Wikipedia:Pengantar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 November 2007 15.14 oleh 125.163.81.205 (bicara) (Dimanakah Demokrasi Indonesia?)

Samuel Patra Ritiauw

            SAKITNYA MELAHIRKAN DEMOKRASI INDONESIA

“ Menuju Kehidupan Ekonomi Dan Demokrasi Yang Bermartabat, Kajian Krisis Ekonomi Asia Dan Dampaknya “


BAB I PENDAHULUAN


A . Latar Belakang Seperti layaknya sebuah masa suatu era, maka pada kata reformasi ditumpukan muatan nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat. Reformasi secara sederhana berarti perubahan pada struktur maupun aturan-main baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Secara teoretik, perubahan tersebut diupayakan agar tatanan negara dan masyarakat baru akan menjadi lebih demokratik secara politik dan lebih rasional secara ekonomi.

       Dimensi dinamik pada kata reformasi adalah terkandung upaya perombakan dan penataan: Perombakan pada tatanan lama yang korup dan tidak effisien (dismantling the Old Regime); dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, effisien, dan berkeadilan sosial (reconstructing the New Indonesia). 
       Perombakan tatanan lama (Orde Baru) adalah mutlak, karena telah terbukti tatanan tersebut menghasilkan suatu rejim politik yang otoriter dan tidak populer. Institutionalisasi kekuasaan politik telah menjadi semakin elitis dan personal. Elitis oleh karena rekruitmen politik tidak mengindahkan aspirasi masyarakat umum. Pemilihan umum hanya menjadi alat melegitimasi kekuasaan yang ada. Personal oleh karena hampir semua keputusan terpenting tidak berada ditangan lembaga tertinggi negara dan atau tinggi negara, tetapi ditangan seorang penguasa. Suara yang terlalu kritis dibungkam: Pers dicabut ijin SIUPnya, mahasiswa, politisi, dan aktivis NGO dipenjara; pimpinan partai dan lembaga kemasyarakatan digoyang. 
       Setelah periode pertumbuhan dalam tiga dekade, dalam bidang ekonomi tatanan lama itu telah menghasilkan beberapa ekses seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Tiga hal tersebut menghambat pertumbuhan struktur ekonomi yang mandiri dan effisien. Kelas ekonomi yang ada (khususnya cronies) menjadi tergantung pada fasilitas yang disediakan pemerintah. Kerentanan tersebut ditambah lagi dengan optimisme yang berlebihan terhadap hasil pembangunan ekonomi yang dicapai. Optimisme semu itu terwujud dengan dialirkannya pinjaman luar negeri jangka pendek (dalam bentuk dollar) pada pengusaha-pengusaha yang tidak effisien tersebut. Terjadinya krisis moneter international telah mengguncang nilai rupiah dan selanjutnya   struktur ekonomi dalam negeri. Akibat dicabutnya subsidi pada komoditi pokok, harga sembako, listik, dan bensin melambung hampir tak terkendali. Rakyat kecewa, mahasiswa berontak. 
       Orde pembangunan ini telah kehilangan satu fondasi utama kekuasaannya, stabilitas ekonomi. Keruntuhan tersebut mengimbas pada persoalan represifnya struktur politik rejim lama. Harapan sudah pupus, penguasa bukan lagi "problem solver" tetapi "the problem itself."  Ketika terjadi penembakan pada 6 mahasiswa di Kampus Trisakti, masyarakat tidak lagi bisa menerima kesewenang-wenangan tersebut. Mereka menuntut turunnya Jenderal Soeharto dari pusat kekuasaan. Bersamanya, runtuh pulalah suatu tatanan kekuasaan ekonomi dan politik yang ada.    
       Persoalannya kemudian adalah bagaimanakah bentuk tatanan ekonomi politik baru tersebut?  Apakah platform dasarnya? Bagaimanakah proses mencapai  tatanan baru tersebut? Kekuatan sosial politik apakah yang mesti memegang peranan dalam proses transisi dan era baru itu? Apakah upaya untuk merombak warisan kekuasaan lama? Berapa lamakah penyembuhan krisis ekonomi dan politik yang ada? Apakah biaya politiknya? Bagaimanakah upaya meminimalisir kerentanan ekonomi Indonesia menghadapi fluktuasi ekonomi global?. Ini semua masih mnjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan juga masyarakat Indonesia secar keseluruhan. 


