Wayang Kedu Wonosaban
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Wayang Kêdhu Wonosaban (Diakritik: Wayaṅ Kĕḍu Wånåsaban, Aksara Jawa: ꦮꦪꦁꦑꦼꦣꦸꦮꦤꦱꦧꦤ꧀, Abjad Pegon: واياڠ كٓڎو واناسابان, diperkirakan berkembang dari induk Wayang Kedu pada tahun 1650-1700 M[1]) adalah salah satu varian Wayang gaya Kedu yang berkembang di wilayah Kabupaten Wonosobo. Dulu Wayang Kedu Wonosaban terbagi menjadi beberapa sub-gaya Pakeliran, diantaranya yaitu:
- Kedu Mendolo (berkembang di Mendolo, Bumireso, Wonosobo, Wonosobo)
- Kedu Selokromo (berkembang di Selokromo, Leksono, Wonosobo)
Yang paling baru munculnya:
- Kedu Tosari (berkembang di Tosari Rejo, Jaraksari, Wonosobo, Wonosobo)
Pakeliran gaya Kedu Wonosaban terpecah menjadi beberapa sub-gaya karena dipengaruhi tingkat keseringan seorang Dalang dalam pentas/mendalang & ciri khas dari masing - masing Dalang. Seperti pada Kedu Mendolo yang dipengaruhi oleh Dalang Kiai Gondo Karjo Mijoyo dengan Sanggit & Jam terbang yang luar biasa, Kedu Selokromo yang dipengaruhi oleh Mbah Karto Miyo dengan iringan Othok Obrol, dan Kedu Tosari yang digaungkan oleh Ki Kuat Sugiono yang merupakan anak Kiai Gondo Karjo Mijoyo dan adik Ki Anom Suroso.[2]
Dalang yang Pernah Terkenal di Wonosobo
[sunting | sunting sumber]- Kiai Dalang Singasana
- Kiai Dalang Singgahsana
- Kiai Gondo Wirya
- Kiai Gondo Wiryasana / Simbah Mirombo (Th. 1800an)
- Kiai Gondo Wiryasana (bertempat di Banaran, Selomerto, Wonosobo)
- Kiai Gondo Karjo Wijoyo (bertempat di Mendolo, Bumireso, Wonosobo, Wonosobo)
- Kiai Gondo Karjo Mijoyo (ayah Ki Anom Suroso)
- Ki Anom Suroso[3]
Lakon Carangan Gagrag Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Lakon Carangan adalah lakon yang keluar dari Lakon Baku karena hasil kreasi seorang Dalang. Lakon Carangan Wayang Kedu Wonosaban, selain mengadopsi dari Epos Ramayana dan Mahabharata juga sering mengadopsi dari daerah asal sendiri. Beberapa Contoh Lakon Carangan Gagrag Kedu Wonosaban (serta pranala rekamannya) diantaranya:
- Sutarengga Takon Bapa
- Rabine Kunteya / Sunggen
- Babad Medhangkamulan (Ruwat Bumi)
- Lahire Mandratmaja
- Jakatawa
- Babad Dieng
- Semar Supit
- Semar Cukur
- Raja Kengsi
- Anjali Retna
Durasi Waktu Pagelaran Wayang Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Pagelaran Wayang Kedu Wonosaban berlangsung selama 11 atau 12 jam (Pukul 19.00-06.00 / 07.00 WIB). Bahkan, bisa saja sampai 15 jam (Pukul 19.00-10.00 WIB). Dalam waktu sepanjang ini, Sang Dalang harus mengelola waktu supaya terbagi runtut dan tidak membosankan. Perpindahan Pathet dalam Kedu Wonosaban tidak tergantung pada jam, namun pada alur ceritanya.[4]
Ruwatan Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Terdapat beberapa jenis dan lakon Ruwatan yang berbeda pada Pakeliran Wayang Kedu Wonosaban, yaitu:
Lakon Makukuhan
