Hikayat Maharaja Ali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Di dalam kelompok 'hikayat petualangan ajaib' yang sama sekali bernada islam, termasuk antara lain Hikayat Maharaja Ali. Karangan yang hampir kehilangan unsur sintesis Hindu-Muslim ini, menggabungkan ciri-ciri khas baik hikayat yang strukturnya bersifat linear atau 'hikayat berbingkai'.[1]

Kira- kira sepuluh naskah hikayat ini, yang paling tua berakhir 1808, dapat digolongkan menjadi dua atau tiga resensi yang agak berbeda-beda. Hikayat Maharaja Ali tidak disebut-sebut dalam daftar-daftar karya Melayu tertua, yang disusun dalam akhir abad ke-17 sampai pertengahan abad ke 18.[1]

Hikayat Maharaja Ali dikarang dalam zaman setelah pengislaman sastra Melayu berlangsung secara mendalam. Apalagi mengigat bahwa, di dalam Hikayat Maharaha Ali ini juga digunakan salah satu kisah yang berasal dari Bustan as-Salatin (pertengahan abad ke -17).[1]

Deskripsi Naskah

Salah satu naskah Maharaja Ali tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Manuskrip tradisi Melayu aksara Jawi bahasa Melayu dengan ketebalan 95 hlm. Pada isi naskah kertas berukuran seluas 32,5 x 20 cm. Ukuran Sampul seluas kertas untuk naskah sedangkan ukuran blok teks 23 x 12,5 cm. Mengenai baris per halaman yaitu yaitu berjumlah 19. Judul dalam teks: Hikayat Raja Sultan Syam, judul luar teks: Cetra Sultan Syam. hlm. yg ditulis 90 + (i, ii) hlm. kosong: iii, iv, v. Naskah masih baik, tulisan jelas terbaca, menggunakan tinta berwarna hitam dan merah. van Ronkel 1909, halaman 221. Naskah ini menceritakan tentang Maharaja Ali yang pergi meninggalkan tahta kerajaannya, karena diusir oleh musuh. Kemudian ia pergi mengembara dan mati terbunuh oleh buaya sewaktu menyeberangi sungai. Tengkoraknya yang melayang-layang itu bertemu dengan nabi Isa lalu dihidupkan kembali. Judulnya hikayat Sultan Syam yang bergelar raja Ali Badisyah. Kerajaannya disebut Siyam, tetapi kadang-kadang Syam. Anak-anaknya sama sekali tidak disebutkan, dan masih ada lagi kelainan-kelainannya.[2]

Awalan teks

"Wabihi nasta'in billahi 'alaIni hikayat Sultan Raja Syam bernama Maharaja Badisyah yang indah cetranya yaitu beramai dipanat dengan adap. Alkisah maka tersebutlah perkataannya raja itu iyalah yang dihalaukan oleh rakyatnya di dalam negerinya. AKHIR TEKS: Sebermula adapun pada zaman itu tiadalah ada seorang raja-raja berdengkiakan raja Sultan Syam daripada adilnya pada membicarakan hukum berhukum dan daripada murahnya memberi sedekah kepada sekalian fakir dan miskin, dan orang kaya-kaya dan daripada segala ibadatnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dan tiadalah raja-raja dapat mengikut akan kelakuan Raja Sultan Syam yang amat adilnya itu. wallahu a'lam bi sh-shawab. Tamat al kitab amin kepada bulan Rabiul Akhir dan kepada Sabtu telah habis yaitu kepada jam pukul sepuluh dewasa itulah, amin."

Ringkasan Cerita

Bragensky memberikan ringkasan dari teks Maharaja ali yang mana merupakan resensi yang dia dapat dari Ali Padisyah. [1] Maharaja Ali memerintah di negeri Badagra. Karena tidak mempunyai anak, ia bertanya pada ahli-ahli nujum, apakah suatu ketika kelak dia akan dianugerahi mempunyai anak oleh Allah. ahli nujum meramalkan, ia akan dianugerahi tiga anak lelaki, tetapi kelaksi anak sulung akan menjadi penyebab bencana yang besar. Maharaja Ali dan permaisuri, Hasinan, sangat mencintai anak-anak mereka. Mereka pun tidak peduli dengan watak anak sulung, Baharum Syah, yang merajelela, membunuh dan mencacati anak-anak pembesar istana serta mengambil istri orang lain dengan kekerasan. Rakyat negeri Badagra yang sudah tidak tahan lagi terhadap sikap Maharaja Ali, mengusir raja itu sekeluarga dari negerinya. Selama di tengah hutan Maharaja Ali diserang para perampok yang merampas segenap hartanya. Sementara itu Baharum Syah hilang tersesat di tengah rimba. Maharaja Ali meneruskan perjalanan berempat, permaisuri, dan dua anaknya. Mereka tiba mereka di suatu negeri yang bernama Kabitan. Raja negeri ini bernama Serdala.

Dengan berkedok sebagai fakir miskin Maharaja Ali berempat tinggal di sebuah masjid. Hasinan dengan dua anaknya pergi meminta-minta sedekah. Kecantikannya dilihat oleh seorang wazir dan memberitahukannya pada Raja Serdala. Tipu muslihat mereka memancing Hasinan masuk istanan dan menutup pintu gerbang. Bukan main sakit hati Maharaja Ali yang harus meneruskan perjalanan mereka dengan bertiga orang saja.

Suatu hari sampailah mereka di tepi sungai yang lebar. Maharaja Ali mencoba menyeberang ke tepinya yang lain. tetapi disambar dan dimakan buaya. Kedua anak lelakinya lalu diambil sebagai anak angkat oleh seorang penambang.

Sementara itu Raja Serdala mencoba membujuk Hasinan supaya mau menjadi istrinya. Untuk mengulur-ulur waktu, Hasinan mengisahkan kepada Raja Serdala sebuah cerita tentang anak raja yang mengalamai banyak penderitaan. Melalui cerita itu Hasinan hendak meyakinkan Raja Serdala, bahwa dengan takdir Allah hak milik seseorang selalu akan pulang kepada empunya dan mengisyaratkan

  1. ^ a b c d Braginsky, V.I. (1998). Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam ABad 7-19. Jakarta: INIS. ISBN 9798116577. 
  2. ^ "Hikayat Maharaja Ali. | OPAC Perpustakaan Nasional RI". opac.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2022-05-26.