Malu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP21Danang (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
BP21Danang (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
Baris 2: Baris 2:
[[File:WLANL - MicheleLovesArt - Museum Boijmans Van Beuningen - Eva na de zondeval, Rodin.jpg|thumb|right|[[Hawa]] menutupi tubuhnya dan menundukkan kepalanya dalam sebuah patung [[Auguste Rodin|Rodin's]] ''Eve after the [[Kejatuhan manusia|Fall]]''. ]]
[[File:WLANL - MicheleLovesArt - Museum Boijmans Van Beuningen - Eva na de zondeval, Rodin.jpg|thumb|right|[[Hawa]] menutupi tubuhnya dan menundukkan kepalanya dalam sebuah patung [[Auguste Rodin|Rodin's]] ''Eve after the [[Kejatuhan manusia|Fall]]''. ]]


'''Malu''' adalah salah satu bentuk emosi manusia.<ref name="Lewis"/> Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukan sebelumnya, yang ingin ditutupinya.<ref name="helen"/> Pelakunya penderita rasa malu secara alami ingin menyembunyikan diri dari orang lain karena rasa tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain.<ref name="helen">{{Citation |last= Lewis |first= Helen B. |title=Shame and guilt in neurosis |publisher=International University Press, New York |year= 1971 |isbn= 0-8236-8307-9 |page=63 }}</ref> Dalam beberapa buku, misalnya buku berjudul ''Shame: Theory, Therapy, Theology'' karya Stephen Pattison dan ''Shame: Exposed Self'' karya Michael Lewis, malu identik dengan perasaan yang dialami [[Hawa]] di taman Eden ketika ia habis melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah [[Kuldi]], atau buah tentang pengetahuan yang baik dan jahat.<ref name="Pattinson">{{en}}Stephen Pattinson., Shame: Theory, Therapy, Theology, New York: Cambridge University Press, 2000, Hal. 229-237</ref><ref name="Lewis">{{en}}Michael Lewis, Shame: Exposed Self, New York: The Free Press, 1992, Hal. 1-7</ref> Hawa merasa malu karena dia sadar bahwa dirinya telanjang akibat ia perbuatan [[dosa]], memakan buah kuldi itu.<ref name="Lewis"/><ref name="Pattinson"/>
'''Malu''' adalah salah satu bentuk emosi manusia.<ref name="Lewis"/> Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya, dan kemudian ingin ditutupinya.<ref name="helen"/> Penyandang rasa malu secara alami ingin menyembunyikan diri dari orang lain karena perasaan tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain.<ref name="helen">{{Citation |last= Lewis |first= Helen B. |title=Shame and guilt in neurosis |publisher=International University Press, New York |year= 1971 |isbn= 0-8236-8307-9 |page=63 }}</ref> Dalam beberapa buku, misalnya buku berjudul ''Shame: Theory, Therapy, Theology'' karya Stephen Pattison dan ''Shame: Exposed Self'' karya Michael Lewis, malu identik dengan perasaan yang dialami [[Hawa]] di taman Eden ketika ia habis melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah [[Kuldi]], yaitu buah tentang pengetahuan yang baik dan jahat.<ref name="Pattinson">{{en}}Stephen Pattinson., Shame: Theory, Therapy, Theology, New York: Cambridge University Press, 2000, Hal. 229-237</ref><ref name="Lewis">{{en}}Michael Lewis, Shame: Exposed Self, New York: The Free Press, 1992, Hal. 1-7</ref> Pada saat itu dikisahkan Hawa merasa malu karena dia sadar bahwa dirinya telanjang setelah ia melakukan perbuatan [[dosa]], yaitu memakan buah kuldi yang dilarang oleh Tuhan sendiri.<ref name="Lewis"/><ref name="Pattinson"/>