[sunting | sunting sumber]Lakon ini untuk Ruwat Bumi. Jika umumnya Ruwat Bumi memakai lakon Sri Mulih (Dewi Sri), di Gaya Kedu memakai Lakon Makukuhan / Babad Medhangkamulan. Walaupun ada lakon ini di daerah lain, di Gagrag Kedu memiliki ciri khas tersendiri karena menyesuaikan kearifan lokal budaya eks-Karesidenan Kedu. Secara garis besar menyeritakan tentang konflik Prabu Sengkan dan mitranya penguasa hama dan penyakit Prabu Kala Gumarang dengan kedua adiknya Dewi Sri/Srigati dan Raden Turunan/Nurunan. Kedua adik Prabu Sengkan tadi menolak kesewenang-wenangan kakaknya sehingga mereka memulai kehidupan baru di luar kerajaan Prabu Sengkan. Dalam perjalanan Dewi Sri dan Turunan mereka menyebarkan ilmu pertanian dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pada dasarnya banyak kesamaan dengan versi Temanggung, tetapi versi Wonosobo terdapat beberapa peristiwa, tokoh, dan penokohan yang tidak ada di Temanggung sehingga versi Wonosobo menjadi lebih panjang. Sebagai contoh ada tokoh Tundhagan Citrawangsa bersama anak-anaknya Mahapunggung, Gadhingmanukir, Mundhigadhing, dan Petung Laras dari Purwacarita yang bekerjasama dengan Dewi Sri dan Turunan. Akhirnya mereka menurunkan profesi jagal (Mahapunggung), pandai emas (Gadhingmanukir), tukang kayu (Mundhigadhing), dan pemeras aren (Petung Laras). Sedangkan Tundhagan Citrawangsa diangkat sebagai penasihat dengan gelar Kyai Makukuhan.
Lakon Murwakala
[sunting | sunting sumber]Lakon ini untuk Ruwat Sukerta. Terdapat perbedaan sedikit di Gaya Kedu Wonosaban. Umumnya menyebut tokoh Batara Kala dengan tambahan "Bhatara", di gaya Kedu menyebutnya menjadi "Sang Kala". Ada kesamaan dengan Murwakala versi Cirebon maupun Kedu Temanggungan, di mana Sang Kala adalah anak Bathara Guru dengan Dewi Tanana. Setelah kejadian kama Bathara Guru jatuh di samudera setelah melihat wujud Dewi Tanana, Tanana diambil sukmanya hingga pecah menjadi tiga sosok perempuan; Bathari Tanana/Durga, Bathari Uma, dan Bathari Alauma (kelak dipersunting Bathara Narada). Perbedaan dengan versi Temanggung terletak pada siapa yang menjadi Dhalang Kandhabuwana dan istrinya yakni Penggender Sruni, bila Wonosobo adalah Bathara Guru dan Bathari Uma, maka Temanggung adalah Sang Hyang Wenang dan Bathari Sahoti.
Lakon Jagal Bilawa/Wirataparwa
[sunting | sunting sumber]Lakon ini untuk Ruwat Jagal. Ruwat Jagal adalah ruwatan yang dilakukan untuk ucapan bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa karena jagal atau orang yang memotong hewan besar seperti kerbau atau sapi telah mencapai 1000 ekor.[5]
Bahasa atau Kata yang hanya ada di Wayang Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Bahasa atau kata yang tidak dimiliki gaya lain adalah:
"Maḍiḍík ånå lawaṅ paṅglèḍègan sayåkå, kadyå tĕlik sanḍi dĕrpåmåyå, satru jåyå dalĕm, blĕndok minḍå mĕñan, kawulå minḍa gusti (Madhidhik ana lawang panggledhegan sayaka, kadya telik sandhi derpamaya, blendok mindha menyan, kawula mindha gusti)."[6]
Kata ini diucapkan ketika Raja saat jejeran akan berbicara[7]. Untuk makna pastinya belum ada literasi maupun pendapat dalang sepuh yang menjabarkan. Adapun terjemahan bebasnya kurang lebih demikian:
"Ketukan pada pintu (tuasnya) berputar (bagai) roda, seperti mata-mata berpura-pura galak, (melawan) musuh bebuyutan raja, getah seolah-olah (menjadi) kemenyan, rakyat seolah-olah (menjadi) bangsawan."
