Cheq Wong
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Malaysia: | |
Pahang | 818 (2010)[1] |
Bahasa | |
Cheq Wong, Melayu | |
Agama | |
Animisme (sebagian besar), Islam, Kekristenan | |
Kelompok etnik terkait | |
Semang, Semai |
Orang Cheq Wong adalah Orang Asli Semenanjung Melayu dari kelompok Senoi. Meski mereka memiliki penampilan fisik khas kelompok Senoi, bahasa Cheq Wong yang mereka gunakan termasuk kelompok bahasa Asli Utara.[2]
Bahasa
[sunting | sunting sumber]Bahasa Cheq Wong merupakan bagian dari rumpun bahasa Asli Utara.[3] Bahasa ini meminjam sejumlah kata dari bahasa Kensiu, meskipun kedua suku tersebut terpisah jauh.[4] Namun, bahasa Cheq Wong juga memiliki ciri khas bahasa Senoik.[5] Banyaknya kata pinjaman dari bahasa Asli Selatan terutama dari bahasa Semaq Beri (yang juga banyak dipengaruhi oleh bahasa Asli Utara) menunjukkan bahwa nenek moyang orang Cheq Wong berinteraksi dengan penutur bahasa Proto-Asli Selatan seperti orang Semelai dan Temoq.[6]
Kediaman
[sunting | sunting sumber]Pada mulanya, suku ini hanya ditemukan di dua wilayah, yaitu Suaka Alam Krau dan Distrik Raub di Pahang.[7] Desa Cheq Wong lainnya juga ditemukan di daerah lain seperti di Temerloh dan Jerantut di Pahang.[8]
Pembangunan infrastruktur telah membuat daerah orang-orang Cheq Wong terekspos ke dunia luar melalui pembalakan, pembuatan jalan dan penangkaran gajah untuk tujuan pariwisata.[1] Pembangunan tersebut telah menyebabkan banjir dan pencemaran sungai di tanah mereka.[9]
Populasi
[sunting | sunting sumber]Perubahan populasi orang Cheq Wong di Malaysia tercantum dalam tabel berikut.
Tahun | 1960[10] | 1965[10] | 1969[10] | 1974[10] | 1980[10] | 1982[7] | 1996[10] | 2000[11] | 2003[12] | 2004[13] | 2010[1] |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Populasi | 182 | 268 | 272 | 215 | 203 | 250 | 403 | 234 | 664 | 564 | 818 |
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Selama Perang Dunia II, Partai Komunis Malaya mencari bantuan dari orang-orang Cheq Wong dalam perjuangan melawan penjajah Jepang.[14] Setelah perang berakhir, muncul kekacauan baru, yakni pemberontakan kaum komunis yang dikenal sebagai Darurat Malaya. Pada masa itu, suku Cheq Wong cenderung mendukung pemberontak dengan menyediakan makanan, karena trauma akan perbudakan yang dilakukan oleh orang Melayu yang ada di pihak Inggris. Pemerintah Inggris kemudian berusaha mencari dukungan Orang Asli dengan menyediakan tempat tinggal, membangun sarana kesehatan, serta membentuk lembaga khusus yang mengatur urusan suku-suku pribumi.[14] Akhirnya, beberapa orang Cheq Wong dibunuh oleh pemberontak komunis yang menuduh mereka membantu pemerintah sementara yang lainnya diserang oleh pemerintah karena dikira mendukung pemberontakan.[15]
Kepercayaan
[sunting | sunting sumber]Orang-orang Cheq Wong secara tradisional menganut suatu bentuk kepercayaan animisme yang membedakan makhluk bernyawa (dalam bahasa Cheq Wong disebut ruwai) dengan yang tidak. Mereka juga mengenal sebuah lagu yang menyebut pesawat perang Jepang yang terbang di atas hutan sebagai makhluk bernyawa.[16]
Serupa dengan talan milik orang Semaq Beri[17] dan celau milik suku Temuan,[18] suku Cheq Wong memiliki hukum adat yang disebut talaiden, yang melarang berbagai hal termasuk mentertawakan atau menggoda satwa.[19] Pelanggaran hukum tersebut dipercaya akan mendatangkan hukuman berupa badai, hujan dan guntur.[20] Bentuk lain dari talaiden yang diyakini oleh masyarakat Cheq Wong berkenaan dengan harimau, di mana pencampuran makanan atau benda yang tidak semestinya akan mengundang serangan harimau terhadap pelakunya.[20]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Kirk Endicott (2015). Malaysia's Original People: Past, Present and Future of the Orang Asli. NUS Press. hlm. 2. ISBN 978-99-716-9861-4.