==Karakter Rasa malu==
==Karakter Rasa malu==
Rasa malu dapat terjadi di mana saja.<ref name="Lewis"/> Malu dapat muncul pada diri seseorang terkait dengan dimensi psikologis, teologi, filosofis, dan [[sosiologi]]s.<ref name="Albers">{{id}}Robert H. Albers., MALU, Sebuah Perspektif Iman, Yogyakarta: Kanisius, 1998</ref> Menurut Calr Schneider dalam buku Shame, Exposure, Privacy membagi rasa malu dalam dua kategori, yaitu rasa malu yang berhubungan dengan kehinaan seseoranga (disgrace shame) dan rasa malu yang terkait dengan kesopanan (discretionay shame).<ref name="Albers"/> Schneider berpendapat bahwa ''disgrace shame'' lebih diutamakan sehingga ''discretionary shame'' dapat diabaikan.<ref name="Albers"/> Namun, keduanya tetap diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang memalukan.<ref name="Albers"/>
Rasa malu dapat terjadi di mana saja.<ref name="Lewis"/> Malu dapat muncul pada diri seseorang terkait dengan dimensi psikologis, teologi, filosofis, dan [[sosiologi]]s.<ref name="Albers">{{id}}Robert H. Albers., MALU, Sebuah Perspektif Iman, Yogyakarta: Kanisius, 1998</ref> Menurut Calr Schneider dalam buku ''Shame, Exposure, Privacy'', rasa malu terbagi dalam dua kategori, yaitu rasa malu yang berhubungan dengan kehinaan seseorang (disgrace shame) dan rasa malu yang terkait dengan kesopanan (discretionay shame).<ref name="Albers"/> Schneider berpendapat bahwa ''disgrace shame'' lebih diutamakan sehingga ''discretionary shame'' dapat diabaikan.<ref name="Albers"/> Namun, keduanya tetap diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan.<ref name="Albers"/>


Menurut para penulis abad pencerahan seperti Thomas H. Burgess, [[Charles Darwin]], [[Leo Tolstoy]], [[Fyodor Dostoyevsky]], dan khususnya [[Nietzsche]] mengakui adanya ''discretionary shame'' dan nilainya positif dalam interaksi manusia.<ref name="Albers"/> Rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan, dan kebijaksanaan.<ref name="Albers"/> Fungsinya ialah untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat guna mencegah invasi atau penyerbuan yang melanggar kehormatan dan integritas orang lain.<ref name="Albers"/> Rasa malu menjaga batasan-batasan jati diri.<ref name="Albers"/> Menurut Schneider, malu membimbing seseorang untuk berlaku mempertahankan integritas, dan oleh karena itu sangat erat dengan disiplin [[etika]].<ref name="Albers"/>
Menurut para penulis [[abad pencerahan]] seperti Thomas H. Burgess, [[Charles Darwin]], [[Leo Tolstoy]], [[Fyodor Dostoyevsky]], dan khususnya [[Nietzsche]], manusia secara kodrati memang memiliki ''discretionary shame'' dan nilainya positif dalam interaksi manusia.<ref name="Albers"/> Rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan, dan kebijaksanaan.<ref name="Albers"/> Fungsi rasa malu ialah untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat guna mencegah invasi atau penyerbuan yang melanggar kehormatan dan integritas orang lain.<ref name="Albers"/> Rasa malu menjaga batasan-batasan jati diri.<ref name="Albers"/> Menurut Schneider, malu membimbing seseorang untuk berlaku mempertahankan integritas, dan oleh karena itu sangat erat dengan disiplin [[etika]].<ref name="Albers"/>


==Fakta Rasa Malu==
==Fakta Rasa Malu==
Dalam dunia [[psikologi]] dan [[antropologi]], malu bersentuhan dengan dimensi psikologi manusia, malu merupakan emosi klasik (bawaan) manusia yang terhubung dengan [[rasa bersalah]], kesombongan, dan kesadaran diri.<ref name="Lewis"/> Rasa malu membawa perilaku manusia kepada depresi dan anti-sosial. Seseorang yang mengalami rasa malu berarti ia sedang mengalami [[konflik]] dalam dirinya, yaitu konflik karena dirinya melakukan negoisasi nilai antara kenyataan dan [[naluri]], jika naluri dan kenyataan itu tidak selaras, maka terjadi konflik, dan timbul rasa malu.<ref name="Lewis"/>
Dalam dunia [[psikologi]] dan [[antropologi]], malu bersentuhan dengan dimensi psikologi manusia, malu merupakan emosi klasik (bawaan) manusia yang terhubung dengan [[rasa bersalah]], kesombongan, dan kesadaran diri.<ref name="Lewis"/> Rasa malu membawa perilaku manusia kepada depresi dan anti-sosial.<ref name="Lewis"/> Seseorang yang mengalami rasa malu berarti ia sedang mengalami [[konflik]] dalam dirinya, yaitu konflik karena dirinya melakukan negoisasi nilai antara kenyataan dan [[naluri]], jika naluri dan kenyataan itu tidak selaras, maka terjadi konflik, dan timbul rasa malu.<ref name="Lewis"/>


