Soekertijo
Soekertijo | |
---|---|
Panglima Komando Daerah Militer XVI/Udayana ke-6 | |
Masa jabatan 1966–1970 | |
Pendahulu Brigjen TNI Sjafiudin | |
Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman ke-5 | |
Masa jabatan 1970–1971 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Soekertijo 8 November 1926 Lumajang, Probolinggo, Keresidenan Pasuruan, Hindia Belanda (kini Lumajang, Jawa Timur) |
Meninggal | 11 November 1985 Jakarta, Indonesia | (umur 59)
Tempat tinggal | Indonesia |
Pekerjaan | Tentara |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1944-1979 |
Pangkat | Mayor Jenderal TNI |
NRP | 16186 |
Satuan | Infanteri |
Sunting kotak info • L • B |
Mayjen TNI (Purn.) Soekertijo (8 November 1926 – 11 November 1985) adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjadi Panglima Komando Daerah Militer XVI/Udayana periode 1966-1970, Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman periode 1970-1971 dan Asisten Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Darat periode 1971-1974.
Kehidupan Pribadi
[sunting | sunting sumber]Soekertijo adalah nama sejak lahir namun ejaan sekarang menjadi Sukertiyo. Lahir di Lumajang tanggal 8 November 1926 dan meninggal di Jakarta (usia 59 tahun) pada tanggal 11 November 1985, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata (Blok R no 115).[1] Pendidikan Sekolah Dasar H.I.S di Lumajang dan SMP di Probolinggo (pada zaman penjajahan Belanda) kemudian tahun 1944 mengikut pendidikan shodanco (Komandan Pleton) PETA (Pembela Tanah Air) pada saat pendudukan Jepang.
Karier Militer
[sunting | sunting sumber]Tentara Pembela Tanah Air (PETA)
[sunting | sunting sumber]Sukertiyo yang saat itu berusia 17 tahun berangkat ke Bogor pada bulan April 1944 bersama beberapa orang kawan, diantaranya adalah Suwandak (gugur di Lumajang), Suyoso (gugur), Suwignyo (mantan Bupati Malang), Sumitro (Jenderal). Berangkat dari Probolinggo menuju Malang dengan kereta api dan di Malang ditampung di asrama Panderman. Lalu berangkat ke Surabaya karena harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan sore harinya naik kereta api berangkat ke Bogor dan setibanya di Bogor bertemu dengan kawan-kawan dari kota-kota lain.
Selama menjalani latihan digembleng habis-habisan, setiap hari diberi latihan lari yang semakin lama bertambah jauh dan juga latihan lapangan terus menerus, dimulai dari latihan perorangan, latihan tingkat regu, latihan tingkat peleton sampai latihan tingkat kompi, hampir tidak ada teori selama empat bulan itu.
Pendidikan PETA memberi semangat membela tanah air. Semakin berat latihan semakin tebal semangat berperang sebagai prajurit. Kalau nanti berperang tidak kenal menyerah dan wajib bertempur sampai mati.
Selesai pendidikan kemudian dilantik di lapangan Ikada, Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1944 serta mengucapkan janji atau semacam sumpah wajib yaitu : Mengabdi, Keberanian prajurit, Sopan santun dan Sederhana. Selesai dilantik kemudian kembali ke Probolinggo bergabung di Daidan Probolinggo merupakan Batalion 5 Karesidenan Malang.
Pada suatu hari Sukertiyo menerima kartu pos dari Lumajang yang mengabarkan bahwa ibunya telah meninggal dunia pada 7 Juli 1944 dan sudah dimakamkan. Kemudian Sukertiyo minta izin pulang tetapi tidak diperbolehkan, hanya diberi uang duka sebesar dua puluh sen, itupun harus disimpan di Bank.
