Shinto Negara: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 17: Baris 17:


Istilah "Negara Shinto" kemudian dipakai untuk mengkategorisasikan dan meniadakan praktek-praktek Kekaisaran Jepang yang berkaitan dengan Shinto untuk mendukung ideologi nasionalistik.<ref name="Hardacre" />{{rp|133}}<ref name=":0">{{Cite journal|title = State Shinto in the Lives of the People: The Establishment of Emperor Worship, Modern Nationalism, and Shrine Shinto in Late Meiji|journal = Journal of the American Academy of Religion |date = 2005-12-01 |pages = 1077–1098 |volume = 73 |issue=4 |doi= 10.1093/jaarel/lfi115 |first= Susumu |last= Shimazono |subscription = Yes |registration = Yes |via= [[HighBeam Research]] |accessdate = 1 January 2016 |url= https://www.highbeam.com/doc/1P3-1769672281.html}}</ref>{{rp|97}} Dengan menolak untuk melarang praktek-praktek Shinto sekaligus, [[Konstitusi Jepang|konstitusi pasca-perang Jepang]] kemudian dapat memberikan Kebebasan Beragama penuh.<ref name="Hardacre" />{{rp|133}}
Istilah "Negara Shinto" kemudian dipakai untuk mengkategorisasikan dan meniadakan praktek-praktek Kekaisaran Jepang yang berkaitan dengan Shinto untuk mendukung ideologi nasionalistik.<ref name="Hardacre" />{{rp|133}}<ref name=":0">{{Cite journal|title = State Shinto in the Lives of the People: The Establishment of Emperor Worship, Modern Nationalism, and Shrine Shinto in Late Meiji|journal = Journal of the American Academy of Religion |date = 2005-12-01 |pages = 1077–1098 |volume = 73 |issue=4 |doi= 10.1093/jaarel/lfi115 |first= Susumu |last= Shimazono |subscription = Yes |registration = Yes |via= [[HighBeam Research]] |accessdate = 1 January 2016 |url= https://www.highbeam.com/doc/1P3-1769672281.html}}</ref>{{rp|97}} Dengan menolak untuk melarang praktek-praktek Shinto sekaligus, [[Konstitusi Jepang|konstitusi pasca-perang Jepang]] kemudian dapat memberikan Kebebasan Beragama penuh.<ref name="Hardacre" />{{rp|133}}

==Definisi==
[[Berkas:Meiji-tenno_among_kami_and_emperors.JPG|thumb|300x300px|Engravir tahun 1878 karya [[Toyohara Chikanobu]] (1838–1912) yang secara visual mempersembahkan bagian utama dari Negara Shinto (1871–1946). Ragam Shinto tersebut menyertai dan mempromosikan kepercayaan akan keilahian Kaisar, yang timbul dari silsilah keluarga yang bermula dari kaisar pertama dan para dewa paling berpengaruh dari mitologi Jepang.]]

Definisi Negara Shinto mengharuskan pembedaan dari istilah "Shinto," yang merupakan satu aspek dari serangkaian simbol nasionalis yang terintegrasi dalam ideologi Negara Shinto.<ref name=Fridell>{{cite journal|last1=Fridell|first1=Wilbur M.|title=A Fresh Look at State Shinto|journal=Journal of the American Academy of Religion|date=1976|volume=XLIV|issue=3|pages=547–561|doi=10.1093/jaarel/XLIV.3.547|subscription=yes|postscript={{ODNBsub}}}}</ref>{{rp|547}}<ref name=Woodard>{{cite book|last1=Woodard|first1=William|title=The Allied Occupation of Japan, 1945–1952, and Japanese Religions|date=1972|publisher=EJ Brill|location=Leiden|page=11}}</ref> Meskipun beberapa cendekiawan seperti Woodard dan Holtom,<ref name=Woodard /><ref name=Holtom /> dan Pengarahan Shinto itu sendiri memakai istilah "Kuil Shinto" dan "Negara Shinto" secara bergantian, kebanyakan cendekiawan kontemporer memakai istilah "Kuil Shinto" untuk merujuk kepada mayoritas kuil Shinto yang berada di luar pengaruh Negara Shinto, meninggalkan "Negara Shinto" untuk merujuk kepada kuil dan praktek yang ditujukan untuk merefleksikan ideologi negara.<ref name=Fridell />{{rp|547}}