BAB II PEMBAHASAN

A. Selayang Pandang Sejarah Reformasi Indonesia. Tanggal 21 Mei 1998 boleh jadi adalah hari paling bersejarah dalam jejak politik indonesia kontemporer. Saat itu Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden RI, setelah 32 tahun lebih menjadi orang nomor satu di negeri ini. Peristiwa dramatis itu diawali munculnya tekanan masa mahasiswa dalam gerakan reformasi berskala nasional. Pada saat yang sama dukungan dari bannyak pihak termasuk didalam lingkaran kekuasaannya sendiri menyusut terhadap legitimasi kekuasaaan Bapak Orde Baru. Dari kasus ini, tergambar dengan jelas yakni Indonesia telah memasuki sebuah peradaban baru, yang awalnya dari bersifat otoriter berubah menjadi demokrasi yang dipegang sepenuhnya oleh rakyat. Peradaban ini lebih dikenal dengan nama Era Reformasi. Kata Reformasi dapat berarti kembali ke bentuk awal, meluruskan sesuatu yang bengkok, menuju ke bentuk yang lebih baik dan perubahan dalam waktu yang cepat dan radikal. Perubahan mendasar dan menyeluruh pada pranata sosial, politik, ekonomi, serta perubahan pada basis hubungan antara rakyat dan negara yang diwujudkan melalui agenda yang mennyeluruh sebagai hasil dari proses dialok yang terbukah, inklusif dan partisipatif. Hasil penting dari liberalisme politik pada era reformasi ialah terbentuknya kutup politik restriktif warisan rezim lama otoriter yang merupakan cirri fase tersebut. Walaupun tidak sampai pada konsolidasi demokrasi, liberalisme politik membuka ruang bermain yang lebih lapang bagi masyarakat untuk memenuhi hak partisipasi politik mereka secara bebas. Kondisi yang lalu berkembang menjadi booming partisipasi politik rakyat. Menurut Huntington dan Joan Nelson, partisipasi politik yang meluas ini adalah “ciri khas dari modernisasi politik”. Seringkali partisipasi politik itu menjadi eksesif dan berlangsung tanpa kendali. Kalau kondisi ini terjadi, masyarakat akan berubah menjadi liar dalam merayakan euphoria kebebasan, bahkan menerabas batas – batas hukum ( lawless society ). Dalam tingkatan tertentu, lemahnya negara bias membuat euphoria kebebasan itu berlangsung nyaris tanpa hambatan. Dalam situasi demikian, Negara tidak cukup berwibawa untuk menegakan rule of law ditengah masyarakat. Perkembangan semacam itulah yang terjadi pada masa Indonesia sejak kejatuhan Soeharto. Era transisi disusul leberalis politik, telah merubah masyarakat Indonesia secara sangat drastis. Masyarakat yang selama tiga dasawarsa kebebasan dan partisipasi politiknya tersebut, barganti menjadi masyarakat yang bebas dan berani mengartikulasikan partisipasi politik mereka. Ketakutan yang begitu besar untuk menyuarakan tuntutan politiknya dibawa kekuasaan Soeharto, secara merata pupus sejkak era transisi ini dimulai. Konsekwensi yang harus di terima dengan lapang dada adalah Konflik Social terjadi di mana – mana, keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI pun di suarakan oleh beberapa daerah seperti Aceh ( GAM ), Maluku ( RMS ) dan Papua ( OPM ). Reformasi di Indonesia yang bergulir tahun 1998, harus juga diperhadapkan dengan krisis ekonomi yang lebih dikenal dengan” Krisis Moneter “ Krisis ini diawali pada pertengahan tahun 1997 sebagai krisis kapitalesme Asia. Namun rupanya nasib malang tetap berpihak kepada Negar Indonesia, dimana kita hamper tidak mampu untuk keluar dari krisis yang terjadi. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah penduuk sedangkan kurangnya Sumber Daya Manusia yang tersedia, kurangnya lapangan pekerjaan mengakibatkan tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Tabel : 01 Kronologis Krisis Ekonomi Asia

Bulan dan Tahun Peristiwa Juli 1997

. Bank of Thailand melepaskan intervensi mata uangnya sehingga Bath mulai amjlok [ 30 Bath/$ AS ] . Bank Sentral Filipina tidak mampu menahan mata uang Peso dan mulai anjlok [ 29,45 Peso/$ AS ] . Bank Indonesia mulai memperlebar rentang intervensi Rupiah terhadap Dollar dari 8 % menjadi 12 % . Bank Sentral Malaysia melepaskan interfensi Ringgitnya . PM Mahathir membuat opini tentang konspirasi George Soros yang menjadi biang dari persoalan krisis ekonomi Asia . Thailand menggunakan rencana untuk meminta bantuan IMF

Agustus 1997 . IMF mengumumkan paket kredit untuk Tailand dan mengumumkan persyaratan ketat yang harus dipatuhi oleh Negara pengutang untuk membersihkan sector keuangan yang telah kolaps. . IMF dan Thailand menyepakati paket pemberian kredit senilai US $ 7,2 Miliar . Bank Indonesia melepaskan kendali intervensi terhadap rupiah

Oktober 1997 . Nilai mata uang Asia Tenggara kembali tergoncang oleh krisis ekonomi hebat, sehingga pemerintah Indonesia terpaksa meminta bantuan IMF . Bursa saham Asia terguncang kembali . IMF mengumumkan paket bantuan darurat untuk Indonesia senilai US $ 40 Miliar.November 1997 . Sanyo Securities Co.Ltd ( Jepang ) bangkrut dengan nilai utang US $ 3,1 Miliar. . Chuan Leekpai menggantikan Chavalit Yongchaiyudh . Hokaido Takusoku Bank, sebagai salah satu bank kemersial terbesar di jepang mengalami ke bangkrutan akibat kredit macet yang membengkak . Nilai Won Kore anjlok menjadi 1000 Won/US $

Desember 1997 . Korea Selatan dan IMF sepakat atas paket penyelamatan ekonomi sebesar US $ 57 Miliar . Thailand menutup 56 dari 58 lembaga keuangan yang dibekukan . Bank Of Korea mengembangkan nilai Won

Januari 1998 . Rezim Seoharto merevisi RAPBN dengan asumsi yang lebih realistis. Rupiah dihitung menjadi Rp. 5000-/ US $ . Rupiah merosot tajam menjadi Rp.10.000/US $ . Pemerintah RI dan IMF menanda tangani kesepakatan reformasi perekonomian . Rupiah kembali anjlok dengan Rp. 16.000/US $ . Pemerintah Korea Selatan mengumumkan penutupan 10 dari 30 bank yang dibekukan

