Asal mula Bulan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ketika Allah menciptakan malam di dalam rangka membuat udara menjadi dingin serta menyediakan suasana tentram bagi segenap manusia dan hewan, Dia tidak menjadikan malam sepenuhnya gelap gulita tanpa cahaya sama sekali. Suasana gelap gulita akan membuat sebagian pekerjaan menjadi sulit. Sekalipun sebagian besar pekerjaan manusia dilakukan di siang hari, ada sebagian orang, yang karena alasan udara atau lainnya, masih membutuhkan malam ketika harus melaksanakan aktifitas mereka.

Maka diciptakanlah malam-malam tertentu dengan cahaya rembulan. Hikmahnya, mungkin agar manusia membatasi aktifitas mereka di malam hari. Rembulan yang menerangi bumi tidak pada setiap malam menjaga agar ketenangan dan ketentraman malam senantiasa masih dapat terjaga, dan kita dapat memanfatkan suasana ini untuk beristirahat.

Bintang-bintang pun dijadikan Allah penerang alam semesta ketika bulan tiada. Taburan bintang sekaligus diciptakan sebagai penghias langit agar manusia menjadi senang dan merenungkan kebesaranNya. Demikian sempurna proses ini sehingga kegelapan datang bergiliran dan berlangsung selama beberapa waktu sesuai dengan kebutuhan manusia. Perhatikan bukti kebesaran dan kesempurnaan Allah ini seperti terfirman di dalam surat Al-Furqan ayat 61:

تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا

”Mahasuci Allah yang telah menjadikan di langit gugusan –gugusan bintang dan Dia menjadikan pula matahari dan bulan yang bercahaya.” Tengoklah betapa cermatnya Al-Qur’an menggunakan kata ’siraj’ untuk matahari dan kata ”muniir” untuk rembulan. Kata ”siraj” berarti cahaya dan penerang dari sumber asli cahaya berasal. Menurut penelitian, cahaya matahari berasal dari matahari sendiri. Sementara itu, cahaya rembulan tidak berasal dari rembulan melainkan ”pinjaman” dari sumber yang lain yakni matahari.

Ciptaan Allah di semesta alam ini memang tiada yang sia-sia. Semuanya diciptakan berdasarkan desain dan akurasi yang sempurna. Di dalam surat Yunus ayat 5 dan 6 Allah melukiskan betapa matahari dan rembulan diciptakan demikian sempurnanya dengan manzilah- manzilah agar manusia mengetahui perjalanan musim dan tahun.

Panas yang diciptakan Allah pada matahari terukur dengan presisi yang amat tinggi. Panas ini berubah dari pagi dan siang hari serta bermanifestasi seiring dengan pergantian musim. Panas matahari juga bervariasi di antara waktu fajar dan tengah hari tanpa melalui batas ekstrim yang telah ditentukanNya.

Coba sesaat kita bayangkan, apa yang akan terjadi apabila panas matahari melampaui batas yang telah ditetapkan. Seluruh isi bumi ini akan hangus terbakar olehnya. Sebaliknya, apabila panas ini berkurang dari ketentuanNya, pasti akan membekulah bumi dan semua yang ada di dalamnya. Kalau itu yang terjadi, tentu kehidupan ini akan berakhir sama sekali! Mungkin anda tidak pernah membayangkan bahwa sepotong roti yang saat ini dapat anda nikmati, atau seulas senyum yang dapat anda berikan kepada orang lain, tidak dapat dipisahkan dari keberadaan awan dan angin, dari rembulan dan matahari!

Adakalanya kita bertanya bagaimana mungkin ada ilmuan yang tidak meyakini keberadaan Allah setelah menyaksikan bukti-bukti ciptaanNya yang luar biasa? Mungkin jawabannya adalah, orang-orang seperti mereka memandang sain sebagai jawaban mutlak terhadap seluruh kejadian alam semesta. Di mata mereka, setiap fenomena alam dapat dijelaskan dengan bukti-bukti yang ditunjukkan alam itu sendiri.

