Pencucian hijau
Pencucian hijau[1][2] merupakan bentuk praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu dari pemasaran hijau. Praktik ini digunakan untuk meyakinkan masyarakat bahwa produk, tujuan, dan kebijakan suatu organisasi atau perusahaan seolah-olah telah menjalankan praktik usaha yang ramah lingkungan, sehingga memunculkan citra "baik bagi alam". Pencucian hijau biasanya hadir dalam pemasaran produk makanan dan obat-obatan.[3][4] Praktik pencucian hijau bermacam-macam, mulai dari mengganti nama atau label suatu produk bernuansa lingkungan (contoh, menggunakan kata "natural", "eco", "green", dsb.) sekalipun produk yang dimaksud mengandung bahan kimia berbahaya, hingga kampanye pemasaran yang menggambarkan proses produksi perusahaan yang sangat ramah lingkungan, sekalipun nyatanya sangat memicu polusi.[5][6] Bukti bahwa sebuah organisasi melakukan pencucian hijau sering kali terlihat dari pengeluarannya; secara signifikan lebih banyak uang atau waktu yang dihabiskan untuk mengiklankan bahwa produk mereka "hijau" (dengan kata lain, beroperasi dengan pertimbangan lingkungan) daripada biaya yang dihabiskan untuk mengupayakan proses produksi usahanya benar-benar berwawasan lingkungan.[7]
Walaupun pencucian hijau bukan istilah baru, penggunaannya telah meningkat selama beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya permintaan konsumen akan barang dan jasa yang ramah lingkungan.
Asal-usul istilah
[sunting | sunting sumber]Istilah "pencucian hijau" (greenwashing) diciptakan oleh Jay Westervelt pada 1986 untuk mendeskripsikan praktik industri hotel yang menempatkan plakat di setiap kamar yang mempromosikan penggunaan ulang handuk, yang artinya setiap pelanggan yang menginap tidak mendapat handuk yang benar-benar baru, dengan alasan "menyelamatkan lingkungan". Westervelt mencatat dalam banyak kasus, hanya sedikit atau bahkan nihil upaya untuk mengurangi pemborosan energi atau pengelolaan sampah yang dilakukan oleh para pelaku wisata ini, sebagaimana dibuktikan oleh kurangnya pengurangan biaya yang dilakukan praktik ini. Westervelt berpendapat bahwa tujuan sebenarnya dari "kampanye hijau" ini semata-mata demi pengurangan pengeluaran. Dengan demikian, Westervelt menamakan praktik yang terlihat berwawasan lingkungan namun bertujuan meningkatkan laba ini sebagai pencucian hijau.[8][9][10][11][12][13]
Ada pula istilah "detoksifikasi linguistik" yang menjelaskan ketika, melalui undang-undang atau tindakan pemerintah lainnya, definisi toksisitas untuk zat tertentu diubah, atau nama zat diubah, sehingga lebih sedikit produk yang diklasifikasikan sebagai racun. Asal usul frasa ini diinisiasi aktivis lingkungan dan penulis Barry Commoner.[14]
Sama halnya dengan Skema Perdagangan Emisi Karbon yang mungkin bermaksud baik, tetapi bisa jadi kontraproduktif jika biaya karbon terlalu rendah, atau jika penghasil emisi besar diberikan "kredit gratis." Sebagai contoh, anak perusahaan Bank of America MBNA menawarkan Eco-Logique MasterCard untuk konsumen Kanada. Bank of America memberikan penghargaan kepada pelanggan dengan karbon offset saat mereka terus menggunakan kartu. Namun, hanya 0,5 persen dari harga pembelian digunakan untuk membeli karbon, sementara sisa biaya interchange masih masuk ke bank.[15]
Kampanye dan komunikasi pemasaran ini dirancang untuk mempublikasikan dan menyoroti kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan kepada berbagai pemangku kepentingan, sehingga memperbaiki reputasi perusahaan dan citra merek. Tetapi menjamurnya klaim yang tidak berdasar dan pencucian hijau oleh beberapa perusahaan justru meningkatkan reaksi sinis dan ketidakpercayaan konsumen terhadap klaim tersebut.[16]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ The Age of Persuasion (January 8, 2011). "Season 5: It's Not Easy Being Green: Green Marketing". CBC Radio. Diakses tanggal 8 January 2011.
- ^ "LP: 'The biggest environmental crime in history'". Libertypost.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-06. Diakses tanggal 2009-09-11.
- ^ Kahle, Lynn R.; Gurel-Atay, Eda, ed. (2014). Communicating Sustainability for the Green Economy. M.E. Sharpe. ISBN 9780765636812.
- ^ Marquis, Christopher; Qian, Cuili (2014). "Corporate Social Responsibility Reporting in China: Symbol or Substance?". Organization Science (dalam bahasa Inggris). 25 (1): 127–148. doi:10.1287/orsc.2013.0837. ISSN 1047-7039.
- ^ Karliner, Joshua (March 22, 2001). "CorpWatch: A Brief History of Greenwash". Corpwatch.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-09. Diakses tanggal March 23, 2018.
- ^ 24/7 Wall Street (2011-05-25). "Top 10 Greenwashing Companies In America". Huffington Post. Diakses tanggal 2016-07-07.
- ^ "Greenpeace | Greenwashing". Stopgreenwash.org. Diakses tanggal 2016-07-07.
- ^ Motavalli, Jim (2011-02-12). "A History of Greenwashing: How Dirty Towels Impacted the Green Movement". AOL.
- ^ "Grønvaskere invaderer børsen" [Greenwashers invade the market]. EPN.dk (dalam bahasa Danish). Jyllands-Posten. 2008-06-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-05. Diakses tanggal 2012-12-22.
- ^ "Beware of green marketing, warns Greenpeace exec". ABS-CBN News. 2008-09-17. Diakses tanggal 2012-11-14.
- ^ Hayward, Philip (2009-02-01). "The Real Deal? Hotels grapple with green washing". Lodging Magazine online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-05.
- ^ Suryodiningrat, Meidyatama (2008-08-28). "Commentary: When CSR is neither profit nor public good". Jakarta Post online. Diakses tanggal 2012-12-24.
- ^ Romero, Purple (2008-09-17). "ABS-CNB News". Abs-cbnnews.com. Diakses tanggal 2009-09-11.
- ^ Commoner, Barry (1990). "After 20 Years: The Crisis of Environmental Regulation". New Solutions. 1 (1): 22–29. doi:10.2190/ns1.1.g. PMID 22910312.
- ^ "Cashing in on the Environmental". Climate Change Central. 2009-11-13. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-15. Diakses tanggal 2017-12-02.
- ^ Jahdi, Khosro S.; Acikdilli, Gaye (August 2009). "Marketing Communications and Corporate Social Responsibility (CSR): Marriage of Convenience or Shotgun Wedding?". Journal of Business Ethics (dalam bahasa Inggris). 88 (1): 103–113. doi:10.1007/s10551-009-0113-1. ISSN 0167-4544.