Dapat diamati ungkapan tersebut merupakan suatu peribahasa atau kiasan. Sampai ada informasi lanjut, makna peribahasa tersebut masih misteri dan perlu sikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan. Dalam istilah seni pedalangan ungkapan tersebut termasuk gunem blangkon atau sebuah kalimat klise dan paten sebagai pendukung suasana suatu adegan[8].
Contoh Sanggit Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Sanggit Suluhan / Gatutkaca Gugur
[sunting | sunting sumber]Saat Adipati Karna memanah Gatotkaca, panah itu mengenai jubah Batara Yamadipati, Yamadipati turun menghampiri Karna. Yamadipati mengingatkan untuk tidak membunuh Gatotkaca, Karena dulu Gatotkaca sudah meninggal saat masih bayi berperang melawan Patih Sekipu (saat menjadi jago Dewa, lakon Gatutkaca Lahir). Akhirnya Karna tidak jadi membunuh Gatotkaca, dan Gatotkaca menjadi Dewa dengan nama Batara Guru Putra.
Sanggit Jagal Bilawa/Wirataparwa
Sanggit lakon ini di Pakeliran Kedu Wonosaban adalah tokoh Kencaka, Prakenca, Rupakenca, dan Rajamala yang menjadi lawan tanding dari Jagal Bilawa (dalam pakem pakeliran lain hanya Kencaka, Rupakenca, dan Rajamala yang menjadi lawan Jagal Bilawa).[9]
Bentuk & Sunggingan (Pewarnaan) khas Wayang Kedu
[sunting | sunting sumber]Bentuk Wayang Kedu jika dilihat agak gemuk, kancing gelung agak belakang, menunduk, lebih tinggi &besar. Arti bentuk Wayang Kedu adalah:
Gemuk
[sunting | sunting sumber]Mungkin hal ini menyatakan bahwa daerah Kedu adalah tanah yang subur, maka dari itu digambarkan Wayang Kedu berbadan gemuk.
Tinggi Besar
[sunting | sunting sumber]Mungkin hal ini menyatakan bahwa Orang di daerah Kedu berpostur tinggi besar
Menunduk
[sunting | sunting sumber]Mungkin hal ini menyatakan bahwa Budi pekerti masyarakat wilayah Kedu yang kental dengan rasa sopan santun yang tinggi. Tidak tinggi hati dan selalu ingin merendahkan diri dan selalu melihat ke bawah menyadari akan dirinya sebagai mahluk yang lemah dan senantiasa ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.[10]
Wayang Kedu Wonosaban cenderung dibuat lebih tebal, mengingat suhu Wonosobo yang dingin.[11] Pewarnaan / Sunggingan Wayang Kedu cenderung lebih sederhana, dan alami. Namun jangan salah, justru dengan sunggingan alami menjadikan wayang kedu menjadi lebih unik, Semu, Awet dan khas. Karena belum tercampur bahan kimia. Berikut daftar bahan yang digunakan untuk mewarnai Wayang Kedu:
Bahan Asal | Pengganti | Hasil | Cara Pembuatan / Memperoleh |
---|---|---|---|
Gincu | Warna Merah | ||
Tulang Ayam | Siwit (untuk mempersingkat proses Gebingan wayang) | Warna Putih | Ditumbuk sampai halus |
Atal Batu | Warna Kuning | Mencari batu yang tidak keras dan berwana kuning, lalu ditumbuk sampai halus, kemudaian bubuk atal tersebut diaplikasikan di atas Gebingan wayang | |
Kikil / Kulit Sapi | Putih Telur (untuk mengganti Kikil / Kulit Sapi karena pembuatan lem memakai Kikil / Kulit memakan waktu yang lama) | Untuk mengelem hasil sunggingan wayang agar tidak mudah terkelupas. | Merebus Kikil / Kulit diatas api sampai mengeluarkan cairan lengket |
Langes | Warna Hitam | Langes bisa diperoleh dari sisa pembakaran Lampu Teplok yang menempel didinding kaca | |
Daun | Warna Hijau | Tumbuk sampai halus |
Cepengan atau Pemegangan Wayang Kedu