Februari 1998 . Rupiah menguat 20 % dengan munculnya isu akan diterapkannya CBS ( Currency Board System ) . Kim Dae Jung dilantik menjadi Presiden Korea Selatn menggantikan Kim Young Sam

April 1998 . Kesepakatan pemerintah RI dengan IMF tahap lanjutan dengan merevisi angka inflasi menjadi 45 – 50 % dan deficit anggaran menjadi 3,2 %

Mei 1998 . IMF mengumumkan pencairan dana bantuan kepada pemerintah RI . IMF menyatakan akan menunda paket bantuan tersebut . Soeharto lengsenr dari jabatan Kepresidenan.

Juni 1998 . BCA mengumumkan perekonomian Cina mulai terpengaruh oleh depresiasi Yen . Yen jatuh, bank sentral AS menginterfensi pasar untuk menyelamatkan Yen. . Indonesia dan IMF membuat kesepakatan yang Ke empat kalinya, Inflasi direfisi menjadi 80 %


1. Gambaran Krisis Ekonomi Yang Melanda Negara Negara Di Kawasan Asia.

Sejarah Krisis Ekonomi Asia

Krisis finansial Asia adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, sebagian Macan Asia Timur. Juga sering disebut Krisis mata uang Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling perah terkena dampak krisis ini. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh. Daratan Tiongkok, Taiwan dan Singapura hampir tidak terpengaruh. Jepang tidak terpengaruh banyak tapi mengalami kesulitan ekonomi jangka panjang. Sampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan. Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar. Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju. Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.

Thailand

pertukaran uang Baht-dollar

Dari 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 14 May dan 15 May 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli. Pada 11996, "dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 milyar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 milyar dolar AS.

Filipina

Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi pada 19 Juni. Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa untuk campur tangan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina, menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.

Hong Kong

Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong, yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pejabat keuangan menghabiskan lebih dari US$1 milyar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas Moneter Hong Kong berjanji melindungi mata uang. Pada 15 Agustus 1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam satu malam.

Korea Selatan

Korea Selatan adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia. Dasar makroekonominya bagus namun sektor banknya dibebani pinjaman tak-bekerja. Hutang berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar Korea, Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's menurunkan rating kredit Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember. Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November, saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors. Malaysia

Pada 1997, Malaysia memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator. Malaysia mengambangkan mata uangnya pada 17 Agustus 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank, bank terbesar Malaysia. Di hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir bin Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir bin Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 milyar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF. Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik. Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut level efektifitas Indonesia Pada hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat. Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan Septemer. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond". Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden.

Singapura

Ekonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya. Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif. Tiongkok Daratan Republik Rakyat Tiongkok tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank. Amerika Serikat dan Jepang "Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Eknomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat. Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang. Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.

Laos

Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.

Konsekuensi

Krisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini. Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam. Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRT. Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang. Dampak dari krisis ekonomi Asia dalam kehidupan masyarakat Indonesia terlihat sangat tajam dimana munculnya bentuk – bentuk patalogi sosial yang semuanya ini mengancam integritas bangsa.

B. Kondisi Perekonomian Indonesia.

1. Dampak Krisis Ekonomi Pada Kemikinan Biro Pusat Statistik (BPS) mengumumkan hasil perhitungan angka kemiskinan yang baru. Pada akhir tahun 1998, angka kemiskinan ini mencapai 24,2%, artinya hampir 50 juta penduduk dari total sekitar 200 juta jatuh di bawah garis kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berjalan lebih dari satu tahun. Angka ini disambut oleh berbagai kalangan, baik dengan tepukan (Kompas), maupun dengan celaan (Rizal Ramli), bahkan perasaan nista (JP). Harian Kompas hari Sabtu tanggal 10 Juli memuatnya di halaman kedua dengan kepala berita besar: "BPS: Penduduk Miskin Berkurang". Jakarta Post menyebutnya "a national shame". Penduduk miskin tidak berkurang. Yang dibandingkan adalah angka BPS sekitar tengah tahun 1998, yang mengagetkan orang, karena diperkirakan jumlah penduduk miskin oleh karena krisis membengkak menjadi 39,1% dari jumlah penduduk, atau sekitar 80 juta orang. Angka sekarang adalah 24,2%, artinya sekitar separohnya. Tetapi, angka yang pertama, 39,1%, diakui oleh BPS sekarang adalah "isapan jempol", hasil dari bermacam-macam ekstrapolasi dengan angka-angka makro yang dipengaruhi oleh sentimen pesimisme. Mengapa BPS waktu itu mengeluarkan angka yang seolah-olah presis. Kalau BPS sekarang "mengakui" kesalahannya maka kualitas pekerjaan BPS ini harus dicatat oleh kita semua, termasuk pemerintah. Perusahaan political & economic risk assessment di Hong Kong (PERC) menyebut data statistik Indonesia terburuk di Asia. Ini harus ditanggapi dan diperbaiki. Maka lupakan saja angka kemiskinan yang 39,1% itu dan terimalah (sementara) angka 24,2% yang baru karena dasarnya lebih scientific, yakni berdasarkan sample 10.000 rumah tangga. Survey yang serba mahal ini dimungkinkan oleh grant dari UNDP. Berapakah angka kemiskinan sebelum krisis? Angka yang dibanggakan pemerintah Suharto adalah 11,3% di tahun 1996. Jumlah orang miskin telah banyak menurun selama masa pertumbuhan tinggi zaman Orde Baru. Simpul editorial Kompas: "Hanya pertumbuhan ekonomilah yang bisa memperbaiki kemiskinan." (12-7-99) Apakah bisa disimpulkan bahwa oleh karena krisis ekonomi jumlah yang miskin menjadi dua kali lipat, dari 11,3% menjadi 24,2%? Dari membaca berita di surat kabar yang meliput pertemuan pers BPS dan UNSFIR-UNIDO, maka orang bisa menyimpulkan demikian. Akan tetapi, ada ahli-ahli kemiskinan serta statistik, baik yang asing maupun Indonesia, yang mengatakan bahwa isi paket konsumsi si miskin yang digunakan untuk menghitung angka kemiskinan di tahun 1996 adalah lain (mungkin sedikit, mungkin cukup banyak) daripada yang dipakai sekarang ini.

