Masjid Noor Banjarmasin
Masjid Noor Banjarmasin | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam – Sunni |
Provinsi | Kalimantan Selatan |
Lokasi | |
Lokasi | Banjarmasin |
Negara | Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Gaya arsitektur | Timur Tengah |
Didirikan | 1971 |
Spesifikasi | |
Kapasitas | 1000 Jemaah |
Kubah | 2 (termasuk kubah tempat bedug) |
Menara | 3 |
Masjid Noor Banjarmasin adalah masjid yang terletak di Jalan Pangeran Samudera, Kelurahan Kertak Baru Ulu, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yaitu berdekatan dengan kawasan Pasar Sudimampir, Pasar Baru dan Pasar Cempaka, Banjarmasin.
Dari musala menjadi masjid
[sunting | sunting sumber]Awalnya, masjid ini berupa musala yang dibangun sekitar tahun 1940 hingga 1950-an. Saat itu, beragam etnis bermukim di kawasan sekitar musala yang berada di Kampung Penatu (kini dikenal dengan Gang Penatu) yang menghubungkan antara Jalan Hasanuddin HM dan Jalan Pangeran Samudera. Etnis Tionghoa misalnya, yang pernah membangun Gedung Tjung Hua Tjung di kawasan tersebut dan kini menjadi tempat parkir. Ada juga orang Jepang (seperti dr Shogenji yang merupakan dokter gigi) dan orang Belanda (seperti Van Loen yang merupakan polisi Hindia Belanda) yang tinggal di kawasan ini.[1]
Karena munculnya pusat-pusat perdagangan di kawasan Pasar Baru, Pasar Sudimampir, Pasar Malabar, dan lain-lain, Habib Hasan Al Kaff, salah satu tokoh kampung dari etnis Arab, menghadiahkan lahan untuk pembangunan langgar pada tahun 1950-an. Lambat laun, langgar ini menjadi masjid karena usulan K.H. Ahmad Zainal Aqli atau Guru Ahmad Jagau. Semula, ada yang menyanggah usulan Guru Ahmad Jagau karena sudah memiliki masjid yang jarak yang berdekatan seperti Masjid Raya Sabilal Muhtadin dan Masjid Agung Miftahul Ihsan. Namun, dia memiliki alasan bahwa penduduk kota Banjarmasin semakin banyak sehingga tidak ada salahnya untuk membangun masjid baru.[1][2]
Awalnya, Masjid Noor berbentuk mirip dengan Masjid Jami Sungai Jingah, dimana memiliki bentuk atap limas berlantai dua dengan kubah kecil di puncaknya. Selain itu, di kawasan masjid juga pernah dikelilingi perkuburan muslimin. Seiring berjalannya waktu, dimana mulai berdiri banyak pasar seperti Pasar Niaga dan Pasar Cempaka yang membuat jamaah semakin banyak hingga banyak jamaah salat Id di jalan, maka pada tahun 1990-an, bentuk awal diubah menjadi bangunan ala gedung modern seperti sekarang. Meski masjid ini mengalami pemugaran sampai 3 kali, jamaah masih tetap membludak hingga memenuhi ruas Jalan Pangeran Samudera dan sekitarnya. Kini, masjid ini sering mengadakan berbagai kegiatan seperti pengajian, tadarus Al- Qur'an, dan lain-lain.[1][3]
Saksi bisu Kerusuhan Banjarmasin
[sunting | sunting sumber]Masjid ini pernah menjadi saksi bisu dua insiden besar yang menimpa kota Banjarmasin, yaitu peristiwa G30S/PKI tahun 1965 dan Kerusuhan Banjarmasin pada tanggal 23 Mei 1997 (dikenal dengan istilah "Jumat Kelabu").[3] Konon, daerah masjid yang dulunya merupakan basis massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah titik awal peristiwa Jumat Kelabu, dimana jamaah masjid yang sedang salat Jumat terusik oleh arak-arakan kampanye Golongan Karya (Golkar). Menurut sumber dari Tim Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) cabang Banjarmasin yang melakukan investigasi ke lapangan, ketika massa Golkar yang akan berkampanye itu melintas, jamaah salat Jumat yang membludak sampai ke jalan itu masih sedang membaca doa. Sebenarnya polisi sudah berusaha mengadang massa Golkar. Namun Satgas Golkar bersikeras untuk melewati jalan itu karena hanya tinggal membaca doa saja. Kemarahan jamaah dengan cepat menyebar seusai salat Jumat dan sampai ke telinga penduduk di berbagai sudut kota Banjarmasin lainnya.[4]
Kaitan dengan kehidupan Abah Guru Sekumpul
[sunting | sunting sumber]Masjid ini dahulu pernah dikunjungi oleh K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Abah Guru Sekumpul, yaitu ketika menjadi qari mendampingi K.H. Abdul Hamid Husin yang menjadi penceramah pada peringatan hari besar Islam di tahun 1970. Menurut K.H. Syaifuddin Zuhri atau lebih dikenal dengan sebutan Abah Guru Banjar Indah, K.H. Abdul Hamid Husin adalah seorang muballigh yang pernah dicalonkan menjadi Anggota DPR dari NU di tahun 1971 meski akhirnya dia meninggal pada tahun 1970. Menurut Abah Guru Banjar Indah, masjid ini menjadi tempat terakhir K.H. Abdul Hamid Husin untuk berceramah sebelum akhirnya sakit dan meninggal dunia. Masjid ini juga menjadi tempat terakhir Abah Guru Sekumpul untuk menjadi qari yang mendampingi ulama-ulama tua berdakwah, sebelum akhirnya berhenti dan menggelar majelis maulid di rumahnya di Keraton, Martapura. Konon, ketika membaca surah Al Isra di masjid ini pada saat itu, dinding masjid jebol karena jamaah perempuan berebut melihat sosok sang qari. Menurut salah satu jamaah perempuan di sana yang diceritakan kembali oleh Abah Guru Banjar Indah, bacaan Abah Guru Sekumpul memiliki pelafalan yang kurang lebih seperti qari-qari di tempat perempuan tersebut. Namun menurutnya, Abah Guru Sekumpul memiliki rupa yang begitu tampan.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c "Berawal dari Langgar Berdiri Masjid Noor, Masjidnya Para Pedagang". jejakrekam.com. 2019-06-09. Diakses tanggal 2024-07-23.
- ^ a b Rifad, Ahmad. "Masjid Noor (2), Dindingnya Sempat Jebol Disebabkan Qari Tampan Ini". Bakabar.com. Diakses tanggal 2024-07-24.
- ^ a b Rifad, Ahmad. "Masjid Noor (1), Saksi Bisu Dua Peristiwa Kelam". Bakabar.com. Diakses tanggal 2024-07-24.
- ^ "Tempo - Siapa Tewas di Banjarmasin, Benarkah Semua Perusuh?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 2011-05-23.