[sunting | sunting sumber]Cepengan / Pemegangan Wayang Kedu berbeda dengan Cepengan gaya lain. Jika dasar Cepengan di gaya lain memegang di Cempurit, Cepengan Gaya Kedu terletak di Siten-Siten / Kaki Wayang. Maka dari itu tidak heran, jika Wayang Jaman Dahulu banyak yang sobek kakinya.[12]
Cerita Turun Temurun Dalang Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Kisah Simbah Mirombo dan KRT Setjonegoro
[sunting | sunting sumber]Antara tahun 1825–1832. KRT Setjonegoro atau Raden Ngarpah memesan tokoh wayang kepada penatah yang berada di Kabupaten Wonosobo, tepatnya di Dusun Rajahima atau Mirombo. Penatah tersebut adalah Kiai Dalang Ganda Wirya atau sering disebut Simbah Mirombo. Setelah berjalan beberapa bulan, tokoh yang dipesan belum juga selesai dibuat. Dipanggilah Mbah Mirombo ke kabupaten. Sesampainya di sana Beliau dimarahi oleh bupati yang menjabat waktu itu. Karena tersinggung oleh ucapan bupati, muncul kemarahan Mbah Gondo Wiryasana. Kulit kerbau/sapi yang telah dibawa dari rumah kemudian disabetkan ke kursi dan terjadi hal yang istimewa. Kulit tersebut berubah menjadi gebingan wayang yang dipesan oleh Bupati Setjonegoro. Setelah kejadian ini, Mbah Wiryasana kembali ke Mirombo dan melanjutkan menatah wayang gagrag Kedu Wonosaban.
Masa Kejayaan dan Keterpurukan Wayang Kedu Gagrag Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Masa Kejayaan
[sunting | sunting sumber]Wayang Kedu gagrag Wonosaban mengalami masa kejayaan di tahun 1940 sampai 1960an. Pada masa itu seorang dalang bisa menerima panggilan mendalang selama 40 kali berturut-turut dalam satu musim panen raya, Dalang pada zaman tersebut memiliki stamina yang luar biasa di samping mampu mendalang selama 40 hari nonstop, hingga pagi setelah pementasan tatkala dalang dan pengrawit melewati sungai atau telaga, dipastikan mereka akan menyempatkan cuci muka dan membilas raga guna mengurangi rasa kantuk.
Pada waktu itu belum ada kendaraan seperti zaman sekarang. Perpindahan tempat selalu dengan berjalan kaki atau naik dokar. Jalan yang ditempuh pun bisa dibilang tidak dekat, bisa mencapai puluhan kilometer. Bisa dibayangkan ketika seorang dalang mendalang selama satu malam penuh kemudian hari berikutnya dihadapkan dengan perpindahan tempat yang cukup jauh.
Menurut kesaksian Ki Anom Suroso hal ini menyebabkan wayang milik dalang jarang berada di rumah, melainkan pindah dari satu panggung ke panggung yang lain, dengan dipikul atau menggunakan gerobak sapi[3]. Adapun yang dikirim ke rumah dalang berupa sesaji yang tidak diambil oleh pihak penonton maupun pendukung dalang, ketika dalang sudah pulang sesaji tersebut sudah habis dikonsumsi keluarga dalang atau sudah basi. Ki Anom Suroso mengaskan bahwa kekuatan dan stamina dalang Kedu pada masa lalu disebabkan oleh pola makan yang teratur dan belum terkontaminasi serta teknik permainan wayang yang menghemat energi dalang.[4]
Masa Keterpurukan dan Kebangkitan
[sunting | sunting sumber]Wayang Kedu Gagrag Wonosaban mengalami masa keterpurukan mendekati kepunahan. Hal ini disebabkan karena Pengrawit, Sinden, Dalang yang telah berusia lanjut bahkan meninggal dunia, dan populernya Pakeliran Wayang Yogyakarta & Surakarta secara langsung ataupun secara Live streaming. Tinggal beberapa saja Seniman gaya Kedu Wonosaban yang berusaha menjaga Gaya Asli daerah Wonosobo.