Sekarang ini keluarga miskin di kota, yang terdiri dari rata-rata 4,9 anggota, membelanjakan Rp 475.000 sebulan. Keluarga miskin di daerah pedesaan, yang terdiri dari 4,7 anggota, membelanjakan Rp 342.000 sebulan. Mengingat bahwa harga beras kualitas agak rendah adalah sekitar Rp 1500 /Kg, maka pembelanjaan keluarga miskin ini bagi kami tidak tampak terlalu miskin. Biasanya, keluarga miskin menghabiskan sebagian besar uangnya untuk makan. Baiklah, kita hati-hati saja dan jangan terlalu lekas membandingkan angka kemiskinan tahun 1996 dan (akhir) tahun 1998. Kita terima saja dulu angka kemiskinan baru yang 24,2%, yang meliputi hampir 50 juta penduduk. Ini sudah jumlah orang yang sangat besar. Orang yang miskin ini lebih banyak terdapat di kota daripada di desa. 

Kebijakan utama pemerintah, menanggulangi kemiskinan karena dampak krisis ini, adalah dengan program Jaring Pengaman Sosial (yang dianggarkan Rp 17 trilyun akan tetapi tidak semuanya bisa dibelanjakan). Dalam rangka ini dilakukan berbagai program penyediaan pekerjaan yang padat karya. Harga bahan makanan penting, misalnya beras dan minyak goreng, dijaga agar tidak melonjak, dan banyak beras dibagikan dengan harga subsidi kepada keluarga miskin (ukuran "keluarga pra-sejahtera" dari masa sebelum krisis). Harga BBM, tarip angkutan, dan lain-lain, juga tidak dinaikkan. Untuk menolong ibu dan bayi maka susu bubuk dibagikan secara gratis dan harga obat-obatan dijaga agar masih dalam jangkauan daya beli rakyat banyak. Kebijakan serta program-program ini didukung oleh IMF, Bank Dunia dan para donor, dan juga dilakukan di Thailand dan lain-lain negara Asia Tenggara yang kena krisis. Tetapi, di mana-mana juga ada kritik bahwa banyak bantuan itu tidak sampai pada kelompok miskin yang wajar menerimanya. Di Indonesia pelaksanaan program JPS mendapat banyak kecaman dari LSM yang menuntut agar dihentikan saja selama pemerintah dan aparatnya masih yang lama dan korup. Bappenas senantiasa menangkis bahwa yang terjadi bukan korupsi (uang masuk kantong pejabat) melainkan yang terjadi adalah paketnya "salah alamat". Sebagian "salah alamat" ini memang tidak bisa dielakkan. Di suatu desa di Banjarnegara maka lurah harus membagi-bagi 20 kg beras sebulan kepada keluarga miskin (ukuran "pra-sejahtera") dengan harga Rp 1000/Kg. Penduduk desa yang tidak masuk kelompok pra-sejahtera ini perotes keras, merasa hina dikecualikan dari bantuan pemerintah ini. Sang lurah, saking terjepitnya, lalu membagi-bagi berasnya kepada siapa saja (jumlah beras per keluarga dikurangi) agar "lebih adil". Maka di praktek dan di lapangan ada komplikasi antara kemiskinan dan keadilan, yang kedua-duanya tidak bisa diukur secara obyektip dan scientific. Maka selalu ada kelompok sasaran miskin yang "salah alamat". Di Thailand terjadi yang sama. Pemerintah mau memberikan pekerjaan kepada orang yang kena PHK di sektor bangunan, dengan program padat karya. Karena proses birokrasi memakan waktu beberapa bulan maka sipenganggur yang menjadi tujuan itu sudah berpindak ke tempat lain. Yang mendapat food-for-work program itu orang-orang lain, bukan the new poor, melainkan the old poor Tetapi, mengapa simiskin baru harus diutamakan, dimanjakan, dengan "melupakan" si miskin lama? Surat kabar Jakarta Post menurunkan editorial hari Senin, tanggal 12 Juli, dengan judul "Poverty, a national shame", di mana kemiskinan ini dikaitkan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Seolah-olah kemiskinan di Indonesia adalah akibat dari depotisme regim Suharto.

