Kerajaan Wengker

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 13 Agustus 2020 15.36 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (menambah teks dan referensi)
Silsilah wangsa Rajasa. Raja di Kerajaan Wengker diberi gelar Bhre Wengker.

Kerajaan Wengker adalah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Ponorogo. Wilayah kekuasaannya berada di bagian barat Gunung Wilis hingga bagian timur Gunung Lawu. Kerajaan ini dihuni oleh Suku Jawa etnik Panaragan.[1]

Nama

Nama Kerajaan Wengker berasal dari keratabasa ”wewengkon kang angker” yang berarti wilayah yang menakutkan. Penamaan ini didasari oleh banyaknya bandit di wilayah kekuasaan Kerajaan Wengker, terutama di antara Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Selain itu, penguasa Kerajaan Wengker sering memberontak kepada Kerajaan Kadiri pada masa pemerintahan Airlangga.[2]

Wilayah Kekuasaan

Wilayah Kerajaan Wengker mencakup Kecamatan Jetis dan Kecamatan Sambit di Kabupaten Ponorogo.[3] Kerajaan Wengker merupakan kerajaan dengan wilayah yang berada di antara pegunungan. Wiayahnya terbagi-bagi antara Gunung Wilis di batas timur, Gunung lawu di batas barat, dan pegunungan Seribu di batas selatan. Topopgrafi ini membuat Kerajaan Wengker sulit dijangkau dari daerah luar dan pemukiman yang terpusat menjadi sulit terbentuk.[4]

Kerajaan Wengker menjadi salah satu bawahan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini menjadi salah satu bagian penting dalam lingkungan politik Kerajaan Majapahit, sehingga diberi kekuasaan secara mandiri.[5]

Keagamaan

Kerajaan Wengker merupakan kerajaan yang sebagian penduduknya beragama Hindu. Penduduknya sering melakukan ritual mistik dan memberikan sesajen pada penguasa tempat-tempat yang dikeramatkan.[6]

Kesenian

Kesenian Reog merupakan salah satu hasil perkembangan budaya dari Kerajaan Wengker.[7] Reog digunakan dalam latihan perang yang diiringi dengan gamelan.[8] Salah satu cerita tentang Warok berasal dari kisah pertentangan Kerajaan Wengker dan Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu menjadi pemimpin bagi Kerajaan Wengker, sedangkan Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Bhre Kertabumi, Prabu Brawijaya V.[9]

Kebudayaan

Warok

Warok adalah gelar yang digunakan oleh raja Kerajaan Wengker yang bernama Prabu Jaka Bagus (Sri gasakan). Gelar ini mulai digunakan pada tahun 941 Masehi. Selanjutnya gelar ini berubah makna menjadi gelar kehormatan bagi orag yang menguasai ilmu kanuragan.[10] Para Warok kemudian bertugas menjadi pelindung di wilayah-wilayah Kerajaan Wengker.[11]

Gemblak

Gemblak merupakan tradisi bagi para pemlik gelar Warok. Tradisi ini berupa menunda pernikahan atau tidak menjalin hubungan dengan wanita sama sekali. Gemblak merupakan salah satu paham dari limu kanuragan.[12]

Peninggalan Arkeologi

Candi Surawana

Candi Surawana dibangun pada abad ke-14 Masehi. Candi ini terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Tujuan pembangunannya adalah untuk memuliakan raja Kerajaan Wengker yang bernama Bhre Wengker. Ia wafat pada tahun 1388 Masehi.[13]

Prasasti Pucangan

Prasasti Pucangan menceritakan tentang keadaan Kerajaan Wengker sebelum masa kekuasaan Airlangga. Prasasti ini ditulis pada tahun 963 Saka atau November 1041 Masehi. Prasasti ini dibagi menjadi dua bagian. Sebagian menggunakan bahasa Sansekerta, sedangkan sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa Kuno. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno membahas tentang kerja sama antara Kerajaan Wengker, Kerajaan Sriwijaya, dan Kerajaan Lwaran dalam mengakhiri kekuasaan Dharmawangsa Teguh.[14]

Prasasti Mruwak

Prasasti Mruwak ditemukan di desa Mruwak. Prasasti ini berangka tahun 1108 Saka (1186 Masehi). Isi prasasti berupa keterangan tentang asal-usul keluarga dari raja Kerajaan Wengker. Dalam prasati disebutkan bahwa Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, merupakan keturunan keluarga raja Kerajaan Kadiri. Pembuatan prasasti dimaksudkan untuk memperingati masa pemerintahannya yang berlangsung sejak tahun 1186 hingga 1204 Masehi.[15]