Sejak tahun 2009 telah dikerahkan upaya oleh Agus Suprastya untuk merelevankan kembali Wayang Kedu Wonosaban[13]. Usaha-usaha ini baru benar-benar membuahkan hasil pada tahun 2021 hingga masa kini. Meskipun tidak sering pentas, tetapi pencatatan pengetahuan, dokumentasi pementasan dan pembangunan relasi dengan kalangan muda lewat pemanfaatan teknologi telah terwadahi dalam YouTube[14] dan Instagram[15] Wayang Kedu Wonosaban. Upaya pelestarian ini mendapat apresiasi dan menggaungkan eksistensi Wayang Kedu Wonosaban di kalangan pecinta wayang generasi muda, baik dari Wonosobo maupun daerah lain[16].
Suluk & Ada - Ada Wayang Kedu Wonosaban
[sunting | sunting sumber]Pathet Nem Ageng
[sunting | sunting sumber]Sang Na-hen- ta
Kang a-neng praja Duwara-ka
O… Prabu Sri Bathara-Kre-sna
O…. O… Ong….
Kang kepareng sini-waka
Kersa Lenggah Dhampar ken-ca-na O…..
Girisa Kedu Pathet Nem
[sunting | sunting sumber]Yata, yata
kang kepareng sini-waka
sang nata Bina-thara
O…
Kinayap sagung pra biyada
O….
kang ngampil u-pa-cara
O…. O
Sigra hangendika
Sang bina-tha-ra
O….
Ada - Ada Pathet Nem Wetah
[sunting | sunting sumber]Kres-na pucang ti-tihan-ira
Ti - tihanira garuda Wi-nan-tya
kala cakra pina-yu-ngan
Pi-na-yungan marang Dé-wa-nira
Déwanira cakra kembang
koma jaya koma ra - tih
Lagon Mambeng Nem
[sunting | sunting sumber]O...
Mengeng sang nara na-ta
Wim-buh petenging na-la
O...
Kadya katempuh wengi
Rem surem da-tan pa-dhang
Sang nata hameminta
Rahar-janing pra-ja
Nugrahaning Hyang Widi Wasa
Ada - Ada Pathet Nem Jugag
[sunting | sunting sumber]Sigra tumandang para Korawa
Tinindhihan sang Swa-ta-ma O….
Lagon Plencung Wetah Badhe Jejer II
[sunting | sunting sumber]Myat langening ka-la-ngyan
A-glar pandam mon-car
Tinon lir ke-ko-nang
Surem soro-té tan pa-dhang
Kasor lan pa-jar-ing
Pur-na-meng ge-ga-na
Dha-saré mangsa ka-tiga
A - naweng tunggang an-cala
Asenen kar-ya wi-gena
Ompak
[sunting | sunting sumber]Miwah sining wana
Wrek-sa gung kang tinu-nu. O…
Lagon Pathet Nem Jugag
[sunting | sunting sumber]Ndah meneng sekaring wang-wang
Ngaras padanta raka
Sumungkem mring de-wa-ni-ra
Suluk Tlutur Ngaraswangi Pathet Nem
[sunting | sunting sumber]Satriya mérang ninggal pra-ja
O…
Nge-lingana trahing kusuma
O….
Pranyata sang Pandu putra
O….
Ngupadi ingkang ra-ka
Jengkar saking kasatriyan
Mengeng jroning war-daya
Lagon Pathet Sanga Wetah
[sunting | sunting sumber]Uncung uncung trempalong
Udan ba-rat kyai temeng-gung
Gumebyar du-du li- dah
Men-co-rong dudu rembulan
Yo iku dede-ling Se-ga-ra
Gunung kidul kenthengana la-wé we-nang
Ki-nar-ya wong wayang ke-li-ré ra-ga
Dalangè jati swara
sing nonton para sukma
O….