Rasa malu menyebabkan seseorang menjadi mudah marah, menarik diri dari lingkungan, kehilangan kepercayaan diri, dan menutupi penyebab rasa malu dengan bersikap nasis.<ref name="Lewis"/> Narsisme menjadi puncak untuk menghindari rasa malu.<ref name="Lewis"/>
Rasa malu menyebabkan seseorang menjadi mudah marah, kemudian penyandangnya menarik diri dari lingkungan karena kehilangan kepercayaan diri, dan ada banyak orang yang menutupi penyebab rasa malu dengan bersikap narsis.<ref name="Lewis"/> Narsisme menjadi puncak perilaku untuk menghindari rasa malu.<ref name="Lewis"/>


==Rasa Malu dan Kekristenan==
==Rasa Malu dan Kekristenan==
Malu dan rasa beragama, terutama dalam kekristenan memiliki hubungan yang rumit.<ref name="Pattinson"/> Seseorang yang memiliki [[iman]] atau kepercayaan tentang kehadiran [[Tuhan]] bisa sangat mudah sekali mengalami rasa malu.<ref name="Pattinson"/> Namun, konsep tentang Allah sebagai Bapa dalam kekristenan menolong manusia untuk lebih cepat pulih dari keterpurukan akibat rasa malu dengan catatan hubungan orang yang bersangkutan dengan figur ayah yang ada dalam pikirannya adalah hubungan yang dekat dan dewasa.<ref name="Pattinson"/> Hal ini menolong seseorang untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada figur Bapa yang kemudian ia percayai sebagai Tuhan.<ref name="Pattinson"/> Namun, jika seseorang memiliki konsep figur Bapa yang otoriter, justru ia akan semakin menyembunyikan perasaan malunya secara berlebihan dan biasanya orang yang merasa malu justru menghindar dari kegiatan keagamaan karena takut kepada Tuhan.<ref name="Pattinson"/>
Malu dan rasa beragama, terutama dalam kekristenan memiliki hubungan yang rumit.<ref name="Pattinson"/> Seseorang yang memiliki [[iman]] atau kepercayaan akan kehadiran [[Tuhan]] yang melihat perbuatannya bisa sangat mudah sekali mengalami rasa malu.<ref name="Pattinson"/> Namun, konsep tentang Allah sebagai Bapa dalam kekristenan menolong manusia untuk lebih cepat pulih dari keterpurukan akibat rasa malu dengan catatan hubungan orang yang bersangkutan dengan figur bapa yang ada dalam pikirannya adalah hubungan yang dekat dan dewasa.<ref name="Pattinson"/> Hal ini menolong seseorang untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada figur Bapa yang kemudian ia percayai sebagai Tuhan.<ref name="Pattinson"/> Namun, jika seseorang memiliki konsep figur Bapa yang otoriter, justru ia akan semakin menyembunyikan perasaan malunya secara berlebihan dan biasanya orang yang merasa malu justru menghindar dari kegiatan keagamaan karena takut kepada Tuhan.<ref name="Pattinson"/>


Dalam [[Yohanes 1]]:18 dikatakan, "Tidak seorang pun pernah melihat Allah."<ref name="Pattinson"/> Ayat ini, oleh beberapa orang dianggap menolong, tapi juga sebaliknya bagi seseorang yang sedang mengalami rasa malu.<ref name="Pattinson"/> Jika Allah selalu melihat manusia, sedangkan manusia tidak melihatnya, namun mengimaninya, ini akan menolong seseorang untuk tidak terjatuh pada perbuatan penyebab rasa malu.<ref name="Pattinson"/> Namun, pasca melakukan perbuatan yang menurutnya memalukan, konsep Allah yang tersembunyi sebagai tafsir dari Yohanes 1:18 tadi justru memperparah akibat dari rasa malu, yaitu ketika seseorang melihat Allah yang tersembunyi mamun mampu hadir dalam simbol, metafora, dan pengajaran dalam gereja maupun di mana pun dia berada.<ref name="Pattinson"/>
Dalam [[Yohanes 1]]:18 dikatakan, "Tidak seorang pun pernah melihat Allah."<ref name="Pattinson"/> Ayat ini, oleh beberapa orang dianggap menolong, tapi juga dapat menghancurkan seseorang yang sedang mengalami rasa malu.<ref name="Pattinson"/> Jika Allah selalu melihat manusia, sedangkan manusia tidak melihatnya, namun mengimaninya, seseorang akan terbantu untuk tidak terjatuh pada perbuatan penyebab rasa malu.<ref name="Pattinson"/> Namun, setelah melakukan perbuatan yang menurutnya memalukan, seseorang yang kemudian mendapati konsep Allah yang tersembunyi (hasil perenungan atas teks Yohanes 1:18) tadi justru semakin parah mengalami ketertekanan akibat perasaan malu, yaitu ketika seseorang melihat Allah yang tersembunyi melalui simbol, metafora, dan pengajaran dalam gereja maupun di mana pun dia berada.<ref name="Pattinson"/>