===Penafsiran===
[[Berkas:Macarthur hirohito.jpg|thumb|Kaisar Hirohito dan Jenderal MacArthur, di pertemuan pertama mereka di Kedubes AS, Tokyo, 27 September 1945]]
Secara umum, Negara Shinto merujuk kepada pemakaian praktek Shinto yang terinkorporasi dalam [[nasionalisme Jepang|ideologi nasional]] pada zaman Meiji yang bermula pada 1868.<ref name=":0" />{{rp|100}} Ini seringkali dideskripsikan sebagai ideologi atau praktek yang terinspirasi Shinto dan didukung negara yang bertujuan untuk menginspirasi integrasi, persatuan, dan loyalitas nasional.<ref name="Beckford">{{cite book|last1=Beckford|first1=edited by James A.|last2=III|first2=N.J. Demerath|title=The SAGE handbook of the sociology of religion|date=2007|publisher=SAGE Publications|location=London|isbn=9781446206522}}</ref>{{rp|700}} Negara Shinto juga dimengerti untuk merujuk kepada ritual dan ideologi negara dari [[pemujaan kekaisaran|pemujaan kaisar]], yang tak menjadi tujuan tradisional dari Shinto<ref name="Beckford" />{{rp|699}} — dari 124 [[Daftar Kaisar Jepang|kaisar Jepang]], hanya 20 yang memiliki kuil terdedikasi.<ref name="Ono">{{cite book|last1=Ono|first1=Sokyo|last2=Woodward|first2=Walter|title=Shinto, the Kami way|date=2003|publisher=C.E. Tuttle|location=Boston, Ma.|isbn=9780804835572|edition=1.}}</ref>{{rp|80}}

"Negara Shinto" bukanlah perancangan resmi untuk praktek atau keyakinan apapun di Kekaisaran Jepang pada masa tersebut. Sebagai gantinya, ini berkembang pada akhir perang untuk mendeskripsikan perpaduan dukungan negara untuk kegiatan kuil non-relijius dan dukungan ideologi untuk kebijakan [[Kokutai]] dalam pendidikan, yang meliputi pelatihan seluruh pendeta kuil.<ref name=":0" />{{rp|100}} Ini mengijinkan bentuk Shinto relijius tradisional untuk merefleksikan posisi Negara Shinto tanpa kontrol langsung dari negara.<ref name=":0" />{{rp|100}} Kepastian apakah pemujaan Kaisar didukung oleh masyarakat masih belum jelas, meskipun para cendekiawan seperti Ashizu Uzuhiko, Sakamoto Koremaru, dan Nitta Hitoshi berpendapat bahwa pendanaan dan kontrol kuil-kuil oleh pemerintah tak pernah mendorong untuk membenarkan sebuah klaim untuk keberadaan Negara Shinto.<ref name=":0" /><ref name="Keene" />{{rp|118}} Keberadaan dukungan masyarakat untuk tindakan-tindakan yang dikategorisasikan sebagai "Negara Shinto" adalah bahan perdebatan.<ref name=":0" />{{rp|94}}

Beberapa otoritas Shinto kontemporer menolak konsep Negara Shinto, dan berniat untuk merestorasi unsur-unsur dari praktek tersebut, seperti menamakan periode-periode waktu berdasarkan pada Kaisar.<ref name="Earhart">{{cite book|last1=Earhart|first1=H. Byron|title=Religion in the Japanese experience: sources and interpretations|date=1974|publisher=Dickenson Pub. Co.|location=Encino, Calif.|isbn=0822101041|edition=3rd }}</ref>{{rp|119}} Pandangan tersebut seringkali memandang "Negara Shinto" secara murni sebagai penemuan "Pengarahan Shinto" dari Amerika Serikat.<ref name="Keene" />{{rp|119}}


==Referensi==
==Referensi==

Revisi per 22 Agustus 2018 18.26

Uang kertas 50 sen Kekaisaran Jepang dengan Kuil Yasukuni

Negara Shintō (国家神道 atau 國家神道, Kokka Shintō) mendeksripsikan penggunaan ideologi Kekaisaran Jepang terhadap tradisi rakyat asli dari Shinto.[1]:547 Negara sangat mendorong praktek-praktek Shinto untuk menjadikan Kaisar sebagai sosok ilahi,[2]:8 yang memegang kontrol keuangan kuil dan rezim terlatih untuk para pendeta.[3][4]:59[5]:120

Ideologi Negara Shinto timbul pada permulaan era Meiji, setelah para pejabat pemerintah menolak kebebasan beragama dalam Konstitusi Meiji.[6]:115 Para cendekiawan kekaisaran meyakini bahwa Shinto merefleksikan fakta sejarah dari asal usul keilahian Kaisar ketimbang keyakinan agama, dan berpendapat bahwa ini harus meraih hubungan yang diutamakan dengan negara Jepang.[2]:8[4]:59 Pemerintah berpendapat bahwa Shinto adalah sebuah tradisi moral non-relijius dan praktik patriotik.[4]:59[5]:120 Meskipun upaya-upaya era Meiji awal untuk menyatukan Shinto dan negara mengalami kegagalan,[6]:51 konsep non-relijius dari ideologi Shinto dimasukkan ke dalam birokrasi negara.[7]:547[8] Kuil-kuil didefinisikan sebagai patriotik, bukan agama, institusi yang memegang keperluan negara seperti menghormati korban tewas pada masa perang.[6]:91