Tahun 1945 Amerika menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki sehingga membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya serta harus keluar dari wilayah jajahannya termasuk Indonesia. Pada akhirnya Indonesia dapat memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh sebab itu tentara PETA dibubarkan.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat
[sunting | sunting sumber]Setelah tentara PETA bubar, Sukertiyo kembali ke Lumajang dan tidak lama kemudian pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang terdiri dari mantan anggota PETA, Heiho dan lain-lain. Terbentuklah Batalion Lumajang dengan komandan batalion yaitu Mayor dr.Soedjono sedangkan Sukertiyo mendapat pangkat Letnan Dua dan menjadi komandan Seksi yang ikut serta melucuti tentara Jepang. Tak lama kemudian BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) lalu berubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Pangkat Sukertiyo dinaikkan menjadi Letnan Satu sekaligus menjadi komandan Kompi dengan sebutan KOMPI SUKERTIYO. Kemudian pimpinan Angkatan Perang mengubah nama TRI menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Agresi Militer Belanda I dan II
[sunting | sunting sumber]Sejak September 1945 tentara sekutu mendarat di Surabaya untuk mengurusi tawanan tentara Jepang namun tentara Belanda ikut menyusup kedalam tentara sekutu karena ingin kembali menguasai Indonesia. Arek-arek Suroboyo berontak karena tidak menghendaki kedatangan tentara sekutu sehingga terjadilah Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang kemudian berlanjut menjadi Perang Kemerdekaan untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Setiap daerah ikut membantu mengirim pasukan ke Surabaya termasuk juga Batalion Lumajang, Divisi VII / Untung Surapati yang diberi tugas menyerang daerah Sepanjang dan menduduki daerah Gubeng. Pertempuran berlangsung terus sehingga pengiriman pasukan silih berganti dengan tujuan Surabaya, Wonokromo, Gedangan, Tanggulangin dan terakhir ke Porong, Gempol dan Bangil yang merupakan penugasan yang ke-13 kalinya.
Agresi Militer Belanda dimulai dengan terus menerus mengirim pasukan dengan mendaratkan tentaranya di Probolinggo, Pasuruan dan Pasir Putih pada tanggal 21 Juli 1947 dengan tujuan menduduki Jember, Lumajang dan Malang.
Pada saat itu sebagian besar anggota batalion sedang cuti selama 3 hari sepulangnya dari front Surabaya sehingga semua Staff dan Komandan Kompi keatas tidak boleh meninggalkan kota Lumajang. Markas Batalion dan seluruh Kompi dipindahkan ke Sukodono, Wonokerto, Tempeh dan Tempursari / Pronojiwo.
Kompi Soewandak dengan kekuatan 2 regu mengadakan serangan malam terhadap musuh di jembatan Drandang dan Kompi Sukertiyo dengan kekuatan 1,5 regu berusaha menghadang gerakan pasukan musuh di perlintasan kereta api Klakah, namun kekuatan musuh dengan kendaraan Lapis bajanya berhasil masuk ke kota Lumajang pada 22 Juli 1947.
Kakak kandung Sukertiyo bernama Cokrosujono yang saat itu menjadi Camat Ranuyoso merupakan korban pertama dari penyerbuan tentara Belanda ke Lumajang, beliau gugur sebagai pahlawan.
Perjanjian Renville tidak dipatuhi Belanda, pada 19 Desember 1948 pasukan musuh mulai mengadakan serangan kepada kompi Soekertijo dan kompi lainnya yang ditugaskan menjaga daerah perbatasan Malang-Kepanjen. Sehingga keluar perintah untuk memasuki kembali daerah basis gerilya yang telah lama ditinggalkan atau dikenal dengan istilah Wingate action.
Letkol. Moch Sruji yang ketika itu berada di Blitar, bersama Mayor Safiudin dan pasukannya bergerak lewat utara melalui gunung Kobong, Penanggal, Kloposawit, Gucialit, Wates, Aeng songo. Setelah sempat mengalami pertempuran hebat dengan tentara Belanda di Karangkedawung, Moch Sruji terbunuh bersama dr. Subandi dan beberapa pasukannya.
Desa Tempursari merupakan jalan satu-satunya yang terpendek untuk masuk ke daerah Besuki dari Semeru Selatan namun hanya dapat dilakukan oleh pasukan besar karena dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Kompi Sukertiyo bergerak menerobos gunung Kobong melewati gunung Sawur dan Kertosari yang dilakukan pada siang hari. Sebelum memasuki daerah basis, kompi menyerang kota Lumajang, menyerang pos-pos kecil di Kunir, Yosowilangun, Gemitri dan melucuti senjatanya., membakar kebun tebu milik Belanda, menggulingkan kereta pengangkut gula Jatiroto. Kompi berhasil merampas 20 pucuk senjata. Supaya tidak terjebak oleh musuh, kompi melakukan mobilitas tinggi dengan gerakan pasukan berputar menjelajahi daerah gunung Sawur (lereng Semeru), Lumajang Timur sepanjang pantai selatan dari Gondoruso sampai Maleman, daerah Kencong dan Karangbayat (gunung Argopuro).