2. Bangkrutnya Bank – Bank di Indonsia Industri perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu. Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis. Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah. Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi. Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet. Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang. Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan. Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset. Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk dipenuhi. 3. Munculnya Gejolak Sosial Dalam Masyarakat Masyarakat Indonesia dikenal memiliki rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi kepada pihak lain yang saling berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai catatan sejarah yang panjang yang menunjukan kamampuan mereka menjaga harmoni sosial – meskipun juga ada catatan – catatan yang menunjukan pernah terjadi konflik horizontal dalam masyarakat Indonesia yang semuanya berpangkal pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ini mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah pusat dan juga terjadinya pergesekan politik/kepentingan baik di pusat maupun di daerah. Pergesekan kepentingan inilah yang melahirkan konflik dalah kehidupan masyarkat. Yang menjadi pertanyaan dimanakan demokratisisi ?. Semuanya telah hilang digusur oleh resim yang korup. Akan tetapi, harmoni sosial tersebut mulai memudar pada era transisi. Memudarnya harmoni ( Konflik ) itu sebetulnya sudah mulai menggeliat pada paruh kedua dekade terakhir kekuasaan Soeharto. Diantaranya dapat terlihat sebagai berikut.

Tabel 02

=== Konflik Horizontal Dalam Masyarakat Dari Tahun 1996 - 1998 === Teks ini akan dicetak miring Nomor Lokasi Kejadian Waktu 1  Situbondo 10 – Oktober 1996 2  Tasikmalaya 26 Desember 1996 3  Sangggauledo Januari-Februari 1997 4  Rengasdengklok Februari 1997 5  Buarana/Banyuurip Pekalongan 24 – 26 Maret 1997 6  Temanggung 6 April 1997 7  Wonosobo, Banjarnegara 9 April 1997 8  Solo 20 April 1997 9  Sambas 1998

Salah satu kebijakan Presiden B.J.Habibie yang pertama, dalam kaitan dengan menghindari semakin meluasnya konflik dalam kehidupan masyarakat dan disintegrasi bagsa maka, pemerintah pusat mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999 yang dimanan memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengaatur rumah tangganya sediri. Penerapan UU ini, disatu sisi sangaat baik karenan selam kemerdekaan Indonesia, daerahn memberikan kesempatan yang sangat sedikit dalm kaitan dengan pengambilan keputusan bagi daerahnya, namun disisi lain kesiapan SDM yang dimiliki masing – masing daerah sangatlah minim akhirnya penataat dan pengorganisasian pemerintahan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

C. Kepemimpinan Presiden Masa Orde Reformasi.

. Masa Pemerintahan Habibie

Indonesia dan konteks internasional berubah drastis sejak tahun 1980-an. Berakhirnya perang dingin dan runtuhnya unisoviet mengartikan bahwa pemerintah demokratis barat tak begitu melihat perlunya lagi bekerja sama dengan rezim dunia ketiga. Dalam kondisi penuh tantangan ini, keluarga Soeharto dan klik penguasa semakin menggila dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan mereka. Kemudian kondisi krisis keuangan asia menceburkan Indonesia kedalam bencana ekonomi, sehingga tidak da lagi alasan utama bagi rakyat untuk mendukung pemerintahan. Pada tahun 1998 rezim Soeharto runtuh ditengah-tengah suasana yang mirip dengan suasana kelahirannya ditahun 1965-66, yaitu ditengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan dan pertumpahan darah dijalan-jalan. Soeharto menyatakan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998 pagi hari, wakil Presidennya Habibie segera disumpah sebagai Presiden RI ke III. Selama 17 bulan masa pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia ke III , Habibie memperkenalkan reformasi yang menjanjikan suatu masyarakat yang lebih demokratis, adil dan terbuka. Ketika Habibie menggantikan mentornya Soeharto sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998, ada 5 isu terbesar yang harus dihadapinya. Isu-isu itu adalah 1. Masa depan reformasi 2. Masa depan ABRI 3. Masa depan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Indonesia 4. Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya 5. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Pada bualan November 1998 MPR setuju untuk melaksanakan Pemilu pada bulan Mei / Juni 1999, untuk mengurangi jumlah wakil ABRI dalam DPR. Untuk penyelidikan Soeharto atas tuduhan korupsi dan diperbolehkannya membentuk partai-partai politik berideologi selain Pancasila. Bulan April 1999 sejumlah 48 partai terdaftar, kampanye secara resmi dimulai pada 12-19 Mei 1999. Pemilu diadakan dengan sedikit penyimpangan , pada bulan Juni 1999 ada 452 kursi DPR yang diperebutkan 500 kursi di DPR akan digabungkan dengan 65 utusan golongandan 135 utusan daerah sehingga menghasilkan total anggota MPR 700 orang. Adanya keberhasilan dari Pemilu, Rupiah menguat hingga dibawah Rp.7000/US Dolar.

Tabel 03 Konflik Sosial Pada Masa Pemerintahan Habibie


=== No. Tanggal Tempat Jenis Korban Tewas === 1. Juni 1998 Purwerejo Kaum muslim menyerang 5 gereja - 2. Timor-Timur Masyarakat menuntut referendum saat Dubes Uni Eropa datang 3. Juli 1998 Jepara Penjarahan bangunan umum dan pembakaran - 4. Biak Organisasi Papua Merdeka Mengibarkan bendera - 5. Agustus 1998 Cilacap Kerusuhan anti Cina - 6. Malang- Banyuwangi Isu Ninja 100-200 orang 7. Desember 1998 Dili Bendera Fretilin berkibar saat sekjen PBB datang 8. Januari 1999 Ciamis Isu Santet 100-150 orang 9. Mei 199 Jakarta Papua barat menuntut referendum -

. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid / Gus Dur

Subbagian2

Pada bulan November 1999 Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden RI ke IV. Gus dur seperti biasa, menampilkan intelegiensi, kekocakan, keterbukaan dan komitmen terhadap pluralisme serta kebencian terhadap dogmatisme. Gus dur mendorong plurarisme dan keterbukaan. Dia memperbolehkan umat Cina konfusius untuk melakukan perayaan secara terbuka. Manuver yang dilakukan oleh Gus dur : 1. Merubah nama Irian Jaya menjadi Papua 2. Mengusulkan untuk membatalkan ketetapan MPRS Tahun 1996 mengenai pelarangan ajaran Marxisme dan kKomunisme 3. Pernyataan jika Soeharto divonis bersalah maka ia akan dimaafkan 4. Dipisahkannya Polisi dari ABRI 5. Proses Desentralisai 6. Dekrit pembekuan lembaga Perwakilan Rakyat


=== Tebel 04 Konflik Sosial Pada Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid ===

No Tanggal Tempat Jenis Korban Jiwa 1. 1999 Maluku Kerusuhan Islam-kristen + 1000 orang 2. Jakarta 3000 demonstran menuntut jihad ke maluku - 3. Lombok Penyerangan terhadap Kristen - 4. Yogyakarta Kerusuhan anti Kristen - 5. Aceh Perlawanan GAM terus berlanjut -


. Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri

Pada bulan Juli 2001, Gus dur dipecat sebagai Presiden oleh MPR dan Megawati menjadi Presiden RI ke V sementara itu masalah bangsa terus menghadang. Secara umum Presiden Megawati bukan seorang yang mengilhami rakyat, seperti ayahandanya Bung Karno. Dia juga tidak memperlihatkan keterampilan dalam urusan –urusan pemerintahan, perekonomian, keamanan, politik luar negeri, administrasi umum. Ekonomi mengalami kesulitan sejak tahun 1997 dan pemerintah Megawati belum bisa memulihkannya seperti sebelum krisis. Desentralisasi telah membatasi kemampuan pemerintah pusat untuk persoalan-persoalan. Selama tahun 2004 banyak anggota DPRD diseluruh Indonesia dituduh melakukan korupsi, ditangkap kemudian diadili. Pada Pemilu 2004 jumlah pemilih terdaftar 147 juta orang, calon legislatief, TPS 600 juta. Pemilihan putaran pertama diselenggarakan pada bulan Juli 2004, ada 5 pasang calon presiden : 1) Wiranto dan Salahidin Wahid. 2) Megawati dan Hasyim Muzadi. 3) Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo. 4) SBY dan Yusuf Kala. 5) Agum Gumelar dan Hamzah Has. Pemilihan ini dimenangkan oleh SBY dan Kala dengan 60,9 % mengalahkan pasangan Megawati dan Hasyim dengan 39,1 %. Dengan dipilihnya SBY dan Kala oleh rakyat Indonesia secara langsung dan dengan dukungan yang sekuat itu maka tanggal 30 Oktober 2004 SBY dilantik menjadi Presiden RI ke VI dengan amanat rakyat yang paling kuat sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Tabel 05 Konflik Sosial Pada masa pemerintahan Megawati

No Tanggal Tempat Jenis Korban Jiwa 1. Juli 2001 Jakarta Gereja Santa Anna Terorisme 2. Agustus 2001 Jakarta Plaza Atrium Senen Terorisme 3. Juni 2002 Jakarta Hotel Jayakarta Terorisme 4. 1 Juli 2002 Jakarta Mal Graha Cijantung Terorisme 5. Oktober 2002 Bandung BSM dan IP Terorisme 6. 12 Oktober 2002 Bali Sari Club dan Paddy’s bar Terorisme200 0rang 7. 5 Desember 2002 Makasar Mall Ratu Indah Terorisme 3 orang 8. 27 April 2002 Jakarta Bandara Soekarnohatta Terorisme 9. 5 Agustus 2002 Hotel Mariot Terorisme 13 orang 10. 9 September 2004 Jakarta Kedubes Australia Terorisme 9 orang.