Negara tersebut juga mengintegrasikan kuil-kuil lokal ke dalam fungsi politik, terkadang menimbulkan penentangan dan penarikan lokal.[5]:120 Dengan sedikit kuil yang didanai oleh negara, nyaris 80,000 kuil ditutup atau digabung dengan wilayah tetangga.[6]:98[7]:118 Beberapa kuil dan organisasi kuil mulai secara sendiri-sendiri mendorong pengarahan negara, tanpa pendanaan.[7]:114 Pada 1940, para pendeta Shinto mengalami penganiayaan karena menampilkan upacara Shinto "relijius" tradisional.[6]:25[9]:699 Kekaisaran Japan tak menggambarkan perbedaan antara ideologi Shinto dan Shinto tradisional.[7]:100

Para pemimpin militer AS memperkenalkan istilah "Negara Shinto" untuk membedakan ideologi negara tersebut dari praktek-praktek Shinto tradisional[2]:38 dalam Pengarahan Shinto tahun 1945.[2]:38 Dekrit tersebut menganggap Shinto sebagai agama, dan melarang pemakaian ideologi lebih lanjut dari Shinto oleh negara.[9]:703 Kontroversi masih terjadi mengenai pemakaian simbol-simbol Shinto dalam fungsi-fungsi negara.[3]:428[9]:706[10]

Asal usul istilah

Shinto adalah perpaduan praktek foklor Jepang asli, kebiasaan istana, dan pemujaan roh yang bermula dari setidaknya 600 Masehi.[7]:99 Keyakinan tersebut disatukan sebagai "Shinto" pada era Meiji (1868-1912),[6]:4[11] meskipun Kronik Jepang (日本書紀, Nihon Shoki) mula-mula menyebut istilah tersebut pada abad kedelapan. Shinto tak memiliki doktrin atau pendiri, namun tergambar dari serangkaian mitos penciptaan yang dikisahkan dalam kitab-kitab seperti Kojiki.[12]:9

"Pengarahan Shinto" tahun 1945 dari Markas Besar Umum Amerika Serikat memperkenalkan sebutan "Negara Shinto" saat mereka mulai memerintah Jepang setelah perang dunia kedua. Pengarahan Shinto, (nama resmi "Peniadaan Pensponsoran, Dukungan, Perpetuasi, Kontrol dan Desminasi Negara Shinto") mendefinisikan Negara Shinto sebagai "cabang Shinto (Kokka Shinto atau Jinja Shinto) yang, menurut undang-undang resmi pemerintah Jepang, dibedakan dari agama Sekte Shinto (Shuha Shinto atau Kyoha Shinto) dan diklasifikasikan menjadi kultus nasional non-relijius."[2]:41–42

Istilah "Negara Shinto" kemudian dipakai untuk mengkategorisasikan dan meniadakan praktek-praktek Kekaisaran Jepang yang berkaitan dengan Shinto untuk mendukung ideologi nasionalistik.[6]:133[7]:97 Dengan menolak untuk melarang praktek-praktek Shinto sekaligus, konstitusi pasca-perang Jepang kemudian dapat memberikan Kebebasan Beragama penuh.[6]:133

Definisi

Engravir tahun 1878 karya Toyohara Chikanobu (1838–1912) yang secara visual mempersembahkan bagian utama dari Negara Shinto (1871–1946). Ragam Shinto tersebut menyertai dan mempromosikan kepercayaan akan keilahian Kaisar, yang timbul dari silsilah keluarga yang bermula dari kaisar pertama dan para dewa paling berpengaruh dari mitologi Jepang.

Definisi Negara Shinto mengharuskan pembedaan dari istilah "Shinto," yang merupakan satu aspek dari serangkaian simbol nasionalis yang terintegrasi dalam ideologi Negara Shinto.[1]:547[13] Meskipun beberapa cendekiawan seperti Woodard dan Holtom,[13][14] dan Pengarahan Shinto itu sendiri memakai istilah "Kuil Shinto" dan "Negara Shinto" secara bergantian, kebanyakan cendekiawan kontemporer memakai istilah "Kuil Shinto" untuk merujuk kepada mayoritas kuil Shinto yang berada di luar pengaruh Negara Shinto, meninggalkan "Negara Shinto" untuk merujuk kepada kuil dan praktek yang ditujukan untuk merefleksikan ideologi negara.[1]:547

Penafsiran

Kaisar Hirohito dan Jenderal MacArthur, di pertemuan pertama mereka di Kedubes AS, Tokyo, 27 September 1945