==Malu dalam Pandangan Islam==
==Malu dalam Pandangan Islam==
Menurut Fadhulullah Al-Jailani, malu adalah perubahan yang menyelubngi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk.<ref name="Al-Mishri"/> Rasa malu dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu yang terberi disebut ''gharizi'' dan yang diusahakan disebut ''muktasab''.<ref name="Al-Mishri">{{id}}Mahmud Al-Mishri., Manajemen Akhlak Salaf Membentuk Akhlak Seroang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadhu', dan Malu, Solo: Pustaka Arafah, 2007, Hal. 176-203</ref>
Menurut Fadhulullah Al-Jailani, malu adalah perubahan yang menyelubngi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk.<ref name="Al-Mishri"/> Rasa malu dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu yang terberi, yang disebut ''gharizi'' dan yang diusahakan yang disebut ''muktasab''.<ref name="Al-Mishri">{{id}}Mahmud Al-Mishri., Manajemen Akhlak Salaf Membentuk Akhlak Seroang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadhu', dan Malu, Solo: Pustaka Arafah, 2007, Hal. 176-203</ref>


Rasa malu dalam Islam sangat dihargai, bahkan Allah sendiri memiliki rasa malu.<ref name="Al-Mishri"/> Hal ini terdapat dalam sebuah Hadis, "Sesungguhnya Allah ta-ala Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia Malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong sia-sia" (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani di dalam Irwa Al-Ghalil, VII/ 367).<ref name="Al-Mishri"/> Oleh karena itu Rasul sangat menganjurkan umat Islam untuk menghiasi diri dengan rasa malu.<ref name="Al-Mishri"/> Malu dalam Islam disebabkan oleh beberapa hal, karena melangar aturan, kurang bersungguh-sungguh dalam menyembah, malu karena rasa hormat, malu karena ingin memuliakan orang lain, malu karena kekerabatan, malu karena merasa hina dan kecil, malu karena cinta, malu dalam rangka beribadah, malu karena punya kemuliaan dan harga diri, malu kepada diri sendiri.<ref name="Al-Mishri"/>
Rasa malu dalam Islam sangat dihargai, bahkan Allah sendiri dipercayai memiliki rasa malu.<ref name="Al-Mishri"/> Hal ini terdapat dalam sebuah Hadits, "Sesungguhnya Allah ta-ala Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia Malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong sia-sia" (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani di dalam Irwa Al-Ghalil, VII/ 367).<ref name="Al-Mishri"/> Oleh karena itu Rasul sangat menganjurkan umat Islam untuk menghiasi diri dengan rasa malu.<ref name="Al-Mishri"/> Malu dalam Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai akibat karena melangar aturan, kurang bersungguh-sungguh dalam menyembah, malu karena rasa hormat, malu karena ingin memuliakan orang lain, malu karena kekerabatan, malu karena merasa hina dan kecil, malu karena cinta, malu dalam rangka beribadah, malu karena punya kemuliaan dan harga diri, malu kepada diri sendiri.<ref name="Al-Mishri"/>


==Rujukan==
==Rujukan==

Revisi per 5 Mei 2014 17.13

Hawa menutupi tubuhnya dan menundukkan kepalanya dalam sebuah patung Rodin's Eve after the Fall.

