Lompat ke isi

Mengambinghitamkan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Schmerzensmann, Albrecht Dürer

Mengambinghitamkan (bahasa Inggris: scapegoating) adalah praktik melakukan tuduhan tidak menyenangkan dan diikuti dengan perlakuan negatif terhadap seseorang atau kelompok.

Mengambinghitamkan dilakukan oleh seseorang melawan seseorang (contohnya, "ia melakukannya, bukan aku!"), seseorang melawan kelompok (contoh, "Aku tak dapat melihat apapun karena semua orang tinggi"), kelompok melawan seseorang (contoh, "Jane adalah sebab dari tim kita tak menang"), dan kelompok melawan kelompok.

Mengambinghitamkan dapat ditujukan terhadap hampir semua kalangan, termasuk orang dewasa, anak-anak, saudara, karyawan, murid, etnis, kelompok politik atau agama tertentu, atau negara.

Pada tingkat individu

[sunting | sunting sumber]

Kelompok yang selama ini dikambinghitamkan hampir mencakupi segala jenis pengelompokan sosial, seperti: gender, agama, ras, bangsa, orientasi seksual, kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pandangan politik, atau pun orang-orang yang memiliki perbedaan perilaku dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Namun demikian, pengambinghitaman ini seringkali juga diasosiasikan terhadap pemerintah, korporasi, atau berbagai kelompok politik pula.

Lukisan dari William James Webb yang mengilustrasikan saat kambing hitam dilepaskan dari kota

Kesamaannya pada masa dahulu kala

[sunting | sunting sumber]

Seorang analis beraliran jungian, Sylvia Brinton, berbicara bahwasannya mengambinghitamkan dapat dikaitkan dengan sebuah mitologi bayangan dan kesalahan.[1] Hal ini berkaitan dengan suatu tradisi kuno, seperti dalam cerita pengambinghitaman untuk Tuhan Azazel yang dilakukan demi membersihkan dosa-dosa masyarakat yang terdahulu dan untuk terhubung dengan alam gaib yang suci.[2] Namun, dalam masa kini, peran Azazel dalam mengambinghitamkan berubah seperti penuduh korban yang dikambinghitamkan.[1]

Secara tidak sadar, pemikiran-pemikiran ataupun perasaan-perasaan seseorang yang tidak diinginkan oleh orang-orang di sekitarnya akan dituduhkan kepada seseorang yang dianggap sebagai kambing hitam. Tidak hanya terhadap seseorang saja, konsep ini dapat dituduhkan terhadap sebuah kelempok tertentu. Seseorang atau suatu kelompok tertentu dijadikan sebagai objek kambing hitam sebagai akibat atas penyelesaian permasalahan kelompoknya. Seorang psikiater berkebangsaan Swiss, Carl jung, mengatakan jika di dalam suatu masyarakat pasti ada seseorang yang berperilaku menyimpang, dan seolah-olah menjadi kambing hitam, demi memenuhi keinginan dari mayoritasnya.[3]

Mengambinghitamkan dalam konflik antarkelompok

[sunting | sunting sumber]
Kondisi foto saat terjadinya peristiwa "9-11" yang mengakibatkan terjadinya stereotipe dan pengambinghitaman terhadap etnis Arab karena dianggap sebagai etnis yang sama dengan aktor pembajakan pesawat yang menabrak gedung WTC.

Mengambinghitamkan dalam konflik antarkelompok biasanya terjadi saat adanya korelasitas antara kondisi ekonomi yang melemah dan kenaikan tingkat prasangka buruk dan kekerasan dari luar kelompok (out-group).[4] Selain itu, dapat dilihat melalui kejadian gerakan anti-kulit hitam yang terjadi di Amerika Serikat pada saat 1882-1930 yang menunjukkan korelasi antara kondisi ekonomi yang buruk dan terjadinya kekerasan memicu terjadinya pengambinghitaman oleh ras kulit putih yang frustrasi dengan kondisi buruknya ekonomi dengan melakukan kekerasan terhadap ras kulit hitam sebagai luar kelompoknya (out-group-nya).[5]

Tindakan mengambinghitamkan seringkali juga diasosiasikan saat adanya serangan teroris ataupun pemakzulan. Hal ini dapat dicontohkan saat adanya gerakan Anti-Arab yang banyak menyerang etnis Arab di Amerika Serikat saat setelah kejadian Serangan 11 September 2001. Selain itu, dapat dilihat pula dalam Pembunuhan Indira Gandhi yang mengambinghitamkan etis Sikh di India.

Dalam ilmu manajemen, mengambinghitamkan biasanya dipraktikkan saat pekerja kasar yang seringkali dituduh bersalah atas kesalahan yang dibuat oleh pimpinannya. Hal ini seringkali terjadi karena kurangnya tingkat keterbukaan yang terjadi di manajemen tingkat atas.[6]

Mekanisme mengambinghitamkan

[sunting | sunting sumber]

Seorang kritikus dan filsuf, Kenneth Burke pertama kali memopulerkan istilah "mekanisme mengambinghitamkan" dalam bukunya yang berjudul Permanence and Change (1935)[7], serta pada jurnal yang berjudul A Grammar of Motives (1945)[8]. Pemopuleran istilah "mekanisme mengambinghitamkan" pada buku dan jurnal tersebut, memengaruhi beberapa filsuf antropologi lainnya, seperti Ernest Becker dan René Girard.