Secara umum, Negara Shinto merujuk kepada pemakaian praktek Shinto yang terinkorporasi dalam ideologi nasional pada zaman Meiji yang bermula pada 1868.[7]:100 Ini seringkali dideskripsikan sebagai ideologi atau praktek yang terinspirasi Shinto dan didukung negara yang bertujuan untuk menginspirasi integrasi, persatuan, dan loyalitas nasional.[9]:700 Negara Shinto juga dimengerti untuk merujuk kepada ritual dan ideologi negara dari pemujaan kaisar, yang tak menjadi tujuan tradisional dari Shinto[9]:699 — dari 124 kaisar Jepang, hanya 20 yang memiliki kuil terdedikasi.[12]:80

"Negara Shinto" bukanlah perancangan resmi untuk praktek atau keyakinan apapun di Kekaisaran Jepang pada masa tersebut. Sebagai gantinya, ini berkembang pada akhir perang untuk mendeskripsikan perpaduan dukungan negara untuk kegiatan kuil non-relijius dan dukungan ideologi untuk kebijakan Kokutai dalam pendidikan, yang meliputi pelatihan seluruh pendeta kuil.[7]:100 Ini mengijinkan bentuk Shinto relijius tradisional untuk merefleksikan posisi Negara Shinto tanpa kontrol langsung dari negara.[7]:100 Kepastian apakah pemujaan Kaisar didukung oleh masyarakat masih belum jelas, meskipun para cendekiawan seperti Ashizu Uzuhiko, Sakamoto Koremaru, dan Nitta Hitoshi berpendapat bahwa pendanaan dan kontrol kuil-kuil oleh pemerintah tak pernah mendorong untuk membenarkan sebuah klaim untuk keberadaan Negara Shinto.[7][5]:118 Keberadaan dukungan masyarakat untuk tindakan-tindakan yang dikategorisasikan sebagai "Negara Shinto" adalah bahan perdebatan.[7]:94

Beberapa otoritas Shinto kontemporer menolak konsep Negara Shinto, dan berniat untuk merestorasi unsur-unsur dari praktek tersebut, seperti menamakan periode-periode waktu berdasarkan pada Kaisar.[2]:119 Pandangan tersebut seringkali memandang "Negara Shinto" secara murni sebagai penemuan "Pengarahan Shinto" dari Amerika Serikat.[5]:119

Referensi

  1. ^ a b c Fridell, Wilbur M. (1976). "A Fresh Look at State Shinto". Journal of the American Academy of Religion. XLIV (3): 547–561. doi:10.1093/jaarel/XLIV.3.547. ((Perlu berlangganan (help))berlangganan atau keanggotan Perpustakaan Umum Britania Raya diperlukan 
  2. ^ a b c d e f Earhart, H. Byron (1974). Religion in the Japanese experience: sources and interpretations (edisi ke-3rd). Encino, Calif.: Dickenson Pub. Co. ISBN 0822101041. 
  3. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Shibata
  4. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Zhong
  5. ^ a b c d e Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Keene
  6. ^ a b c d e f g h Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hardacre
  7. ^ a b c d e f g h i j k Shimazono, Susumu (2005-12-01). "State Shinto in the Lives of the People: The Establishment of Emperor Worship, Modern Nationalism, and Shrine Shinto in Late Meiji". Journal of the American Academy of Religion. 73 (4): 1077–1098. doi:10.1093/jaarel/lfi115. Diakses tanggal 1 January 2016 – via HighBeam Research. ((Perlu berlangganan (help)). 
  8. ^ Sakamoto, Koremaru (1993). Kokka Shinto taisei no seiritsu to tenkai. Tokyo: Kobunda. hlm. 165–202. 
  9. ^ a b c d e Beckford, edited by James A.; III, N.J. Demerath (2007). The SAGE handbook of the sociology of religion. London: SAGE Publications. ISBN 9781446206522. 
  10. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Loo
  11. ^ Nakai, Kate Wildman (1 January 2012). "A New History of Shinto, and: Rethinking Medieval Shintō. Special issue of Cahiers d'Extrême-Asie (16) (review)". Monumenta Nipponica. 67 (1): 159–164. doi:10.1353/mni.2012.0014. ISSN 1880-1390 – via Project MUSE (perlu berlangganan)  
  12. ^ a b Ono, Sokyo; Woodward, Walter (2003). Shinto, the Kami way (edisi ke-1.). Boston, Ma.: C.E. Tuttle. ISBN 9780804835572. 
  13. ^ a b Woodard, William (1972). The Allied Occupation of Japan, 1945–1952, and Japanese Religions. Leiden: EJ Brill. hlm. 11. 
  14. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Holtom