teknis, sebab pada saat itu, Sukendro sedang berada di Beijing, Tiongkok mewakili Pemerintah RI dalam rangka perayaan Hari Kelahiran Tiongkok.

Dalam dokumen yang bertajuk The President's Daily Brief yang disampaikan kepada Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, disebutkan bahwa Sukendro satu-satunya anggota Brain Trust yang selamat dari pembunuhan. Nama Sukendro ditulis sebanyak 76 kali. Ia berperan besar dalam melakukan lobi tersembunyi ke Amerika Serikat untuk kepentingan Angkatan Darat. Dalam beberapa kali ditulis, Sukendro meminta bantuan peralatan komunikasi.[2]

Pasca peristiwa G30S/PKI, terutama setelah lengsernya Presiden Sukarno, nama Sukendro perlahan meredup di bawah bayang-bayang Mayjen Soeharto yang naik takhta sebagai orang nomor satu di Indonesia. Sukendro kemudian hanya dikenal sebagai sosok penentang Soeharto. Lalu, pada 1967, dalam sebuah kursus perwira yang digelar di Bandung, Sukendro mengakui keberadaan Dewan Jenderal, yang didalamnya ada nama Presiden Soeharto.

Akibat itu, Sukendro harus menjalani masa hidupnya selama 9 bulan di dalam sel Rumah Tahanan Militer Nirbaya Cimahi. Ia dijebloskan ke penjara oleh orang suruhan Soeharto, yakni Pangkobkamtib Jenderal Soemitro tanpa proses pengadilan. Setelah masa tahanan selesai, Sukendro diselamatkan oleh Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Rustam. Ia diberi kepercayaan untuk menduduki posisi Direktur Perusahaan Daerah Jawa Tengah. Ia meninggal di Jakarta.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]