Lompat ke isi

Tawang Kampung, Mendawai, Katingan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tewang Kampung
Negara Indonesia
ProvinsiKalimantan Tengah
KabupatenKatingan
KecamatanMendawai
Kode pos
74464
Kode Kemendagri6206092004
Luas59.200 km2
Jumlah penduduk635 jiwa
Kepadatan...jiwa/km2
Jumlah KK191 KK
Situs webtewangkampung.desa.id
Peta
PetaKoordinat: 2°52′27.26″S 113°22′41.63″E / 2.8742389°S 113.3782306°E / -2.8742389; 113.3782306


Tewang Kampung adalah desa di Kecamatan Mendawai, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Indonesia.

Sejarah singkat asal muasal nama Desa Tewang Kampung menurut cerita tutur dari tetua masyarakat, sejarah Desa Tewang Kampung telah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ada. Konon ceritanya dahulu kala di Desa Tewang Kampung sekarang dihuni oleh orang-orang Suku Dayak Duhoi, berkepercayaan Kaharingan. Waktu itu pusat pemukiman warga terletak di Sungai Palara.

Bahkan ceritanya lagi nama Tewang Kampung berasal dari nama pasangan suami isteri yang merupakan Pemimpin/Demang waktu itu (saat ini Damang/kepala adat suku dayak). Demang Tewang adalah nama dari sang suami, Nyai Kampung adalah nama dari sang isteri. Konon kabarnya lagi pasangan belum dikaruniai anak setelah sekian lama menikah. Sebagai Kepala Desa atau Demang tidak mempunyai anak adalah masalah yang menimbulkan kesedihan tersendiri bagi pasangan suami isteri itu. Karena tidak ada keturunan yang bisa diharapkan untuk menjadi penerus mereka. Ceritanya pula suami isteri itu memiliki kesaktian yang sangat tinggi dan senjata yang sangat hebat sehingga sulit dikalahkan oleh musuh-musuhnya, disegani oleh kawan maupun lawan. Senjata yang mereka pergunakan adalah sejenis ambang/mandau yang dibuat seperti gunting, dan jika dipakai membunuh lawan, lawan tidak sempat menghindar karena cepatnya gerakan Demang Tewang maupun isterinya itu. Sebagai pasangan yang belum dikaruniai anak, tentu saja keinginan terbesar mereka adalah ingin memiliki anak.

Sebagai pasangan yang saling mencintai, tidak mungkin bagi Demang Tewang untuk mencari isteri baru demi untuk mendapatkan keturunan. Setelah berbagai usaha dicoba tidak membuahkan hasil, sementara usia semakin menua, tinggal satu upaya terakhir yang belum dicoba, yaitu meminta secara khusus kepada Ranying Hatala, secara ritual mereka meminta, namun dijawab melalui mimpi, bisa saja mereka diberi anak tapi dengan tumbal. Tumbalnya adalah setelah anak itu lahir salah satu diantara mereka akan diambil ke Alam Gaib/Begawan.

Singkat cerita, setelah persyaratan itu disetujui, maka hamil-lah Nyai Kampung, melahirkan (namun tidak diketahui jenis kelamin anak mereka). Begitulah, sebagai manusia biasa selalu saja bisa lupa akan janji yang telah terucap, tapi janji harus segera ditepati, lewat isyarat mimpi-mimpi yang datang berkali-kali mereka kembali diingatkan.

Pilihan yang sulit memang, tapi semuanya harus dilaksanakan. Akhirnya Nyai Kampung pun berketetapan hati bahwa dialah yang harus menjadi penebus janji demi sebagai wujud cinta pada anak dan suami, dialah sendiri yang akan dipersembahkan sebagai tanda terima kasih pada Ranying Hatala.

Pada suatu saat, ditengah malam yang gelap pekat menjelang pagi, sementara suami dan anak tercinta dan masyarakat sekitar masih dibuai mimpi, Nyai Kampung berpakaian yang indah, memakai semua jenis perhiasan yang belliau punya. Setelah puaskan hati menatap dan mencium sang anak dan suami yang merupakan belahan jiwa jantung hati. Beliau berjalan kemuara Sungai Palara, disitu ada tumbuh pohon Rangas yang besar, tempat ritual sering diadakan acara Manajah Antang. Nyai Kampung naik kepuncak pohon tertinggi, sebelumnya beliau menatap untuk terakhir kalinya Pedukuhan/Dusun dimana dia dan suaminya serta anaknya dan masyarakatnya tinggal. Kemudian Nyai Kampung memekik nyaring atau melahap layaknya orang yang mau memenggal kepala musuh. Nyai Kampung langsung menerjunkan diri dari atas pohon Rangas tersebut, saat itu air dalam keadaan banjir dari ngaju (hulu). Semua orang terbangun, tak terkecuali Demang Tewang dan anaknya, tapi nasi sudah jadi bubur, sang isteri dan juga ibunda tercinta sudah tiada, konon katanya Nyai Kampung menemui suaminya di dalam mimpi dan mengatakan bahwa percuma saja mencari jasadnya, karena dia tidak mati, tapi cuma berpindah ke Alam Gaib atau Begawan.