Secara sederhana, hubungan antara hasrat mimesis dan mekanismenya dalam membentuk proses mengambinghitamkan dapat dilihat melalui ilustrasi di atas.[9]

Dalam perkembangannya, Girard membangun konsep ini jauh lebih luas demi menginterpretasikan sebuah kebudayaan manusia. Girard berpandangan bahwa: bukanlah lewat Tuhan, tetapi dari manusia itu sendiri yang layak mendapatkan balasan berupa kekerasan atas yang dilakukannya sendiri demi menebus dosa-dosanya. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya, keinginan manusia itu didorong oleh keinginan yang dimiliki atau diinginkan orang lain pula (hasrat mimesis). Oleh karena itu, hal ini menyebabkan terjadinya triangulasi keinginan dan berakibat terjadinya konflik antara pihak-pihak yang berkeinginan. Mekanisme ini akan terus memuncak apabila masyarakat saling terpengaruh, dengan begitu akan menimbulkan mekanisme mengambinghitamkan.

Pada titik ini, seseorang "kambing hitam" akan dipilih sebagai penyebab anasir permasalahan masyarakat dan akan diusir atau dibunuh oleh kelompok sosial. Kepulihan tatanan sosial akan terukur dengan kepuasan masyarakat, bahwa mereka telah menemukan penyebab permasalahan dengan menyingkirkan seseorang individu yang dikambinghitamkan. Mekanisme ini akan terus bergulir dan akan terus-menerus menjadi siklus.

Kepuasan masyarakat yang menjadi titik tolak dalam terus bergulirnya siklus mekanisme mengambinghitamkan ini. Bagi kelompok tertentu, mengambinghitamkan berfungsi sebagai bantuan psikologis untuk meredakan ketegangan sosial.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Penindasan
  • Pengawamanusiaan - perilaku atau proses yang merendahkan seseorang dan hal lainnya.
  • Stereotipe - pandangan yang menggeneralisasikan perilaku sebagian anggota kelompok atas kelompoknya.
  • Perpeloncoan - praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok.
  • Kepanikan Moral - rasa ketakutan yang menyebar dalam sejumlah besar orang bahwa suatu kejahatan sedang mengancam ketertiban masyarakat.
  • Pengorbanan manusia - tindakan membunuh seseorang atau sekumpulan manusia sebagai persembahan untuk para dewa atau roh.
  • Praduga bersalah - prinsip yang menyatakan bahwa seseorang dianggap bersalah hingga peradilan menyatakan tidak bersalah.
  • Stigma sosial - tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena kepercayaan bahwa orang tersebut melawan norma yang ada.
  • Menyalahkan korban - keadaan saat korban malah dipersalahkan atas bahaya atau kerugian yang terjadi kepadanya, baik secara sebagian maupun sepenuhnya.
  • Perburuan dukun - sebuah pencarian orang-orang yang dicap sebagai penyihir atau dukun untuk dimusnahkan, dibunuh, atau dibantai.
  1. ^ a b 1932-, Perera, Sylvia Brinton, (1986). The scapegoat complex : toward a mythology of shadow and guilt. Inner City Books. ISBN 0-585-11527-3. OCLC 77355147. 
  2. ^ 1839-1899., Kellogg, S. H. (Samuel Henry), (19--). The book of Leviticus. Hodder & Stoughton. OCLC 6466696. 
  3. ^ author., Jung, C. G. (Carl Gustav), 1875-1961,. Analytical psychology : its theory and practice. ISBN 978-1-138-13598-7. OCLC 1062345456. 
  4. ^ Poppe, Edwin (2001). "Effects of Changes in GNP and Perceived Group Characteristics on National and Ethnic Stereotypes in Central and Eastern Europe1". Journal of Applied Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 31 (8): 1689–1708. doi:10.1111/j.1559-1816.2001.tb02746.x. ISSN 1559-1816. 
  5. ^ Hovland, Carl Iver; Sears, Robert R. (1940-04-01). "Minor Studies of Aggression: VI. Correlation of Lynchings with Economic Indices". The Journal of Psychology. 9 (2): 301–310. doi:10.1080/00223980.1940.9917696. ISSN 0022-3980. 
  6. ^ Team, PMHut (2009-10-15). "The Art of Scapegoating in IT Projects". PMHut - Project Management Articles for Project Managers (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-27. 
  7. ^ Kenneth, Burke, (2020). Permanence and change : an anatomy of purpose. University of California Press. ISBN 0-520-04144-5. OCLC 1237215066. 
  8. ^ Burke, Kenneth (1969-12-31). "A Grammar of Motives". doi:10.1525/9780520341715. 
  9. ^ Diolah dari berbagai sumber

Bacaan tambahan

[sunting | sunting sumber]
  • Colman, A.D. Up from Scapegoating: Awakening Consciousness in Groups (1995)
  • Douglas, Tom Scapegoats: Transferring Blame (1995)
  • Dyckman, JM & Cutler JA Scapegoats at Work: Taking the Bull's-Eye Off Your Back (2003)
  • Girard, René: Violence and the Sacred (1972)
  • Girard, René: The Scapegoat (1986)
  • Jasinski, James: "Sourcebook on Rhetoric" (2001)
  • Perera, Sylvia Brinton, The Scapegoat Complex: Toward a Mythology of Shadow and Guilt (Toronto: Inner City 1986), Studies in Jungian Psychology By Jungian Analysts
  • Pillari V Scapegoating in Families: Intergenerational Patterns of Physical and Emotional Abuse (1991)
  • Quarmby K Scapegoat: Why We Are Failing Disabled People (2011)
  • Wilcox C.W. Scapegoat: Targeted for Blame (2009)
  • Zemel, Joel: Scapegoat, the extraordinary legal proceedings following the 1917 Halifax Explosion (2012)

Artikel akademik

[sunting | sunting sumber]

Buku rujukan

[sunting | sunting sumber]