Kekristenan di Myanmar: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
PT67Tunggul (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
PT67Tunggul (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4: Baris 4:


==Pekabaran Injil oleh Para Misionaris==
==Pekabaran Injil oleh Para Misionaris==
Pekabaran Injil oleh misionaris pertama kali dilakukan pada tahun 1554. Pekabaran Injil pada saat itu dilakukan oleh seorang [[pastor]] [[Fransiskan]] dari [[Prancis]] dan dua orang rahib [[Dominikan]] yang tiba di Burma untuk melayani para pedagang dan tentara yang berada di sana.<ref name="Hackett"> William D. Hackett. Burma dalam Donald E. Hoke. 1975. The Church in Asia. Chicago: Moody Press. hlm. 123.</ref> Kegiatan misi yang dilakukan oleh pastor dan dua orang rahib tersebut tidak diterima dengan baik oleh orang-orang Portugis. Pada akhirnya, pastor dan rahib tersebut meninggalkan Burma setelah tiga tahun melakukan pelayanan di sana.<ref name="Khai"/>
Pekabaran Injil oleh misionaris pertama kali dilakukan pada tahun 1554. Pekabaran Injil pada saat itu dilakukan oleh seorang [[pastor]] [[Fransiskan]] dari [[Prancis]] dan dua orang rahib [[Dominikan]] yang tiba di [[Burma]] untuk melayani para pedagang dan tentara yang berada di sana.<ref name="Hackett"> William D. Hackett. Burma dalam Donald E. Hoke. 1975. The Church in Asia. Chicago: Moody Press. hlm. 123.</ref> Kegiatan misi yang dilakukan oleh pastor dan dua orang rahib tersebut tidak diterima dengan baik oleh orang-orang Portugis. Pada akhirnya, pastor dan rahib tersebut meninggalkan Burma setelah tiga tahun melakukan pelayanan di sana.<ref name="Khai"/>


Pada tahun 1602, Raja Minyazagyi dari Bago mengizinkan Felipe de Brito Necote, seorang penjelajah dan pemimpin pasukan Portugis, untuk mendirikan benteng di [[Syriam]]. Sekalipun kekuasaan de Brito semakin bertumbuh, pada tahun 1613 ia dijatuhi hukuman mati oleh Raja Annaukpetlun dari [[Ava]] karena telah menghancurkan [[pagoda]] dan memaksa para penganut agama [[Budha]] untuk menganut agama [[Kristen]].<ref name="Khai"/> Khai mencatat bahwa Raja Annaukpetlun kemudian membawa 400 tentara Portugis yang menjadi tawanan tersebut untuk membangun istana. Mereka semua tinggal di desa-desa di antara [[Chindwin]] dan [[sungai Mu]] dan menikahi perempuan-perempuan pribumi sehingga dihasilkanlah ras campuran Portugis-Burma yang disebut [[Bayingyi]] atau [[Feringyi]]. Raja Annaukpetlun memberikan lahan-lahan pertanian untuk diolah dan mengizinkan dua orang pastor [[Yesuit]] untuk melayani di komunitas Bayingyi tersebut.<ref name="Hackett"/>
Pada tahun 1602, Raja Minyazagyi dari Bago mengizinkan Felipe de Brito Necote, seorang penjelajah dan pemimpin pasukan Portugis, untuk mendirikan benteng di [[Syriam]]. Sekalipun kekuasaan de Brito semakin bertumbuh, pada tahun 1613 ia dijatuhi hukuman mati oleh Raja Annaukpetlun dari [[Ava]] karena telah menghancurkan [[pagoda]] dan memaksa para penganut agama [[Budha]] untuk menganut agama [[Kristen]].<ref name="Khai"/> Khai mencatat bahwa Raja Annaukpetlun kemudian membawa 400 tentara Portugis yang menjadi tawanan tersebut untuk membangun istana. Mereka semua tinggal di desa-desa di antara [[Chindwin]] dan [[sungai Mu]] dan menikahi perempuan-perempuan pribumi sehingga dihasilkanlah ras campuran Portugis-Burma yang disebut [[Bayingyi]] atau [[Feringyi]]. Raja Annaukpetlun memberikan lahan-lahan pertanian untuk diolah dan mengizinkan dua orang pastor [[Yesuit]] untuk melayani di komunitas Bayingyi tersebut.<ref name="Hackett"/>