Pada Agustus 1949 gerakan pasukan musuh mulai mengendor dengan dimulainya perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar). Setelah selesai KMB, Belanda harus meninggalkan wilayah yang dikuasai dan menyerahkan kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak saat itu maka berakhirlah penjajahan Belanda diatas bumi Indonesia selama 350 tahun dan TNI berhasil menebus kekalahan perang melawan Belanda pada saat perang Diponegoro, Sultan Agung dan lain-lainnya.
Kompi Sukertiyo selalu bekerja sama dengan kompi Suwandak, kompi Suwignyo, kompi Moch Yasir, pasukan Mujahidin pimpinan Kyai Ilyas, Barisan Maling, Palang Merah dan lain-lain.
Nama-nama yang ikut berjuang antara lain : dr. Sujono, Moch Wiyono, Moch Sruji, dr.Subandi, Nailun Hamam, Wachman, Santoso, Joko Hadisuprapto, Suyoso, Suwadi, Kamari Sampurno, Syaifudin, Winoto, Sumitro, Sulam Syamsun, Warouw, Abd Manan, Sabar Sutopo, Magenda, Rivai, Mujitahid, Bambang Utoyo, Maksum, Suhariyo, Abdul Muchni, Bagiyo Sukarjo, Jonodo, Naam, Saparin, Amir, Jalal, Nungki, Slamet Wardoyo, Hasan, Suwono, Adi Kusumo, Wirasad dan lain-lain.
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, bulan Desember 1949 Sukertiyo ditugaskan sebagai Kepala Staf (sekarang Wakil Komandan) Batalion 30 di Malang dengan pangkat Kapten dan bersiap menyongsong tugas-tugas ketentaraan setelah perang kemerdekaan berakhir.
Riwayat Jabatan
[sunting | sunting sumber]- Komandan Kompi Soekertijo, Batalyon Lumajang, Resimen 39 Divisi VII / Untung Suropati (1945-1948)
- Komandan Kompi Soekertijo, Batalyon 31, Brigade IV Divisi I / Brawijaya (1948-1949)
- Kepala Staf Batalyon 30, Brigade XXVIII Divisi I / Brawijaya (1949-1950)
- Komandan Batalyon 31, Brigade IV Divisi I / Brawijaya (1950)
- Komandan Yonif 702, Komando Pasukan A T&T VII / Indonesia Timur (1950-1952)
- Komandan Yonif 702, Resimen Infanteri 25 T&T VII / Wirabuana (1952-1953)
- Perwira Siswa di Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat, Bandung (1953-1954)
- Komandan Yonif 528 Resimen Infanteri 18 T&T V / Brawijaya (1954-1959)
- Kepala Staf Resimen Infanteri 16 T&T V / Brawijaya (1959-1961)
- Komandan Resimen Infanteri 16 T&T V / Brawijaya (1961-1963)
- Perwira Siswa di Kursus Reguler III Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat, Bandung (1963-1964)[1]
- Asisten I (Intelijen) dan Asisten V (Teritorial) Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia Timur (1964-1966)
- PS Kepala Staf Komando Daerah Militer VIII/Brawijaya (1966)[1]
- Panglima Komando Daerah Militer XVI/Udayana (21 Agustus 1966 - 26 Maret1970)
- Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman (31 Maret 1970 - 10 November 1971)[1]
- Asisten IV/Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Darat (30 Oktober 1971 - 25 Februari 1974)[1]
- Pembantu Pribadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (1974-1979)
- Pensiun (1979)
Riwayat Kepangkatan
[sunting | sunting sumber]- Letnan Dua Inf (1945-1946)
- Letnan Satu Inf (1946-1949)
- Kapten Inf (1949-1955)
- Mayor Inf (1955-1961)
- Letnan Kolonel Inf (1961-1964)
- Kolonel Inf (1964-1966)
- Brigadir Jenderal TNI (1966-1971)
- Mayor Jenderal TNI (1971-1979)
Wafat
[sunting | sunting sumber]Soekertyo wafat di Jakarta pada tanggal 11 November 1985 bertepatan dengan 4 hari setelah hari ulang tahunnya yang ke 59 Tahun kemudian jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f Bachtiar, Harsya W. (1988). Siapa dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta. hlm. 356. ISBN 9789794281000.