Cengkih di Indonesia
Cengkih di Indonesia ada yang diperoleh dari hasil penanaman sendiri dan ada pula yang hasil impor.
Produksi
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 2019, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian memperkirakan Indonesia memproduksi sekitar 134.792 ton cengkih. Selain itu, diperkirakan terdapat 1.002.774 petani cengkih di seluruh Indonesia dengan rata-rata produktivitas sebesar 410 kilogram per hektar.[1]
Provinsi | Produksi (Ton) | Produktivitas (Kg/Ha) | Jumlah Petani (KK) |
---|---|---|---|
Sulawesi Selatan | 20.363 | 568 | 72.272 |
Maluku | 20.006 | 619 | 72.785 |
Sulawesi Tengah | 17.994 | 372 | 63.894 |
Sulawesi Tenggara | 14.700 | 687 | 25.120 |
Jawa Timur | 11.461 | 434 | 177.598 |
Jawa Barat | 8.472 | 436 | 130.761 |
Jawa Tengah | 6.607 | 290 | 201.984 |
Sulawesi Utara | 5.554 | 128 | 73.302 |
Aceh | 5.404 | 588 | 24.124 |
Maluku Utara | 4.225 | 370 | 19.484 |
Catatan:
Jumlah produksi termasuk perkebunan rakyat, negara, dan besar swasta
Perdagangan
[sunting | sunting sumber]Impor
[sunting | sunting sumber]Indonesia mengimpor cengkih dari Zanzibar sampai dengan 1987 untuk digunakan sebagai bumbu pembuatan rokok kretek.[2] Pada 1968, impor cengkeh diberikan kepada PT Mercu Buana (milik Probosutejo, adik Presiden Soeharto) dan PT Mega (milik Liem Sioe Liong).[2] Kedua perusahaan itu memiliki hubungan yang erat dengan Keluarga Cendana.[3]
Pada 1991, pemerintah mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) dengan Tommy Soeharto sebagai ketuanya. Pendirian BPPC ini disebabkan Presiden Soeharto menganggap cengkih sebagai komoditas penting dan butuh diregulasi oleh negara.[2] Kebijakan BPPC membuat banyak petani cengkih dan produsen rokok kretek marah karena BPPC sebagai satu-satunya pihak yang dapat membeli cengkih dari petani dengan harga semurah-murahnya, lalu menjualnya ke pabrik rokok semahal-mahalnya.[3] Akhirnya banyak petani yang menebang atau membakar pohon cengkih mereka. Pada Mei 1998 sebagai bagian reformasi yang dimandatkan oleh IMF untuk mengakhiri monopoli, Presiden Soeharto setuju membubarkan BPPC.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Cengkeh Tahun 2018-2020. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. 2019.
- ^ a b c d Cribb, R. B. (2004). Historical dictionary of Indonesia. Audrey Kahin (edisi ke-2nd ed). Lanham, Md.: Scarecrow Press. ISBN 0-8108-4935-6. OCLC 53793487.
- ^ a b "Keculasan Orde Baru Membuat Harga Cengkeh Hancur". Tirto.id. Diakses tanggal 2021-04-09.