Revisi per 16 April 2011 17.33

Kekristenan di Burma pertama kali dibawa oleh para tentara, pedagang, dan beberapa penjelajah di abad XVI.[1] Chin Khua Khai di dalam bukunya yang berjudul The Cross Among Pagodas: A History of the Assemblies of God in Myanmar mencatat bahwa pada tahun 1511, di bawah pimpinan Albuquerque, Portugis berhasil menduduki Malaka dan mengirimkan beberapa utusan untuk melakukan investigasi ke Moktama dan Pegu.[1] Khai melanjutkan bahwa seorang pedagang Portugis bernama Antonio Correa menandatangani perjanjian dagang dengan pemimpin Moktama pada tahun 1519.[1] Sejak tahun 1540, sebanyak 700 pedagang dan tentara Portugis berdatangan ke Burma dan banyak di antara mereka yang beragama Katolik.[1]

Pekabaran Injil oleh Para Misionaris

Pekabaran Injil oleh misionaris pertama kali dilakukan pada tahun 1554. Pekabaran Injil pada saat itu dilakukan oleh seorang pastor Fransiskan dari Prancis dan dua orang rahib Dominikan yang tiba di Burma untuk melayani para pedagang dan tentara yang berada di sana.[2] Kegiatan misi yang dilakukan oleh pastor dan dua orang rahib tersebut tidak diterima dengan baik oleh orang-orang Portugis. Pada akhirnya, pastor dan rahib tersebut meninggalkan Burma setelah tiga tahun melakukan pelayanan di sana.[1]

Pada tahun 1602, Raja Minyazagyi dari Bago mengizinkan Felipe de Brito Necote, seorang penjelajah dan pemimpin pasukan Portugis, untuk mendirikan benteng di Syriam. Sekalipun kekuasaan de Brito semakin bertumbuh, pada tahun 1613 ia dijatuhi hukuman mati oleh Raja Annaukpetlun dari Ava karena telah menghancurkan pagoda dan memaksa para penganut agama Budha untuk menganut agama Kristen.[1] Khai mencatat bahwa Raja Annaukpetlun kemudian membawa 400 tentara Portugis yang menjadi tawanan tersebut untuk membangun istana. Mereka semua tinggal di desa-desa di antara Chindwin dan sungai Mu dan menikahi perempuan-perempuan pribumi sehingga dihasilkanlah ras campuran Portugis-Burma yang disebut Bayingyi atau Feringyi. Raja Annaukpetlun memberikan lahan-lahan pertanian untuk diolah dan mengizinkan dua orang pastor Yesuit untuk melayani di komunitas Bayingyi tersebut.[2]

Pada tahun 1630, Sebastian Manrique, seorang rahib dari ordo Agustinian datang ke Mrohang (ibu kota Rakhaing) dan menghabiskan waktu lima tahun di sana.[1] Selama lima tahun tersebut tidak ada hasil dari karya pelayanannya di sana. Pada tahun 1687, dua orang imam dari Society de Mission Etrengeres di Paris datang ke Pegu tetapi pada tahun 1693 mereka ditangkap dan dilemparkan ke sungai Hlaing.[3]

Khai menyebutkan bahwa pada tahun 1721 dikirimlah Romo Sigismond de Calchi dan Romo Vittoni ke Syriam. Raja Taninganwe dari Ava memberikan mereka izin untuk memberitakan Injil secara bebas dan mendirikan kapel di ibu kota Ava. [1] Selain kapel, sebuah gereja juga didirikan di Pegu dan misionaris yang berdatangan pun semakin banyak jumlahnya. Pada tahun 1741, Paus Benediktus XIV mengangkat Romo Gallizia menjadi uskup pertama di Yangon, Burma.