D. Otonomi Setengah Hati Dalam masyarkat multikultur yang demokrasi, disamping pengakuan terhadap pluralitas, keanekan budaya kelompok – kelompok etnik, tetapi juga ada pengakuan kesederajatan antar kelompok dan budayanya itu. Dalam hal ini sangat penting dalam usaha merajut kebudayaan nasional yang mosaik itu. Sayangnya, kriteria kesederajatan ini telah hilang dikorup oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru. Karena ini sikap dan kebijakan pemerintah pusat meredahkan, meminggirkan, mengeksploitasi atau menjadikan sekelompok masyarakat etnik tertentu seperti Orang Aceh, Orang Dayak, Ambon atau Papua untuk menerima posisi sebagai kelompok yang “ Kalah Abadi “ [ under dog ], sangat bertentangan dengan ideology demokrasi dan budaya masyarakat multikultur. Oleh karena itu pula orang – orang yang meras tersingkirkan atau dikalahkan dizaman Orde Baru ini bengkit, mendobrak tatanan yang ada dan berusaha agar tatanan yang baru yang lebih adil dibangun kembali. Jadi pada tahapan – tahapan pertama pemberontakan bersenjata di Indonesia bukan bersifat separatis [ memisahkan diri dari NKRI ], tetapi adalah inggin mengoreksi kesalahan pemerintah pusat yang telah berbuat tidak adil dan represip. Dalam kehidupan politik, dengan adanya otonomi daerah, masyarkat multikultur akan memiliki wadah untuk mengembangkan diri, terutama dalam kehidupan demokrasi yang sehat, penegakan HAM dan kesederajatan dihadapan hukum serta kekuasaan. Akan tetapi, otonimi yang berjalan sekarang adalah “ otonomi setengah hati “ berbagai kendala masih menjadi kendala dalam usaha untuk mengembangkan masyarakat dan budaya multikultur. Kelemahan otonomi daerah setidaknya terletak pada tiga pokok : 1. Desentralisasi keuangan [ dalam UU No 22 Tahun 1999 ] tidak seimbang [ berat sebelah ] dengan desentralisasi keuangan [ dalam UU No 34 /2000 ], sehingga terjadi ketimpangan. Umpamanya tentang pajak retribusi, pemerintah Kabupaten / Kota hanya mendapat kebahgian jenis pajak kurus yang tidak banyak membantu pandapatan PAD mereka. Begitu juga dengan dana perimbangan, melalui UU No 25 dan PP No 104 / 2000, pemerintah pusat dengan cerdik telah memainkan psikologi angka. Presentase bagi hasil pajak negara yang tidak signifikan [ separti PBB ] dibuat besar untuk jatah daeraah, sedangkan bagi hasil gemuk [ PPh peroranggan ] dan sumber daya strategi [ seperti migas ] untuk daerah sangat kecil. Banyaak mandat atau kekuasaan yang diberikan kepada aderah otonom tidak terbiayai [ unfounded mandate ], kemudian mandat tersebut menjadi beban daerah. 2. Secara keseluruhan UU No 22 Tahun 1999 hanyaaalah mengatur “ Pemerintah Daeraah “ dan bukan mengatur “ Otonomi Daeraah “. Pemerintah daerah merupakn sebahagian dari otonomi daerah, sehingga tidak ad pengaturan partisipasi warga dalam segala aktivitas lokal dan pusat. Menurut Robert E. Jaweng [ 2003 ], hal ini berakibat serius “ Transfer kewenagan macet ditangan local state elite menurutnya mandat “ mengatur sendiri kebijakan “ menjadi “ sendiri mengatur “ dan amanah “ mengurus pelayanan masyarkat “ menjadi “ ingin dilayani masyarkat “. Kelemahan ini menyebabkan sampai sekarng kita tidak menggapai target utama dari otonomi daeraah itu, yaitu demokrasi politik dan efisiensi birokrasi daerah. 3. Lemahnya perwakilan daerah di pusat. Dalam UU susunan dan kedudukan DPR dan DPD yang disyahkan pada bulan juli 2003, menunjuk betapa sedikitnya jumlah anggota DPD dan kecilnya peranan dalam percaturan nasional. Hal ini menunjukan betapa rendahnya representasi masyarkat lokal yang memiliki otonomi itu sangat di abaikan. E. Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat. Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh. Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia. Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen. Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi. Melihat pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat. Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang. Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri. Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional. Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada modal kerja dan perdagangan. Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu. Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri. Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat. Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik) menyebabkan pengendara ( pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.

F. Agenda Reformasi Reformasi yang dikehendaki adalah reformasi tanpa revolisi atau kekerasan tanpa radikalisme, melainkan secara konstitusional melalui jalan evolusi. Reformasi bukan lagi merupakan gagasan, melainkan agenda yang harus diwujudkan secara konkrit, dalam kaitan dengan penataan ekonomi dan demokrasi Indonesia yang lebih bermartabat di mata dunia internasional. Adapun agenda dan prioritas reformasi di Indonesia pada sekarang ini adalah sebagai berikut :  Kebangkitan sipil, reformasi dalam hal ini sangat penting dalam rangka memperbaiki dan menegakan kembali nilai – nilai moral yang rusak selama pemerintahan Orde Baru. Kerusakan moral ini termanifestasikan dalam sikap hipokrit atau munafik, arogan, sok berkuasa, kesewenang – wenag, kerasukan, dan lain sebagainya. Kebabrokan dan kebejatan moral ini harus terlebih dahulu dibenahi. Kebangkitan moral merupakan kebangkitan sivil, dan masyarakat sivil identik dengan masyarakat demokratis yang didalamnya hak – hak asasi manusia ditegakan.  Agenda Reformasi Politik, sasaran pokoknya adalah terciptanya iklim politik yang bebas seperti selayaknya terjadi pada negara demokratik, termasuk yang berdemokrasi Pancasila. Dimana hak asasi rakyat ditegakan, khususnya hak berbicara, mengkritik, berkumpul dan berserikat, sehingga kontrol sosial dapat dilakukan secara efektif dan maksimal, serta clean government dapat diwujudkan.  Agenda Reformasi Ekonomi, sasaran pokoknya adalah tersusunnya sistem ekonomi Pancasila, yang sesuai dengan nilai – nilai Pancasila dan UUD 1945 khususnya pasal 33. Struktur dan kondisi ekonomi masa Orde Baru sama sekali belum sesuai dengan prinsip – prinsip ekonomi Pancasila yang anti kapitalisme, anti feodallisme, anti komersialisasi, dan anti nepotisme.  Agenda Reformasi Kebudayaan, dimana penetrasi kebudayaan asing yang mengiring masuknya modal asing selama 32 tahun pembangunan telah memunculkan gaya hidup individualistik, meterialistik serta berbagai bentuk maksiat dalam skala besar. Character and nation building terabaikan, sehingga terjadinya erosi idealisme, patriotisme dan semangat berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu reformasi perlu mengembalikan kehidupan bangsa Indonesia kepada pelaksanaan UUD 1945 pasal 32 yang berbunya “ Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia “.



BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

Mencermati akan semua realita yang tergambar jelas pada BAB II, maka Krisis yang terjadi di Negara ini memang tidak dapat dihindari, akibat dari krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia secara keseluruhan. Krisis ekonomi Asia secara langsung membawa dampak yang sangt signifikan dalam tatanan demokrasi Indonesia, hal ini dapat terlihat dari semakin meningkatnya tingkat pengangguran, masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan juga semakin bannyak disamping itu muncul berbagai bentuk patalogi sosial yang timbul dalam kehidupan masyaraakat. Disamping itu krisis ekonimi Asia ini juga berunjung pada jatuhnya Sang Penguasa Orde Baru yang selama 32 tahun telah memerintah di negara ini. Kejatuhan Sang Penguasa Orde Baru ini, mengakibatkan kita masuk pada suatu era baru yang lebih dikenal dengan Era Reformasi, dimana kebebasan sepenuhnya diberikan kepada rakyat yang walaupun selogan ini di pergunakan pada masa Ode Lama namun kenyataan hak – hak dari masyarakat terabaikan. Reformasi yang berlangsung di Indonesia pada tahun 1998, sampai dengan sekarang ini telah mengakibatkan terjadinya empat kali pergantian Kepela Pemerintahan yang semuanya itu mempunyai karakteristik dari masing – masing kepala pemerintahan. Warna dari awal era reformasi ditandai dengan munculnya bebagai bentuk – bentuk patalogi sosial yang kalau tidak menjadi perhatian serius dari pemerintahn, maka akan membawa kita pada disintegrasi bangsa. Salah satu contoh, Pemerintah Daerah Timor – Timor harus kelur dari Negara kesatuan Republik Indonesia, akibat dari jajah pendapat yang di ijinkan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Padahal selama berkuasanya Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, daerah – daerah tetap di pertahankan. Selain itu muncul kelompok – kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia, misalnya Aceh ( Gerakan Aceh Merdeka ), Maluku ( Repubik Maluku Selatan ), Papua ( Organisasi Papua Merdeka ), dan masih banyak lagi bentuk bentuk patalogi sosial misalnya terjadinya terorisme diberbagai daerah yang kesemuanya itu mengancam negara kesatuan Republik Indonesia. Namun sekarang kita boleh bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena akibat dari reformasi, semakin membuat masyarakat Indonesia ada dalam sebuah keteraturan yang di aplikasikan lewat penegakan hukum di negera tercinta ini. Penegakan hukum yang baik dan jalannya tatanan demokrasi yang teratur, akan memberikan peluang yang sangat besar bagi para pemegang saham / modal tidak dengan ragu akan menanamkan modalnya di Indonesia, dan secara sadar akan berdampak kepada berkurangnya pengangguran karena semakin banyak lapangan pekerjaan,akan berdampak pada meningkatnya pendapatan negara, daerah dan masyarakat, semakin kecilnya peluang disintegrasi bangsa, tingkat pendidikan masyarakat semakin baik. Semuanya ini berdampak terhadap semakin bermartabatnya bangsa yang kita cinta. Mencermati semua realita yang telah di paparkan pada BAB II, maka Arnold Toynbee dalam karyanya yang berjudul “ A Study Of History “ pernah mengatakan bahwa “ muncul dan tenggelamnya suatu peradaban disebabkan oleh krisis yang terjadi akibat dari hasil interaksi manusia untuk mengubah dan memberi bentuk “. Bertolak dari pikiran diatas, maka ” akankan Negara Indonesia Runtuh seperti halnya kerajan – kerajaan Nasional lainnya yang pernah berjaya di dunia ini, ataukah mengalami suatu pembaharuan peradaban yang lebih baik  ?. Biarlah Tahun yang menentukan segala sesuatu.


DAFTAR PUSTAKA

Kajian Buku:

Budiman, Arief, dkk. ( 2000 ). Harapan dan Kecemasan; Menatap Arah Reformasi Indonesia. Yogyakarta : Adipura.

Business News Dampak Krisis Ekonomi Pada Kemiskinan. Tersedia : http://www.pacific.net.id/pakar/sadli/0799/140799.html [ online ] 20 – 11 - 2006

Crouch. Harold. ( 1999 ). Militer Dan Politik Di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Manan Munafrizal. ( 2004 ). Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta : Resist Book.

Pelly Usman. ( 2004 ). Konflik Generasi Ke Tiga. Medan : IKAHIMSI.

Ranuwihardjo, Dahlan. ( 1998 ). Indonesia Di Simpang Jalan. Bandung : Mizan Ricklefs. M. C. ( 2005 ). Sejarah Indonesia Moderen; 1200-2004. Jakarta : PT Seraambi Ilmu Semesta.

Zuhdi Susanto. ( 2003 ). Otonomi Daerah, Sejarah Lokal dan Muatan Lokal. Jakarta : IKAHIMSI.

Internet Data:

http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/reformasi.htm [ online ] 25 - 11 – 2006. http://wiki-indonesia.club/wiki/Krisis_finansial_Asia [ online ] 20 - 11 - 2006