Lompat ke isi

Tayuban (Kota Salatiga)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertunjukan tayuban dalam Tradisi Saparan di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga

Tayuban adalah suatu kesenian yang diselenggarakan ketika berlangsung tradisi saparan dan digelar sebagai puncak kegiatan dalam rangkaian merti desa atau bersih desa setiap tahun di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Pertunjukan tayuban memang sudah turun-temurun dilaksakan dan akan terus dijaga pelestariannya oleh masyarakat Kelurahan Tegalrejo. Selain memegang peranan penting sebagai bagian dari upacara bersih desa, tayuban juga digunakan sebagai hiburan bagi masyarakat. Unsur kesenian dalam pertunjukan tayuban meliputi ledhek (penari wanita), pengrawit (penabuh gamelan), penjanggrung (laki-laki yang menari bersama dengan ledhek), dan sesajen.[1]

Rangkaian kegiatan saparan

[sunting | sunting sumber]

Kerja bakti dan bersih kubur

[sunting | sunting sumber]

Kegiatan saparan di Kelurahan Tegalrejo diawali dengan kerja bakti dan bersih kubur pada hari Senin sampai dengan Kamis, yang meliputi seluruh wilayah Kelurahan Tegalrejo dan berada di bawah pimpinan ketua RT serta RW masing-masing. Kerja bakti dilaksanakan pada hari Minggu Wage dan dimulai sejak pagi sekitar pukul 07.00 WIB sampai selesai, mulai dari membersihkan rumah masing-masing dari warga, seluruh jalan desa, dan selokan. Bersih kubur yang dimaksud adalah kerja bakti membersihkan Makam Sufi, yaitu makam yang terletak di RT 04/RW 04. Makam tersebut memiliki luas + 800 meter persegi. Dalam kompleks makam ini terdapat makam Kyai Sufi atau Pangeran Purbaya beserta keturunannya. Kyai Sufi seperti telah disebutkan sebelumnya adalah tokoh yang pertama kali babat alas di Kelurahan Tegalrejo. Makam Kyai Sufi terletak di sebelah kiri dari pintu masuk makam. Makam ini berbeda dengan makam lain karena tidak dikijing maupun dicungkup.[2]

Tidak jauh dari makam Kyai Sufi dikuburkan juga anak cucunya, di antaranya Eyang Beruk dan Eyang Singayudha (kepala desa Tegalrejo pertama). Makam anak-cucu Kyai Sufi juga dibangun mendatar tanpa cungkup. Dalam kompleks makam ini, juga terdapat petilasan berupa tiga buah batu yang diyakini pernah digunakan oleh Kyai Sufi untuk beristirahat ketika mengalami kesakitan dalam pelariannya. Batu ini berada di bawah pohon beringin dan tidak dibuatkan bangunan atau tanda secara khusus, dibiarkan begitu saja secara alamiah. Bersih kubur ini pada awalnya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki ahli waris yang dikuburkan di Makam Sufi, terutama keturunan dari Kyai Sufi. Namun, lama-kelamaan kegiatan ini dipandang baik oleh masyarakat setempat dan diikuti oleh masyarakat Kelurahan Tegalrejo yang lain. Makna dari bersih kubur ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal . Dengan membersihkan makamnya secara berkala dan mendoakan, masyarakat mikul dhuwur mendhem jero (mengubur dalam-dalam segala keburukan serta menjunjung tinggi segala kebaikan dan amanatnya). Adapun makna sosial dari bersih desa adalah terjalinnya komunikasi dan kerukunan yang baik di antara warga yang saling berjumpa. Setelah bersih desa selesai dilaksanakan, pada Kamis malam sekitar pukul 19.00 WIB diadakan salat hajat bersama di Masjid Sufi Tegalrejo.[2]

Dandan kali dan doa bersama

[sunting | sunting sumber]