Malu adalah salah satu bentuk emosi manusia.[1] Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya, dan kemudian ingin ditutupinya.[2] Penyandang rasa malu secara alami ingin menyembunyikan diri dari orang lain karena perasaan tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain.[2] Dalam beberapa buku, misalnya buku berjudul Shame: Theory, Therapy, Theology karya Stephen Pattison dan Shame: Exposed Self karya Michael Lewis, malu identik dengan perasaan yang dialami Hawa di taman Eden ketika ia habis melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah Kuldi, yaitu buah tentang pengetahuan yang baik dan jahat.[3][1] Pada saat itu dikisahkan Hawa merasa malu karena dia sadar bahwa dirinya telanjang setelah ia melakukan perbuatan dosa, yaitu memakan buah kuldi yang dilarang oleh Tuhan sendiri.[1][3]

Karakter Rasa malu

Rasa malu dapat terjadi di mana saja.[1] Malu dapat muncul pada diri seseorang terkait dengan dimensi psikologis, teologi, filosofis, dan sosiologis.[4] Menurut Calr Schneider dalam buku Shame, Exposure, Privacy, rasa malu terbagi dalam dua kategori, yaitu rasa malu yang berhubungan dengan kehinaan seseorang (disgrace shame) dan rasa malu yang terkait dengan kesopanan (discretionay shame).[4] Schneider berpendapat bahwa disgrace shame lebih diutamakan sehingga discretionary shame dapat diabaikan.[4] Namun, keduanya tetap diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan.[4]

Menurut para penulis abad pencerahan seperti Thomas H. Burgess, Charles Darwin, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, dan khususnya Nietzsche, manusia secara kodrati memang memiliki discretionary shame dan nilainya positif dalam interaksi manusia.[4] Rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan, dan kebijaksanaan.[4] Fungsi rasa malu ialah untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat guna mencegah invasi atau penyerbuan yang melanggar kehormatan dan integritas orang lain.[4] Rasa malu menjaga batasan-batasan jati diri.[4] Menurut Schneider, malu membimbing seseorang untuk berlaku mempertahankan integritas, dan oleh karena itu sangat erat dengan disiplin etika.[4]

Fakta Rasa Malu

Dalam dunia psikologi dan antropologi, malu bersentuhan dengan dimensi psikologi manusia, malu merupakan emosi klasik (bawaan) manusia yang terhubung dengan rasa bersalah, kesombongan, dan kesadaran diri.[1] Rasa malu membawa perilaku manusia kepada depresi dan anti-sosial.[1] Seseorang yang mengalami rasa malu berarti ia sedang mengalami konflik dalam dirinya, yaitu konflik karena dirinya melakukan negoisasi nilai antara kenyataan dan naluri, jika naluri dan kenyataan itu tidak selaras, maka terjadi konflik, dan timbul rasa malu.[1]

Rasa malu menyebabkan seseorang menjadi mudah marah, kemudian penyandangnya menarik diri dari lingkungan karena kehilangan kepercayaan diri, dan ada banyak orang yang menutupi penyebab rasa malu dengan bersikap narsis.[1] Narsisme menjadi puncak perilaku untuk menghindari rasa malu.[1]

Rasa Malu dan Kekristenan

Malu dan rasa beragama, terutama dalam kekristenan memiliki hubungan yang rumit.[3] Seseorang yang memiliki iman atau kepercayaan akan kehadiran Tuhan yang melihat perbuatannya bisa sangat mudah sekali mengalami rasa malu.[3] Namun, konsep tentang Allah sebagai Bapa dalam kekristenan menolong manusia untuk lebih cepat pulih dari keterpurukan akibat rasa malu dengan catatan hubungan orang yang bersangkutan dengan figur bapa yang ada dalam pikirannya adalah hubungan yang dekat dan dewasa.[3] Hal ini menolong seseorang untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada figur Bapa yang kemudian ia percayai sebagai Tuhan.[3] Namun, jika seseorang memiliki konsep figur Bapa yang otoriter, justru ia akan semakin menyembunyikan perasaan malunya secara berlebihan dan biasanya orang yang merasa malu justru menghindar dari kegiatan keagamaan karena takut kepada Tuhan.[3]

Dalam Yohanes 1:18 dikatakan, "Tidak seorang pun pernah melihat Allah."[3] Ayat ini, oleh beberapa orang dianggap menolong, tapi juga dapat menghancurkan seseorang yang sedang mengalami rasa malu.[3] Jika Allah selalu melihat manusia, sedangkan manusia tidak melihatnya, namun mengimaninya, seseorang akan terbantu untuk tidak terjatuh pada perbuatan penyebab rasa malu.[3] Namun, setelah melakukan perbuatan yang menurutnya memalukan, seseorang yang kemudian mendapati konsep Allah yang tersembunyi (hasil perenungan atas teks Yohanes 1:18) tadi justru semakin parah mengalami ketertekanan akibat perasaan malu, yaitu ketika seseorang melihat Allah yang tersembunyi melalui simbol, metafora, dan pengajaran dalam gereja maupun di mana pun dia berada.[3]

