KH. Ahmad Zaini

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 Desember 2023 06.41 oleh Ilham Mufti Laksono (bicara | kontrib) (Memperbaiki artikel)
Infobox orangKH. Ahmad Zaini
Biografi
Kelahiran11 November 1889
Kematian17 April 1966 (76 tahun)
Tempat pemakamanMakam Wali Lima Galat: Kedua parameter tahun harus terisi!
Data pribadi
AgamaIslam
Kegiatan
Pekerjaanulama, pegawai negeri sipil

K.H. Ahmad Zaini dengan nama lengkap Ahmad Zaini bin Abdurrahman bin Haji Zainuddin bin Abdus Shomad bin Abdullah Al-Banjari adalah seorang mufti di daerah Banjar pada zaman pemerintahan Belanda. Ia dilahirkan di Tunggul Irang pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1307 H. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia menjabat sebagai Kepala Bagian pada Kantor Departemen Agama, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.[1]

Beliau meninggal dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga di Tunggulirang berdekatan dengan ayah dan anak-anaknya, yang dikenal Kubah Tunggulirang. KH. Ahmad Zaini berpulang ke rahmatullah pada Jum’at malam, atau malam Sabtu tanggal 25 Dzulhijjah tahun 1385 H.[2]

Makam Wali Lima

Ayah beliau bernama KH. Abdurrahman. Oleh karena orang tua atau ayah KH. Ahmad Zaini sendiri adalah seorang ulama besar yang luas ilmunya dan berpengaruh di kalangan masyarakat, maka hal ini merupakan anugerah Allah tersendiri yang diberikan kepada KH. Ahmad Zaini. Dalam hal ini terutama sekali ketika belajar ilmu pengetahuan agama Islam, di mana tidak usah mencari guru lain lagi; sebab di rumah sendiri sudah tersedia.

Karena itulah KH. Ahmad Zaini belajar ilmu agama Islam langsung dengan ayah beliau sendiri, yakni KH. Abdurrahman. Dalam menimba ilmu agama, meski dengan ayah sendiri, KH. Ahmad Zaini tetap berlaku hormat, sopan santun dan selalu tawaddhu. Di samping itu, dalam belajar KH. Ahmad Zaini memang mewarisi beberapa sifat dan kepribadian terpuji dari ayah sendiri, seperti ulet, gigih, tekun, rajin dan penuh semangat dalam belajar. Inilah antara lain yang menjadikannya sebagai seorang cerdas dan mudah mengerti terhadap pelajaran yang diberikan, sehingga dalam waktu yang tidak lama mampu menguasai beberapa cabang ilmu pengetahuan agama tersebut.[2]

KH. Ahmad Zaini memang tidak sedikit mewarisi sifat-sifat, sikap maupun perilaku orang tua beliau sendiri, KH. Abdurrahman. Ini bisa diketahui lantaran kehidupan mereka sebagai sebuah keluarga memang sangat akrab, harmonis dan sarat dengan muatan ajaran agama. Oleh karenanya tidak heran apabila proses keteladanan dari ayah kepada anaknya, telah terjadi sedemikian rupa. Sang ayah mampu mewariskan sepak terjang terpuji dan mulia, lalu dengan sendirinya mudah diaktualisasikan kembali oleh anak-anaknya.[2]

Kehidupan Pribadi

Selama berumah tangga dengan isteri tercinta, Hj. Sanah beliau dikaruniai lima orang anak yang saleh dan salehah. Dari lima anak itu, dua orang di antaranya perempuan dan tiga orang laki-laki, anak-anak beliau inipun di kemudian hari dikenal sebagai ulama terkemuka di kabupaten Banjar dan sekitarnya, yaitu sebagai berikut: Hj. Arfah, Hj. Mulia, KH. Husin Qadri, KH. Badaruddin, dan K.H. Muhammad Rosyad.[2]

Aktivitas

Aktivitas KH. Ahmad Zaini sebagai seorang ulama cukup padat, baik mengisi pengajian di majlis-majlis ta’lim, menjadi tokoh agama sekaligus pemuka masyarakat, dan tidak terkecuali pula sebagai kepala keluarga di dalam kehidupan berumah tangga. Namun semua itu tetap dilaksanakan dengan baik, masing-masing diposisikan sebagaimana mestinya. Dengan sangat hati-hati dan perhitungan yang matang, beliau mampu membagi waktu dengan baik, sehingga tiap hari aktivitas beliau berjalan dengan lancar.[2]

Sesibuk apapun kegiatan yang dilaksanakan, dan sebanyak apapun frekuensi tugas yang mesti dikerjakan; bukanlah suatu persoalan lagi. Ia justru menjadi tantangan yang harus dijawab oleh KH. Ahmad Zaini, dan bukannya sesuatu yang mesti dijauhi.[2]

Diangkat Jadi Mufti

KH. Ahmad Zaini diangkat sebagai mufti selama beberapa tahun dan itu terjadi pada dua zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda dan zaman kemerdekaan. Jabatan mufti pada masa itu tidak mudah begitu saja diserahkan pihak penguasa kepada seseorang, sebab jabatan ini punya posisi sangat strategis; baik bagi masyarakat maupun pemerintah sendiri. Di antara pertimbangan mendasar untuk bisa menempati kursi jabatan mufti ini adalah luas atau banyaknya kepemilikan ilmu pengetahuan agama Islam. Kemudian tidak kalah pentingnya pula faktor kepemimpinan, kredibilitas serta wibawa yang bersangkutan di tengah-tengah masyarakat.[2]

Setelah menjabat sebagai mufti pada zaman kemerdekaan dan sesuai dengan perkembangan tatalaksana pemerintahan negara merdeka, pembenahan pun terus dilakukan. Di antaranya termasuk penataan urusan agama oleh Departemen Agama. Sehubungan dengan ini KH. Ahmad Zaini pun pernah menjabat sebagai salah seorang pimpinan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar, dengan jabatan Kepala Bagian.[2]

Referensi

  1. ^ Safwan, Abu Nazwa (2007). 100 Tokoh Kalimantan. Kandangan: Penerbit Sahabat. hlm. 154. 
  2. ^ a b c d e f g h "Ulama Banjar (11): KH. Ahmad Zaini". Alif.ID. 2020-11-25. Diakses tanggal 2023-11-21.