Dandan kali dilaksanakan pada hari Jumat. Dandan kali adalah kegiatan membersihkan Sumur Bandung. Sumur Bandung juga disebut dengan nama Sumur Gandhul oleh masyarakat Kelurahan Tegalrejo, karena lokasinya yang berada di atas sungai. Sumur tersebut terletak di wilayah RT 03/RW 03 dan memiliki kedalaman + 10 meter. Sumur ini dulunya merupakan sumber air satu-satunya yang ada di Kelurahan Tegalrejo, tetapi saat ini jarang digunakan lagi setelah PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) masuk ke Kelurahan Tegalrejo. Dandan kali diawali dengan membersihkan lingkungan dan sungai di sekitar Sumur Bandung. Sampah-sampah dan rerumputan yang tumbuh liar dibersihkan dengan alat yang sudah dipersiapkan. Tembok dan bibir Sumur Bandung dibersihkan dari lumut-lumut yang menempel serta dicat dengan warna putih. Dandan kali merupakan bentuk partisipasi masyarakat terhadap penyelamatan sumber daya alam yang berada di Kelurahan Tegalrejo, terutama pelestarian sumber air. Setelah kebersihan lingkungan sekitar Sumur Bandung dirasa cukup, kegiatan diteruskan dengan menyiapkan perlengkapan sesajen untuk doa bersama. Kegiatan ini diawali dengan penyembelihan ayam jantan oleh modin. Sebagian darah dari ayam tersebut lantas dipercikan di Sumur Bandung, sedangkan sisa darahnya dikubur. Perakitan sesajen dilakukan oleh modin dan juru kunci Makam Sufi. Sesajen Sumur Bandung meliputi sego golong (nasi berbentuk bulat) 15 buah, pisang raja dua sisir, ikan sungai yang dimasak sambal goreng, kerupuk atau peyek kacang/kedelai, ingkung ayam panggang, ketupat, jajan pasar (jenang/dodol, jadah, krasikan, wajik, berondong, klepon, tapai ketan, kedondong, jeruk, mentimun, jambu biji, kacang rebus, cenil, dan bengkuang), cerana (tembakau, sirih yang digulung, gambir, dan rokok), sepotong tebu wulung, serta kembang telon (mawar, cempaka putih, dan kenanga).[3]

Rakitan sesajen tersebut ditempatkan dalam sebuah wadah yang bernama ancak, tampah, atau tambir. Sesajen kemudian dibagi dalam porsi yang lebih kecil menjadi delapan bagian sebagai sesajen buangan. Masing-masing bagian harus mengandung unsur-unsur sesajen di atas. Tujuh bagian dibuang di sepanjang sungai yang ada di Kelurahan Tegalrejo, sedangkan satu lagi ditempatkan di Sumur Bandung. Setiap melaksanakan sesajen buangan selalu disertai dengan rapal atau mantra yang diucapkan oleh juru kunci. Ketika sesaji Sumur Bandung selesai, kegiatan dilanjutkan dengan kenduri bersama yang dilakukan di Sumur Bandung. Sekitar pukul 10.00 WIB, beberapa warga yang ditunjuk oleh panitia Saparan untuk datang dengan membawa ambengan (nasi dengan lauk-pauk). Upacara kenduri dipimpin oleh lurah Tegalrejo dengan pembacaan doa yang diamini oleh warga yang datang. Setelah selesai berdoa, kegiatan selanjutnya dilanjutkan dengan makan ambengan bersama yang dibawa oleh masing-masing warga yang hadir.[4]

Selamatan dan tayuban

[sunting | sunting sumber]

Kegiatan terakhir dalam rangkaian kegiatan saparan di Kelurahan Tegalrejo adalah selamatan dan tayuban yang dilaksanakan pada hari Sabtu. Sebelum diadakan selamatan, sekitar pukul 11.00 WIB juru kunci dan modin menyiapkan dua buah sesajen yang akan diletakkan di ruang kepala desa dan panggung (dekat gamelan) untuk pertunjukan tayuban serta sesajen buangan. Beberapa sesajen buangan diletakkan di perempatan-perempatan jalan dan tempat lain yang dianggap wingit. Bahan sesajen buangan dengan sesajen yang ditempatkan di ruang kepala desa dan gamelan sebenarnya sama, tetapi porsinya saja lebih sedikit. Bahan-bahan dalam sesajen tersebut harus lengkap. Hal ini disebabkan apabila kurang lengkap akan ada kejadian yang tidak diinginkan, misalnya warga kesurupan.[5]

Pada sore hari sekitar pukul 15.00 WIB, beberapa warga yang ditunjuk oleh panitia membawa ambengan ke kantor kelurahan. Sementara itu, kepala desa melalui panitia juga telah menyiapkan ambengan berupa tumpeng lancip dan papak, tumpeng robyong, tumpeng mong-mong, nasi golong, sekul liwet, bubur, jajan pasar, dan pisang raja. Semua ambengan ditata di atas panggung yang akan digunakan untuk tayuban. Setelah semua siap, selamatan dimulai dengan pembacaan doa secara Islam oleh takmir Masjid Sufi dan dilanjutkan dengan makan ambengan bersama. Puncak dari rangkaian kegiatan saparan di Kelurahan Tegalrejo adalah tayuban, yang dimulai pada pukul 20.00 WIB. Masyarakat Kelurahan Tegalrejo beranggapan jika tidak menyelenggarakan tayuban dalam tradisi saparan akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Pertunjukan tayuban dipercaya sebagai upacara kesuburan yang berpengaruh pada melimpahnya hasil panen.[6]