- ^ Signe Howell (1984). Society and Cosmos: Chewong of Peninsular Malaysia. Oxford University Press. hlm. 6. ISBN 01-958-2543-8.
- ^ Đăng Liêm Nguyêñ (1974). South-East Asian Linguistic Studies, Volume 2. Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, Australian National University. hlm. 82. ISBN 08-588-3143-0.
- ^ Signe Howell (1984). Society and Cosmos: Chewong of Peninsular Malaysia. Oxford University Press. hlm. 8. ISBN 01-958-2543-8.
- ^ Iskandar Carey (1976). Orang Asli: the aboriginal tribes of peninsular Malaysia. Oxford University Press. hlm. 132. ISBN 01-958-0270-5.
- ^ Martin Haspelmath & Uri Tadmor, ed. (2009). Loanwords in the World's Languages: A Comparative Handbook. Walter de Gruyter. hlm. 668. ISBN 978-31-102-1843-5.
- ^ a b Signe Howell (1982). Chewong Myths and Legends. Council of the M.B.R.A.S. hlm. xiii.
- ^ Tarmiji Masron, Fujimaki Masami & Norhasimah Ismail (Oktober 2013). "Orang Asli in Peninsular Malaysia: Population, Spatial Distribution and Socio-Economic Condition" (PDF). Journal of Ritsumeikan Social Sciences and Humanities Vol.6. Diakses tanggal 3 November 2021.
- ^ "High time to say 'tidak boleh'". The Star. 13 Mei 2017. Diakses tanggal 3 November 2021.
- ^ a b c d e f Nobuta Toshihiro (2009). "Living On The Periphery: Development and Islamization Among Orang Asli in Malaysia" (PDF). Center for Orang Asli Concerns. Diakses tanggal 3 November 2021.
- ^ "Orang Asli Population Statistics". Center for Orang Asli Concerns. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Februari 2012. Diakses tanggal 3 November 2021.
- ^ "Basic Data / Statistics". Center for Orang Asli Concerns. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-29. Diakses tanggal 3 November 2021.
- ^ Alberto Gomes (2004). Modernity and Malaysia: Settling the Menraq Forest Nomads. Routledge. ISBN 11-341-0076-0.
- ^ a b Anja Lingjerde Lillegraven (Mei 2006). "Paths of Change in Fields of Power: A study of the Chewong – an indigenous minority group in peninsular Malaysia" (PDF). Department of Social Anthropology, University of Oslo. Diakses tanggal 3 November 2021.
- ^ Hin Fui Lim (1997). Orang Asli, Forest, and Development. Forest Research Institute Malaysia. hlm. 22. ISBN 98-395-9265-3.
- ^ Kaj Arhem & Guido Sprenger (2015). Animism in Southeast Asia. Routledge. hlm. 55. ISBN 978-13-173-3662-4.
- ^ Malaya. Museums Department, Malaysia. Jabatan Muzium (1971). Federation Museums Journal, Volumes 16-23. Museums Department, States of Malaya. hlm. 6.
- ^ Man Ess (2014). Kisah Lagenda Temuan: Wak Beull dengan Mamak Bungsuk. Blue Crystal Enterprise.
- ^ Lisa Kemmerer (2012). Animals and World Religions. Oxford University Press. hlm. 51. ISBN 978-01-997-9067-8.
- ^ a b Signe Howell (1982). Chewong Myths and Legends. Council of the M.B.R.A.S. hlm. xxiv.