Yang tidak pernah mereka ketahui adalah, sain sendiri tidaklah akan pernah memadai. Pendekatan kebenaran harus datang dari mereka yang punya intensi dan niat, yang berangkat dengan motif yang berasal dari hati yang tulus mencari kebenaran dan realita. Dosa-dosa dan polusi yang ditimbulkan oleh dosa pada orang-orang semacam mereka akan menyisakan pengaruh negatif terhadap analisis dan pengamatan seseorang

Hipotesis Lainnya

Berat Jenis[1]
Objek Berat jenis
Merkurius 5.4 g/cm3
Venus 5.2 g/cm3
Bumi 5.5 g/cm3
Bulan 3.3 g/cm3

Tangkapan

Hipotesis ini mengatakan bahwa Bulan merupakan objek yang ditangkap Bumi.[2] Hipotesis ini terkenal sampai tahun 1980, beberapa hal yang mendukung model ini meliputi ukuran Bulan, orbit, dan penguncian pasang surut.[2]

Satu masalah yang sulit dijelaskan adalah memahami mekanisme penangkapan.[2] Objek yang mendekati bumi biasanya akan mengakibatkan tubrukan atau berubahnya lintasan objek. Untuk membenarkan hipotesis ini, diperlukan atmosfer yang sangat luas di bumi primitif, yang mampu memperlambat gerakan Bulan sebelum Bulan tersebut bisa meninggalkan Bumi. Hipotesis ini juga bisa menjelaskan orbit satelit Yupiter dan Saturnus yang tidak teratur.[3] Namun hipotesis ini sulit menjelaskan kemiripan rasio isotop oksigen pada Bumi dan Bulan.[4]

Bumi dan bulan dengan skala 500 km per pixel

Pembelahan

Hipotesis ini mengatakan, pada masa dulu, Bumi yang berputar dengan sangat cepat melontarkan sebagian massanya.[2] Ide ini dikemukakan oleh George Darwin (anak dari ahli biologi yang terkenal Charles Darwin) pada tahun 1800-an dan cukup mendapat popularitas.[2] Seorang geologis Australia Otto Ampherer pada tahun 1925 juga berpendapat bahwa munculnya Bulan yang menyebapkan pergeseran benua.[5]

Ia mengatakan bahwa Samudra Pasifik merupakan merupakan hasil dari terlemparnya materi tersebut.[2] Namun saat ini kita mengetahui bahwa kerak lautan yang membentuk samudra ini masih berusia relatif muda, sekitar 200 juta tahun atau kurang, dimana Bulan berusia lebih tua karena tidak terdapat materi kerak lautan di Bulan, namun terdapat materi mantel yang tercipta di dalam proto-Bumi pada eon Prakambrium.[6]

Akresi

Hipotesis ini mengatakan bahwa Bumi dan Bulan terbentuk dalam waktu yang sama sebagai sistem ganda piringan akresi purba pada Tata Surya. Masalah pada hipotesis ini adalah, ketidak mampuannya menjelaskan momentum sudut dalam sistem Bumi-Bulan, atau mengapa bulan memiliki inti besi yang relatif kecil dibandingkan dengan Bumi (25% dari radiusnya, dibandingkan Bumi yang 50% dari radiusnya).

Ledakan Georeaktor

Hipotesis lain yang lebih radikal dipublikasikan pada tahun 2010, mengatakan bahwa Bulan kemungkinan tercipta dari ledakan georeaktor yang terletak di sepanjang batas inti mantel di bidang ekuator Bumi yang berputar dengan cepat. Hipotesis ini dapat menjelaskan kesamaan komposisi Bumi dengan Bulan.[7]

Teori dan Penelitian Lainnya

Pada tahun 2011, muncul teori yang mengatakan bahwa pada 4,5 miliar tahun yang lalu, terdapat Bulan kedua, yang kemudian bertabrakan, sebagai bagian dari proses akresi pada pembentukan Bulan.[8]

Referensi

  1. ^ The Formation of the Moon
  2. ^ a b c d e f Lunar Origin
  3. ^ Jewitt, David; Haghighipour, Nader (2007), "Irregular Satellites of the Planets: Products of Capture in the Early Solar System", Annual Review of Astronomy and Astrophysics, 45: 261–295, arXiv:astro-ph/0703059alt=Dapat diakses gratis, Bibcode:2007ARA&A..45..261J, doi:10.1146/annurev.astro.44.051905.092459 
  4. ^ Wiechert, U.; Halliday, A. N.; Lee, D.-C.; Snyder, G. A.; Taylor, L. A.; Rumble, D. (October 2001). "Science". Science. Science (journal). 294 (12): 345–348. Bibcode:2001Sci...294..345W. doi:10.1126/science.1063037. PMID 11598294. Diakses tanggal 2009-07-05. 
  5. ^ Die Naturwissenschaften, July 1925 (in German)
  6. ^ Zhang, Junjun (25 March 2012). "The proto-Earth as a significant source of lunar material". Nature Geoscience. 5: 251–255. Bibcode:2012NatGe...5..251Z. doi:10.1038/ngeo1429. 
  7. ^ Edwards, Lin (January 28, 2010), "The Moon may have formed in a nuclear explosion", PhysOrg.com, Omicron Technology Limited, diakses tanggal 2012-04-18 
  8. ^ doi:10.1038/nature10289