Penyelundupan telur ulat sutra ke Kekaisaran Romawi Timur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Penyeludupan telur-telur ulat sutra ke Kekaisaran Bizantium
Jalur sutra
TanggalPertengahan abad ke-6 (552/563 Masehi)
LokasiAsia Tengah
PartisipanDua biarawan
HasilPendirian industri sutra Bizantium

Pada pertengahan abad ke-6 Masehi, dua biarawan, dengan dukungan kaisar Bizantium Yustinianus I, berhasil menyeludupkan telur-telur ulat sutra ke Kekaisaran Bizantium, yang berujung pada pendirian industri sutra Bizantium sendiri. Pengiriman ulat-ulat sutra dari Tiongkok tersebut membolehkan bangsa Bizantium untuk memiliki monopoli sutra di Eropa.[1]

Latar belakang

Ulat-ulat sutra

Sutra, yang mula-mula diproduksi pada milenium keempat oleh bangsa Tiongkok, merupakan sebuah komoditas barang bernilai di sepanjang Jalur Sutra.[2] Pada abad kesatu Masehi, arus sutra sampai ke Kekaisaran Romawi.[2] Dengan kebangkitan Kekaisaran Sasaniyah dan kemudian Peperangan Romawi–Persia, pengimporan sutra ke Eropa semakin sulit dan langka. Bangsa Eropa sangat mengontrol perdagangan di kawasan mereka dan menyendatkan perdagangan pada masa-masa perang.[3] Akibatnya, Kaisar Bizantium Yustinianus I berupaya untuk membuat rute-rute dagang alternatif menuju Sogdiana, yang pada masa itu menjadi pusat penghasil sutra besar:[4] yang satu ke utara melalui Krimea, dan yang satu ke selatan melalui Ethiopia.[5] Kegagalan upaya tersebut membuat Yustinianus I mencari cara lain.

Penjelajahan

Mosaik Yustinianus I

Dua biarawan yang tidak diketahui identitasnya (diyakini anggota Gereja Nestorian[2][5]) yang telah berkotbah kepada umat Kristen di India (Gereja Timur di India), melakukan perjalanan menuju Tiongkok padan tahun 551 Masehi.[6] Saat mereka sampai ke Tiongkok, mereka mengamati metode-metode dalam membesarkan ulat-ulat sutra dan menghasilkan sutra.[6] Hal ini menjadi pengembangan penting, karena bangsa Bizantium sebelumnya berpikir sutra dibuat di India.[7] Pada 552 Masehi, dua biarawan tersebut sampai ke Yustinianus I.[5] Saat pulang untuk memberitahukannya, para biarawan tersebut sepakat untuk membawa ulat-ulat sutra dari Tiongkok.[4] Mereka diyakini berjalan melalui rute utara di sepanjang Laut Hitam, membuat mereka melewati Transkaukasus dan Laut Kaspia.[1]

Karena ulat-ulat sutra dewasa membutuhkan suhu yang ideal,[8] mereka memutuskan untuk mengkontak Sogdiana untuk menyeludupkan ulat-ulat sutra atau setidaknya larva paling muda, yang mereka sembunyikan di dalam batang bambu.[1][5] Semak-semak mulberry, yang menjadi pakan ulat-ulat sutra, diberikan kepada para biarawan tersebut atau siap diimpor ke Kekaisaran Bizantium.[1] Secara keseluruhan, ekspedisi trsebut memakan waktu sekitar dua tahun.[9]

Dampak

Sutra Bizantium

Tak lama setelah ekspedisi tersebut, pabrik-pabrik sutra didirikan di Konstantinopel, Beirut, Antiokhia, Tyre, dan Thebes.[5] Ulat-ulat sutra yang dibawa tersebut membolehkan Kekaisaran Bizantium untuk memiliki monopolis sutra di Eropa. Pengiriman tersebut juga mematahkan monopoli sutra Tiongkok dan Persia.[1] Hasil dari monopoli tersebut adalah kebangkitan ekonomi Bizantium selama 650 tahun berikutnya sampai keruntuhannya pada 1204.[10] Baju-baju sutra, khususnya yang diwarnai ungu kekaisaran, hampir selalu dikenakan bagi kaum elit di Bizantium, dan pemakaian mereka diatur dalam hukum-hukum sumptuer.[2] Produksi sutra di kawasan sekitaran Konstantinopel, terutama di Thrace, utara Yunani, masih berlanjut sampai sekarang.

Lihat pula

Sumber

  1. ^ a b c d e Patrick Hunt. "Late Roman Silk: Smuggling and Espionage in the 6th Century CE". Stanford University. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  2. ^ a b c d "Silk". University of Washington. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  3. ^ Norwich, John (1988), Byzantium: The Early Centuries pg. 265
  4. ^ a b Clare, Israel (1906), Library of Universal History: Mediaeval History pg. 1590
  5. ^ a b c d e Norwich, pg. 266
  6. ^ a b Clare, pg. 1589
  7. ^ Clare, pg. 1587
  8. ^ The Smithsonian on Silk Production
  9. ^ Silk Museum of Lebanon
  10. ^ Muthesius, Anna (2003), Silk in the Medieval World pg. 326