Referensi

  1. ^ Sugianto (2016), hlm. 45."Etnik Jawa Panaragan wilayahnya meliputi barat gunung wilis dan sebelah timur gunung lawu. Luas wilayah tersebut, dahulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Wengker."
  2. ^ Nurdianto (2018), hlm. 3."Wengker adalah kerata basa ”wewengkon kang angker”, yaitu suatu wilayah yang menakutkan. (...). Sebutan ”wewengkon kang angker” mengisyaratkan bahwa Wengker bukanlah tempat yang ramah bagi masyarakat yang baru mengenalnya. Hal ini sesuai dengan cerita rakyat yang berkembang di wilayah Ponorogo, bahwa pada masa lalu wilayah di antara Gunung Wilis dan Lawu merupakan sarang para bandit, di samping Kerajaan Wengker juga dikenal sering melakukan pemberontakan kepada Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Airlangga."
  3. ^ Sugianto (2016), hlm. 47."Adapun tata letak kedua kerajaan tersebut wilayahnya berada di timur dan barat Ponorogo. Kerajaan Wengker diduga di daerah Jetis dan Sambit di dua kecamatan tersebut banyak di temukan peninggalan bersejarah kerajaan Wengker."
  4. ^ Nurdianto (2018), hlm. 3–4."(...) dapat dilihat bahwa salah satu sebab munculnya Wengker sebagai daerah yang kurang ramah adalah karena faktor fisik, yaitu wilayahnya yang diapit oleh tiga buah gunung, Gunung Wilis di timur, Pegunungan Seribu di selatan, dan Gunung Lawu di sebelah barat. Kondisi geografis semacam ini menyebabkan wilayah Wengker tidak begitu diminati untuk dijadikan pusat pemukiman karena sulit untuk dijangkau oleh daerah luar."
  5. ^ Nurdianto (2018), hlm. 4."Catatan di kitab Nagarakrtagama hanya menjelaskan bahwa Wengker merupakan salah satu kerajaan bawahan Majapahit dengan otonomi yang cukup besar. Catatan ini memberikan isyarat bahwa Wengker memiliki peran strategis dalam konstelasi politik di Majapahit, tetapi tidak banyak yang bisa dibicarakan terkait apa dan bagaimana peran Wengker tersebut."
  6. ^ Krismawati (2018), hlm. 125."Menurut sejarah, agama yang dianut oleh Kerajaan Wengker adalah agama Hindu sehingga mayoritas masyarakat meyakininya sebagai pegangan hidup. Bukti kentalnya pengaruh Agama Hindu dalam kehidupan masyarakat terlihat pada bentuk budaya yang didominasi oleh pelaksanaan ritual dan kegiatan yang berbau mistik. Hindu mengajarkan tentang pemberian sesaji kepada danyang atau penguasa yang dianggap mempunyai kekuatan dari sebuah tempat yang dikeramatkan."
  7. ^ Achmadi (2014), hlm. 22."Sejarah panjang kesenian reog dan perkembangannya dimulai dari kerajaan Wengker hingga sekarang."
  8. ^ Achmadi (2014), hlm. 12."Gamelan reog yang dahulu disebut gumbung dipakai kerajaan Wengker untuk mengiringi dalam latihan perang."
  9. ^ Sugianto (2016), hlm. 49."Reyog merupakan seni sendra tari, yang dimainkan oleh beberapa penari seperti pembarong, bujangganong, klonosuwandono, warok dan jathil. Dalam pentasnya warok terinspirasi oleh dua garis besar cerita, yang pertama mengenai kerajaan wengker yang dipmpin oleh Ki Ageng Kutu yan menentang Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Bhre Kertabumi Prabu Brawijaya V."
  10. ^ Krismawati (2018), hlm. 118."Sejarah kemunculan warok diperkirakan berawal pada masa kejayaan Kerajaan Wengker. Kata warok, pada awalnya merupakan gelar yang hanya dimiliki oleh Prabu Jaka Bagus (Sri Gasakan) yakni raja muda dari Kerajaan Wengker sekitar tahun 941M. Keinginan warga kerajaan untuk menjadi sakti layaknya raja, menjadikan gelar warok sebagai gelar kehormatan bagi seorang yang mampu menguasai ilmu kanuragan dan berhati suci."
  11. ^ Sugianto (2016), hlm. 46."Warok pada waktu itu, memiliki peran menjadi punggawa kerajaan Wengker yang bertugas mengamankan suatu wilayah."
  12. ^ Krismawati (2018), hlm. 120."Didukung pernyataan dari Poerwowijoyo yang menjelaskan bahwa berhubungan dengan wanita mengakibatkan hilangya kekuatan yang dimiliki sehingga membuat para warok memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah. Dalam perkembangannya, beberapa dari mereka menghadirkan sosok laki-laki muda tampan yang dikenal sebagai gemblak. Menurut Moelyadi kebiasaan menggemblak sudah ada sejak masa Kerajaan Wengker dan dilakukan oleh Raja muda Wengker sebagai pengarih-arih. Praktek menggemblak yang dianggap sebagai ajaran ideologi kanuragan dalam kalangan warok hampir dijalani oleh semua kelompok warok."
  13. ^ Mulyadi (2018), hlm. 18–19"Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M."
  14. ^ Hidayati (2014), hlm. 168–169."Kerajaan Wengker sebenarnya sudah disebut-sebut sejak sebelum Mataram kuno lanjutan (berpindah ke Jawa Timur) pada masa kekuasaan Airlangga. Salah satu prasasti yang penting sebagai sumber sejarah adalah prasasti Pucangan atau yang dikenal pula dengan nama Prasasti Calcutta. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka atau November 1041 M.10 Bagian prasasti yang berbahasa Sanskerta memuat silsilah raja Airlangga yang dimulai dari raja Sri Isanatungga atau Mpu Sindok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa dan bagian yang berbahasa Jawa Kuno lebih banyak memberi keterangan tentang akhir masa pemerintahan Dharmmawangsa Teguh karena diserang oleh raja Wurawari dari Lwaran. Penyerangan yang disebut pralaya tersebut adalah pembalasan atas penyerangan Darmawangsa terhadap Sriwijaya yang berhasil menguasai beberapa daerah di pantai Sriwijaya yang membuat hubungan Sriwijaya dengan daerah luar terisolasi. Dendam atas penyerbuan tersebut, Sriwijaya kemudian bersekongkol dengan Wengker dan Lwaran."
  15. ^ Hidayati (2014), hlm. 173."Prasasti lainnya adalah prasasti yang ditemukan di desa Mruwak, kecamatan Dagangan, kabupaten Ponorogo, tidak jauh dari desa Sirahketing, letaknya di tengah-tengah kuburan. Prasasti Mruwak atau Marwak ini berangka tahun 1108 Saka (1186 M), karena pada bagian depan masih terbaca angka tahun 1108 Saka, nama desa Marwak (Marewak), dan nama Digjaya Sastraprabhu. Nama Digjaya Sastraprabhu juga disebut di dalam prasasti Sirahketing. Raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu menyebut dirinya cucu atau keturunan dari anak sang Apanji Wijayamertawardhana atau Sri Icana Dharmmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa. Dari kedua prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Jayawarsa bukan raja di Daha (Kadiri), tetapi seorang anggota keluarga raja Daha yang mendapat daerah lungguh di wilayah Ponorogo sekarang (Wengker), yang kemudian berusaha melepaskan diri dari kekuasaan kemaharajaan di Daha. Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu memerintah di Kerajaan Wengker antara tahun 1186-1204M. Prasasti ini dibuat untuk memperingati masa pemerintahan raja yang telah berlangsung selama seribu bulan."

