Lompat ke isi

Neuroplastisitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak seperti pandangan umum, fungsi otak tidak terbatas dalam tempat tertentu.

Neuroplastisitas adalah konsep neurosains yang merujuk kepada kemampuan otak dan sistem saraf semua spesies untuk berubah secara struktural dan fungsional sebagai akibat dari input lingkungan.[1] Plastisitas terjadi dalam berbagai tingkatan, dari perubahan seluler yang terlibat dalam pembelajaran, hingga perubahan berskala besar yang terlibat dalam pemetaan ulang kortikal sebagai tanggapan kepada luka. Bentuk plastisitas yang paling umum diakui adalah pembelajaran, memori, dan pemulihan dari luka otak. Selama abad ke-20, para ilmuwan neurosains meyakini bahwa struktur otak relatif tetap setelah periode kritis selama kecil. Keyakinan ini telah diruntuhkan oleh penemuan-penemuan terbaru yang menunjukkan bahwa banyak aspek otak yang tetap plastis bahkan hingga dewasa.[2]

Hubel dan Wiesel telah menunjukkan bahwa kolom dominasi okular di daerah visual neokortikal terendah, V1, bersifat tetap setelah periode kritis.[3] Periode kritis juga dipelajari berkenaan dengan bahasa; data yang didapat menunjukkan bahwa jalan sensoris bersifat tetap setelah periode kritis. Namun, penelitian menentukan bahwa perubahan lingkungan dapat mengubah perilaku dan kognisi dengan mengubah koneksi antara neuron yang ada dan melalui neurogenesis di hipokampus dan bagian otak lainnya, termasuk cerebellum.[4]

Penelitian selama beberapa dasawarsa[5] telah menunjukkan perubahan substansial dalam wilayah pemrosesan neokortikal yang terendah, dan bahwa perubahan tersebut dapat mengubah pola aktivasi neuron dalam menanggapi pengalaman. Penelitian neurologis mengindikasikan bahwa pengalaman dapat mengubah struktur fisik otak (anatomi) dan organisasi fungsional (fisiologi). Ilmuwan neurosains saat ini berupaya merekonsiliasi penelitian periode kritis yang menunjukkan ketetapan otak dengan penelitian terkini yang menunjukkan bagaimana otak bisa dan memang berubah.[6]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Gagasan ini pertama kali diusulkan pada tahun 1890 oleh William James dalam tulisannya The Principles of Psychology, meskipun gagasan tersebut kemudian diabaikan selama lima puluh tahun.[7] Orang pertama yang menggunakan istilah plastisitas neuron adalah ilmuwan neurosains Polandia Jerzy Konorski.[8] Istilah tersebut tidak punya definisi ilmiah spesifik, seperti yang diungkapkan oleh McEachern dan Shaw:[1]

Dengan pentingnya neuroplastisitas, orang luar akan dimaafkan karena mengasumsikan bahwa konsep tersebut terdefinisikan dengan baik dan bahwa ada kerangka dasar dan universal yang mengarahkan hipotesis dan percobaan pada masa depan. Sayangnya, hal tersebut tidak benar. Meski banyak ilmuwan neurosains yang menggunakan kata neuroplastisitas sebagai istilah payung, istilah tersebut bermakna berbeda bagi berbagai peneliti dalam berbagai subbidang ... Secara singkat, kerangka yang disetujui bersama tidak ada.

Neurobiologi

[sunting | sunting sumber]

Salah satu asas dasar dalam konsep mengenai bagaimana neuroplastisitas bekerja berkaitan dengan konsep pemangkasan sinapsis, atau gagasan yang mengungkapkan bahwa koneksi-koneksi dalam otak secara konstan dihilangkan atau dibuat kembali, dan ini tergantung kepada bagaimana sinapsis tersebut digunakan. Jika ada dua neuron terdekat yang menghasilkan impuls secara serentak, peta kortikal mereka mungkin akan menjadi satu. Gagasan ini juga bekerja sebaliknya, misalnya neuron yang tidak menghasilkan impuls serentak secara reguler akan membentuk peta yang berbeda.

Peta kortikal

[sunting | sunting sumber]

Pengaturan kortikal, terutama sistem sensoris, sering kali dideskripsikan dalam ranah pemetaan.[9] Misalnya, informasi sensoris dari proyek kaki ke satu situs kortikal dan proyeksi dari target tangan di situs lain. Sebagai akibat dari pengaturan somatotopik input sensoris tersebut terhadap korteks, perwakilan kortikal tubuh menyerupai peta (atau homunculus).

Pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, beberapa kelompok mulai meneliti dampak menghilangkan sebagian input sensoris. Michael Merzenich, Jon Kaas dan Doug Rasmusson menggunakan peta kortikal sebagai variabel dependen mereka. Mereka menemukan bahwa jika input dihilangkan dari peta kortikal, peta tersebut kemudian akan teraktivasi sebagai tanggapan kepada yang lain. Paling tidak dalam sistem sensoris somatik, JT Wall dan J Xu telah menemukan mekanisme yang mendasari plastisitas. Reorganisasi tidak emergen secara kortikal, tetapi muncul dalam setiap tingkatan dalam hierarki pemrosesan; akibatnya muncul perubahan peta dalam korteks serebral.[10]

Merzenich dan William Jenkins (1990) memulai penelitian yang berkaitan dengan pengalaman sensoris sampai plastisitas kortikal dalam sistem somatosensori primata. Mereka menemukan bahwa situs sensoris yang teraktivasi dalam perilaku operan meningkatkan perwakilan kortikal mereka. Segera setelahnya, Ford Ebner dan koleganya (1994) melakukan penelitian yang mirip dalam korteks barel (juga sistem somatosensori) hewan pengerat. Penelitian hewan pengerat kemudian difokuskan oleh Ebner, Matthew Diamond, Michael Armstrong-James, Robert Sachdev, Kevin Fox, sehingga pencapaian dalam mengidentifikasi tempat perubahan di reseptor NMDA ekspresi sinapsis kortikal, dan dalam menunjukkan pentingnya input kolinergik dalam ekspresi normal, telah tercapai. Namun, penelitian terhadap hewan pengerat tidak banyak berfokus kepada perilaku, dan Ron Frostig dan Daniel Polley (1999, 2004) menunjukkan bahwa manipulasi perilaku dapat memberikan dampak yang besar terhadap plastisitas kortikal dalam sistem tersebut.

Merzenich dan DT Blake (2002, 2005, 2006) menggunakan penanaman kortikal untuk mempelajari evolusi plastisitas dalam sistem somatosensori dan pendengaran. Kedua sistem tersebut menunjukkan perubahan yang mirip perihal perilaku. Saat suatu stimulus secara kognitif berkaitan dengan pemerkuatan, representasi kortikalnya diperkuat dan diperbesar. Dalam beberapa kasus, representasi kortikal dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam waktu 1-2 hari pada saat perilaku motor sensoris yang baru diterima, dan perubahan telah usai dalam waktu beberapa minggu.

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Shaw, Christopher; McEachern, Jill, ed. (2001). Toward a theory of neuroplasticity. London, England: Psychology Press. ISBN 9781841690216. 
  2. ^ Rakic, P. (January 2002). "Neurogenesis in adult primate neocortex: an evaluation of the evidence". Nature Reviews Neuroscience. 3 (1): 65–71. doi:10.1038/nrn700. PMID 11823806. 
  3. ^ Hubel, D.H.; Wiesel, T.N. (February 1, 1970). "The period of susceptibility to the physiological effects of unilateral eye closure in kittens". The Journal of Physiology. 206 (2): 419–436. PMC 1348655alt=Dapat diakses gratis. PMID 5498493. 
  4. ^ Ponti, Giovanna; Peretto, Paolo; Bonfanti, Luca; Reh, Thomas A. (2008). Reh, Thomas A., ed. "Genesis of Neuronal and Glial Progenitors in the Cerebellar Cortex of Peripuberal and Adult Rabbits". PLoS ONE. 3 (6): e2366. doi:10.1371/journal.pone.0002366. PMC 2396292alt=Dapat diakses gratis. PMID 18523645. 
  5. ^ Chaney, Warren, Dynamic Mind, 2007, Las Vegas, Houghton-Brace Publishing, pp 33-35, ISBN 0-9793392-0-0 [1]
  6. ^ Chaney, Warren, Workbook for a Dynamic Mind, 2006, Las Vegas, Houghton-Brace Publishing, halaman 44, ISBN 0 0979339219 [2]
  7. ^ "The Principles of Psychology", William James 1890, Chapter IV, Habits
  8. ^ LeDoux, Joseph E. (2002). Synaptic self: how our brains become who we are. New York, United States: Viking. hlm. 137. ISBN 0670030287. 
  9. ^ Buonomano, Dean V.; Merzenich, Michael M. (1998). "CORTICAL PLASTICITY: From Synapses to Maps". Annual Review of Neuroscience. 21: 149–186. doi:10.1146/annurev.neuro.21.1.149. PMID 9530495. 
  10. ^ Wall, J.T.; Xu, J.; Wang, X. (2002). "Human brain plasticity: an emerging view of the multiple substrates and mechanisms that cause cortical changes and related sensory dysfunctions after injuries of sensory inputs from the body". Brain Research Reviews. Elsevier Science B.V. 39 (2–3): 181–215. doi:10.1016/S0165-0173(02)00192-3. PMID 12423766.