Ada - Ada Pathet Sanga Jugag
[sunting | sunting sumber]Bumi gonjang ganjing
Langit ken-dho kenceng
Mbludag banyuné samo-dra
O…. O….
Lagon Pathet Sanga Jugag
[sunting | sunting sumber]Semar wina-nang
Winangwong ing Jawata
Ngelingana dewa ka-ma-nung-san
Lagon Mega Pathet Sanga
[sunting | sunting sumber]Nung- sung
Panangise wong wedi mati
O…
Ngen-di nggoné dalané swar- ga
Swarga den éntha-éntha
Surya madhangi ja-gad ra-ya
Lagon Pathet Manyura
[sunting | sunting sumber]Bangun isuk bang-bang wétan
Ju-medhul sang surya mi- ngip
Ing tan-cep-ing cakra-wa-la
Su-mo-rot padhang nelahi
Nrabas méga ing langit
Sri ka-wur-yan yen kadulu
Sa-ya inggil sang hyang sur- ya
Soroté madhangi
Byar terwaca sak i- si- né ja-gad ra- ya
Ada - Ada Pathet Manyura
[sunting | sunting sumber]- A-na pandita kinarya wangsit, Susuh angin ngendi nggo- né
- Buta dira yeksa sara maruta, Wangirung sang bu-ta pe- ngung O….. O...
- Mulat mara sang abagus, Esmunya kamanung-san- ira
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Suprastya, Agus (2021). Wayang Kedu Wonosaban; Sejarah, Bentuk, dan Filosofi. Wonosobo: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo. hlm. 10.
- ^ Suprasetya, Agus (2021). "Wayang Kedu Gagrag Wonosaban" (PDF). PDF: 11.
- ^ a b Suprasetya, Agus (2021). "Wayang Kedu Gagrag Wonosaban" (PDF). PDF: 10.
- ^ a b Suprasetya, Agus (2021). "Wayang Kedu Gagrag Wonosaban" (PDF). PDF: 15.
- ^ Suprasetya, Agus (2021). "Wayang Kedu Gagrag Wonosaban" (PDF). PDF: 14.
- ^ Rekaman Pentas Wayang Gaya Kedu Wonosaban "Sinom Pradapa".
- ^ Official Wonosobo, WEB TV. "Live Loka Karya Wayang Kedu Gagrag Wonosobo". YouTube.
- ^ Arps, Bernard (2016). Tall Tree, Nest of the Wind: The Javanese Shadow-play Dewa Ruci Performed by Ki Anom Soeroto: A Study in Performance Philology. Singapura: NUS Press Singapore. hlm. 68–69. ISBN 9789814722155.
- ^ TIGA BELAS TAHUN TERTUNDA | LAKON SUTARENGGA TAKON BAPA (Bagian 3), diakses tanggal 2022-10-20
- ^ Budi, Setyo (05 Juni 2020). "Wayang Kedu, Gagrag yang Terlupakan". Kabarno - jurnalisme ndeso. Diakses tanggal 14/02/2022.
- ^ Suprasetya, Agus (2021). "Wayang Kedu Gagrag Wonosaban" (PDF). PDF: 12.
- ^ Official Wonosobo, WEB TV (13 Oktober, 2021). "Live Loka Karya Wayang Kedu Gagrag Wonosobo". YouTube.
- ^ Lokakarya Wayang Kedu Gagrag Wonosobo, diakses tanggal 2024-01-18
- ^ "Wayang Kedu Gagrag Wonosaban - YouTube". www.youtube.com. Diakses tanggal 2024-01-18.
- ^ "Instagram". www.instagram.com. Diakses tanggal 2024-01-18.
- ^ Lokakarya Wayang Kedu Gagrag Wonosobo, diakses tanggal 2024-01-18