Daftar Pustaka

Buku

  • Mulyadi, Lalu (2018). Makna Motif Relief dan Arca Candi Surowono dan Candi Tegowangi Situs Kerajaan Kediri. Malang: CV. Dream Litera Buana. ISBN 978-602-5518-36-2. 

Jurnal

  • Achmadi, Asmoro (2014). "Aksiologi Reog Ponorogo: Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa". Teologia. 25 (1): 3–27. 
  • Krismawati, Nia Ulfia (2018). "Eksistensi Warok Dan Gemblak di tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980". Religió: Jurnal Studi Agama-agama. 8 (1): 116–138. ISSN 2503-3778. 
  • Nurdianto, Saifuddin Alif (2018). "Ponorogo: Menggali Jati Diri Untuk Membangun Harmoni". Jantra. 13 (1): 1–9. ISSN 1907-9605. 
  • Sugianto, Alip (2016). "Kebudayaan Masyarakat Jawa etnik Panaragan". Aristo. 4 (1). 

Prosiding

  • Hidayati, Nuril (2014). Kontestasi Politik Budaya antara Wengker dan Kadiri: Fragmentasi Genealogi Kesenian Jaranan. Dalam Prosiding Filsafat Islam: Historisitas dan Aktualisasi (Peran dan Kontribusi Filsafat Islam bagi Bangsa). Yogyakarta: FA Press. hlm. 162–193. ISBN 978-602-70288-5-2.