Tujuan masyarakat menyelenggarakan tradisi saparan dengan pertunjukan tayuban pada dasarnya adalah untuk mencari ketenangan dengan memahami tatanan alam dan kehidupan yang harmonis. Kegiatan tersebut merupakan warisan nilai-nilai luhur dan menjadi proses masyarakat untuk lebih memahami dan menghayati kehidupan, serta mendekatkan diri dengan alam dan Tuhan. Selain itu, tayuban sebagai tari ritual, juga diharapkan dapat menumbuhkan budaya spiritual masyarakat dan menjadi sarana dalam melakukan bersih desa.[7]

Secara garis besar, struktur pertunjukan tayuban diatur dengan urutan sebagai berikut.

  • Gendhing-gendhing, yang dilantunkan dengan karawitan dan dimaksudkan untuk mengawali tayuban. Penyajian gending juga bertujuan untuk menyambut tamu yang mulai berdatangan. Gendhing yang disajikan adalah Ladrang Sri Wadada dan Ladrang Mugi Rahayu.[8]
  • Kirab, yang dimulai dari kantor kelurahan menuju panggung pertunjukan. Pasukan kirab terdiri dari cucuk lampah (manggala yuda), pejabat kelurahan, penari tayuban, dan para panitia.[8]
  • Gambyongan, yang berfungsi sebagai pembuka pertunjukan tayuban. Dalam gambyongan para penari saling memperlihatkan keterampilan, keluwesan, dan kecantikan.[9]
  • Tayuban, yang dimulai dengan urutan penjanggrung, yaitu kepala lurah Tegalrejo, pegawai kelurahan dan panitia, tamu undangan, dan masyarakat umum.[8]
  • Penutup, yang dilaksanakan pada pukul 24.00 WIB dengan gendhing Ladrang Mugi Rahayu.[10]

Penari tayuban lebih dikenal dengan sebutan ledhek. Ledhek berperan sebagai penari yang menjadi daya tarik pertunjukan tayuban agar para penonton (terutama laki-laki) tertarik berpartisipasi menari sebagai penjanggrung. Ledhek dalam tradisi Saparan di Kelurahan Tegalrejo biasanya berjumlah empat orang dan tidak memiliki keterikatan dengan pengrawit. Mereka mandiri dan bebas bermain dengan siapa pun. Rias muka yang dikenakan oleh para ledhek umumnya hanya untuk memperindah muka saja, bukan untuk menampilkan watak-watak tertentu. Kesan ini terlihat pada pemberian bedak yang rata pada wajah ledhek tanpa adanya garis-garis tertentu pada wajah. Penebalan garis pada alis hanya untuk menutupi garis alis yang sebenarnya. Pemilihan alat rias yang tepat mampu menghasilkan rias yang bagus dan mempercantik wajah para ledhek. Adapun busana yang dipakai oleh para ledhek harus dapat menampilkan segi estetis dan memperkuat ekspresi gerak tari. Pada dasarnya, pemakaian busana para ledhek memiliki tiga fungsi, yaitu kenyamanan (melindungi tubuh), kesopanan (menutupi tubuh), dan pertunjukan (model yang sedang berkembang). Busana yang beraneka warna dengan paduan kebaya motif batik serta selendang yang beraneka warna pula akan menimbulkan kesan kegembiraan, keramaian, dan kedinamisan. Sesuai dengan fungsi tarian itu sendiri yang berfungsi untuk menghibur, busana yang dipakai oleh para ledhek juga harus dapat menimbulkan kesan kegembiraan.[4]

Pengrawit

[sunting | sunting sumber]

Pengrawit adalah sekelompok orang yang bertugas menabuh gamelan dalam mengiringi pertunjukan tayuban. Para pengrawit ini umumnya memiliki pekerjaan tetap sebagai petani dan buruh. Untuk meningkatkan keterampilan dan penguasaan gendhing-gendhing baru, para pengrawit mengadakan latihan bersama pada hari-hari tertentu sebelum digelar tayuban berdasarkan kesepakatan mereka. Biaya pementasan dibayarkan secara kelompok kepada ketua pengrawit. Ketua pengrawit lantas membagikan kepada anggotanya. Pembayaran pengrawit ini juga berdasarkan keahliannya dalam memainkan gamelan.[4]

Penjanggrung

[sunting | sunting sumber]