Malu dalam Pandangan Islam

Menurut Fadhulullah Al-Jailani, malu adalah perubahan yang menyelubngi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk.[5] Rasa malu dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu yang terberi, yang disebut gharizi dan yang diusahakan yang disebut muktasab.[5]

Rasa malu dalam Islam sangat dihargai, bahkan Allah sendiri dipercayai memiliki rasa malu.[5] Hal ini terdapat dalam sebuah Hadits, "Sesungguhnya Allah ta-ala Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia Malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong sia-sia" (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani di dalam Irwa Al-Ghalil, VII/ 367).[5] Oleh karena itu Rasul sangat menganjurkan umat Islam untuk menghiasi diri dengan rasa malu.[5] Malu dalam Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai akibat karena melangar aturan, kurang bersungguh-sungguh dalam menyembah, malu karena rasa hormat, malu karena ingin memuliakan orang lain, malu karena kekerabatan, malu karena merasa hina dan kecil, malu karena cinta, malu dalam rangka beribadah, malu karena punya kemuliaan dan harga diri, malu kepada diri sendiri.[5]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i (Inggris)Michael Lewis, Shame: Exposed Self, New York: The Free Press, 1992, Hal. 1-7
  2. ^ a b Lewis, Helen B. (1971), Shame and guilt in neurosis, International University Press, New York, hlm. 63, ISBN 0-8236-8307-9 
  3. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris)Stephen Pattinson., Shame: Theory, Therapy, Theology, New York: Cambridge University Press, 2000, Hal. 229-237
  4. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Robert H. Albers., MALU, Sebuah Perspektif Iman, Yogyakarta: Kanisius, 1998
  5. ^ a b c d e f (Indonesia)Mahmud Al-Mishri., Manajemen Akhlak Salaf Membentuk Akhlak Seroang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadhu', dan Malu, Solo: Pustaka Arafah, 2007, Hal. 176-203

Rujukan lebih Lanjut

  • Bradshaw, J. (1988) Healing the Shame That Binds You, HCI. ISBN 0-932194-86-9
  • Gilbert, P. (2002) Body Shame: Conceptualisation, Research and Treatment. Brunner-Routledge. ISBN 1-58391-166-9
  • Gilbert, P. (1998) Shame: Interpersonal Behavior, Psychopathology and Culture. ISBN 0-19-511480-9
  • Goldberg, Carl (1991) Understanding Shame, Jason Aaronson, Inc., Northvale, NJ. ISBN 0-87668-541-6
  • Hutchinson, Phil (2008) Shame and Philosophy. London: Palgrave MacMillan. ISBN 0-230-54271-9
  • Lamb, R. E. (1983) Guilt, Shame, and Morality, Philosophy and Phenomenological Research, Vol. XLIII, No. 3, March 1983.
  • Lewis, Michael (1992) Shame: The Exposed Self. NY: The Free Press. ISBN 0-02-918881-4
  • Middelton-Moz, J. (1990) Shame and Guilt: Masters of Disguise, HCI, ISBN 1-55874-072-4
  • Miller, Susan B. (1996) Shame in Context, Routledge, ISBN 0-88163-209-0
  • Morrison, Andrew P. (1996) The Culture of Shame. Ballantine Books. ISBN 0-345-37484-3
  • Morrison, Andrew P. (1989) Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic Press. ISBN 0-88163-082-9
  • Nathanson, D., ed. (1987) The Many Faces of Shame. NY: The Guilford Press. ISBN 0-89862-705-2
  • Schneider, Carl D. (1977) Shame, Exposure, and Privacy. Boston: Beacon Press, ISBN 0-8070-1121-5
  • Uebel, Michael. (2012) Psychoanalysis and the Question of Violence: From Masochism to Shame, American Imago, 69.4: 473-505.
  • Vallelonga, Damian S. (1997) An empirical phenomenological investigation of being ashamed. In Valle, R. Phenomenological Inquiry in Psychology: Existential and Transpersonal Dimensions. New York: Plenum Press, 123-155.