Selama kurang lebih empat puluh tahun ke depan kegiatan misi yang dilakukan oleh Katolik Roma selalu mendapat penolakan keras dari para penganut Budha. Ketakutan dan ketidakpercayaan masyarakat Burma terhadap orang asing menjadi hal yang sangat lazim pada saat itu. Para misionaris dianggap telah mengancam para penganut agama Budha melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para misionaris tersebut kepada raja-raja di wilayah Burma.[2]

Romo Gallizia dan dua imam Barnabit tewas pada tahun 1746.[3] Romo Angelo dan beberapa imam dihukum mati ketika terjadi pemberontakan rahib Budhis (Khai 2003, 38). Selain itu, Romo Paolo Nerini dari Syriam dihukum mati pada tahun 1756.[2] Walaupun kondisi tersebut terus terjadi, banyak imam Katolik yang tetap datang ke Yangon untuk melakukan misi di sana. Sebuah gereja dan sebuah perguruan tinggi didirikan di Monla pada tahun 1770 dan di kemudian hari keduanya dipindahkan ke Yangon.

Pada tahun 1800 sudah terdapat dua gereja Katolik Roma dan tercatat bahwa jumlah penganut Katolik di Burma adalah sebesar 3000 jiwa. Kedua gereja tersebut dihancurkan ketika terjadi perang Anglo-Burma pertama pada tahun 1824. Dari peristiwa tersebut tercatat bahwa hanya satu orang imam pribumi dan satu orang imam Portugis yang selamat.[1] Pada tahun 1854, Society de Mission Etrengeres dari Paris mengambil alih tugas misi yang sebelumnya dipegang oleh misionaris Barnabit. Sebanyak 37 misionaris diutus untuk bertugas di wilayah Burma selama kurun waktu 1800-1856. Pada tahun 1862, terdapat satu perguruan tinggi, satu uskup, satu imam pribumi dan kurang lebih 6.000 anggota diangkat untuk melakukan misi.

Pada tahun 1892, terdapat dua vikariat apostilik di Yangon dan Mandalay. Vikariat apostolik tersebut terdiri dari 60 misionaris, 12 imam pribumi, 64 katekisan, 65 suster, 28 pekerja awam, dan 26.500 anggota dengan satu uskup yang bernama Paul Bigondet.[1] Sebagian besar dari anggota vikariat apostolik, katekisan dan imam pribumi tersebut berasal dari suku Kayin. Di Mandalay juga terdapat satu seminari yang sekaligus menjadi percetakan dan di Yangon terdapat 48 sekolah.

Pada tahun 1912 diperkirakan terdapat 14.316 anggota gereja Katolik di wilayah keuskupan timur, 58.423 di wilayah keuskupan selatan dan 9.800 di wilayah keuskupan utara.[3] Pergolakan politik besar-besaran juga terjadi pada masa ini, akibatnya pada tahun 1966 para misionaris asing dipulangkan dan gereja terisolasi dari pengaruh asing sampai tahun 1975.[3] Isolasi tersebut memaksa gereja-gereja di Burma untuk mencapai kemandirian dengan mengandalkan tenaga pribumi. Pada tahun 1989 Burma berganti nama menjadi Myanmar dan pada tahun 1990 tercatat sebanyak 6,5% penduduk Myanmar beragama Kristen yang terdiri dari 828.159 orang Protestan (sebagian besar Baptis) dan 298.000 anggota gereja Katolik Roma.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) Chin Khua Khai. 2003. The Cross Among Pagodas: A History of the Assemblies of God in Myanmar. Philippines: APTS Press. Hlm. 36.
  2. ^ a b c d William D. Hackett. Burma dalam Donald E. Hoke. 1975. The Church in Asia. Chicago: Moody Press. hlm. 123.
  3. ^ a b c d e Anne Ruck. 1997. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 198.