Penjanggrung adalah satu dari sekian tamu undangan yang mendapatkan kesempatan untuk menari bersama ledhek di atas panggung. Sebelum menari bersama, para ledhek akan mengalungkan sampur kepada satu di antara tamu. Adapun jumlah penjanggrung yang tampil dalam setiap gendhing disesuaikan dengan jumlah ledhek, misalnya jumlah ledhek dalam gendhing itu ada tiga, jumlah penjanggrung yang tampil di atas panggung juga harus tiga. Penjanggrung harus menyelesaikan tariannya sepanjang satu gending selesai dinyanyikan secara berpasang-pasangan.[3]

Ancak atau nyiru

[sunting | sunting sumber]

Untuk meletakkan sesajen pada tradisi saparan, diperlukan wadah yang dinamakan dengan ancak atau nyiru. Ancak terbuat dari anyaman bambu yang diirat menjadi lembaran-lembaran tipis, kemudian dianyam longar berbentuk segi empat, kemudian pada keempat sisinya diberi wengku yang biasa terbuat dari pelepah pisang atau bambu yang sudah dibentuk pipih. Nyiru juga terbuat dari bambu yang diirat menjadi lembaran-lembaran tipis sesuai dengan kebutuhan, kemudian dianyam secara rapat membentuk lingkaran. Anyaman nyiru berpola keluar satu-masuk satu. Terakhir, lingkaran tersebut diberi wengku dengan tujuan agar lebih kuat. Ancak atau nyiru kira-kira memiliki ukuran 40 sentimeter x 40 sentimeter. Barang-barang seperti ancak atau nyiru dihasilkan dari keterampilan tangan dan lebih mengutamakan aspek kegunaan. Barang seperti ini dapat digolongkan ke dalam seni kriya.[11]

Pada panggung tayuban bagian belakang terdapat latar belakang berupa lembaran-lembaran kain yang disusun secara vertikal, sehingga menutupi sisi panggung bagian belakang. Selain berfungsi sebagai latar belakang, kain tersebut juga berfungsi sebagai hiasan atau tempat menata dekorasi dua dimensi pada panggung. Latar belakang panggung sendiri memiliki ukuran + 8 meter x 3,5 meter. Kain yang digunakan sebagai hiasan dimulai dari sisi kiri warna kuning, merah muda, biru, dan hijau yang membentuk bidang segitiga. Layar yang ditata secara vertikal itu juga akan menimbulkan kesan garis-garis tegak. Kesan garis tegak ini muncul dari pertemuan keempat warna yang berbeda pada layar yang disusun secara vertikal.[7]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga (8 November 2018). "Saparan Dusun Tegalrejo". Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga. Diakses tanggal 27 Mei 2020. 
  2. ^ a b Suara Merdeka (5 November 2018). "Wali Kota Ikut Menari Tayub (Merti Desa Tegalrejo)". Suara Merdeka. Diakses tanggal 28 Mei 2020. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah (tanpa tanggal). "Tari Tayub". Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Diakses tanggal 28 Mei 2020.  [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c Suara Merdeka (10 November 2017). "Tari Tayub Meriahkan Merti Desa Tegalrejo". Suara Merdeka. Diakses tanggal 28 Mei 2020. [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ Permana, Ferry Bagus (20 Februari 2008). "Merti Desa Nggaras". Scientiarum: Wacana Kritis-Prinsipil Mahasiswa UKSW dan Salatiga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-18. Diakses tanggal 28 Mei 2020. 
  6. ^ Prabowo (4 Agustus 2019). "Tayub, Sedekah Bumi Desa Rahtawu untuk Kesejahteraan Masyarakat". Republik Merdeka Online (RMOL) Jawa Tengah. Diakses tanggal 28 Mei 2020. 
  7. ^ a b Pemerintah Kota Salatiga (10 Desember 2014). "Meriah, Merti Desa di Tegalrejo". Website Resmi Pemerintah Kota Salatiga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-21. Diakses tanggal 28 Mei 2020. 
  8. ^ a b c "Penyajian Tayub Pada Tradisi Saparan di Desa Tegalrejo Kota Salatiga". text-id.123dok.com. Diakses tanggal 2020-07-03. 
  9. ^ "Unsur Pendukung Penyajian Tayub Pada Tradisi Saparan". text-id.123dok.com. Diakses tanggal 2020-07-03. 
  10. ^ Setyani, Niken Setyani. "FUNGSI DAN GARAP GENDING MUGI RAHAYU". 
  11. ^ "Unsur Seni Rupa dalam Pertunjukan Tayub Pada Tradisi Saparan di Desa Tegalrejo Kota Salatiga". text-id.123dok.com. Diakses tanggal 2020-07-03. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]