Banjir lumpur panas Sidoarjo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 Agustus 2006 07.07 oleh Wic2020 (bicara | kontrib) (baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, merupakan kasus menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Hingga bulan Agustus 2006, semburan lumpur terus terjadi dengan volume 140 m³/hari

Lokasi

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan di Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi tersebut merupakan permukiman, dan di sekitarnya adalah salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Dampak

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

  • Lumpur menggenangi desa-desa di Kecamatan Porong dan sekitarnya hingga setinggi 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa.
  • Pabrik-pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan karyawan.
  • Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
  • Dilakukannya sistem buka-tutup ruas jalan tol Surabaya-Gempol yang tergenang, menyebabkan kemacetan luar biasa di jalur non-tol, dan dialihkannya ke jalur alternatif via Gempol-Mojosari-Sidoarjo.
  • Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan

Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Upaya penanggulangan

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektar, dengan mengungsikan 12.000 warga. Jika dalam enam bulan tetap tidak tertangani, maka lumpur dialirkan ke laut (Selat Madura), dengan terlebih dahulu membangun sistem dewatering dan water treatment plant.

Upaya yang telah dilakukan untuk menghentikan luapan lumpur adalah dengan snubbing unit, namun langkah ini gagal karena mata bor tertinggal di sumur pengeboran. Skenario lain yang dilakukan adalah dengan snubbing unit namun menggunakan teknik sidetracking (pengeboran menyamping); serta dengan teknik relief wall (pengeboran miring).

Penahanan tersangka

Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 9 tersangka, termasuk General Manager dan 2 Manajer Pengeboran Lapindo Brantas, 5 tersangka dari kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusa, serta Vice President DSS PT Energy Mega Persada.

Kritisme

Pemerintah dianggap kurang serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, dimana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Sementara, Pemerintah tetap menuntut seluruh resiko dan kerugian akibat banjir lumpur ini ditanggung sepenuhnya oleh Lapindo Brantas. Aktivis lingkungan hidup juga mengecam penanganan kasus banjir lumpur ini.

Lihat pula