Palahlar nusakambangan
Palahlar Nusakambangan | |
---|---|
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
(tanpa takson): | |
(tanpa takson): | |
(tanpa takson): | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | D. littoralis
|
Nama binomial | |
Dipterocarpus littoralis |
Palahlar nusakambangan[5] (Dipterocarpus littoralis) adalah sejenis pohon yang termasuk suku Dipterocarpaceae (meranti-merantian). Menyebar hanya terbatas (endemik) di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, dan dengan populasi kecilnya yang terus menyusut, pohon penghasil kayu perdagangan ini dikategorikan sebagai Kritis (CR, Critically Endangered) dalam skala ancaman kepunahan menurut IUCN.[1] Nama lokalnya adalah lalar,[2] atau klalar,[6] yang agaknya merupakan pengucapan lokal yang terkorupsi dari palahlar. Juga dituliskan kalahlar, dan pĕlahlar.[7]
Pengenalan
[sunting | sunting sumber]Pohon yang besar dan tinggi; hingga setinggi 50 m atau lebih, dan gemang (garis tengah) batangnya setinggi dada mencapai 150 cm; batang lurus dan bulat torak, dengan akar papan (banir) setinggi 2 m dan selebar 1,5 m. Pepagannya berwarna abu-abu di permukaan luar, dan mengelupas tebal dalam kepingan. Percabangan terletak jauh tinggi di atas tanah, membentuk tajuk tak beraturan.[8]
Bagian-bagian tumbuhan yang muda tertutupi oleh rambut-rambut pendek halus berwarna karat pucat; yang menetap (tidak gugur) di kuncup daun, sisi luar daun penumpu, dan bakal buah. Ranting-ranting lk. 8-11 mm diameternya, kekar, kasar, dengan lampang bekas tangkai daun. Kuncup lk. 2 × 1,5 cm. Daun penumpu merah jambu, lanset memanjang hingga 15 × 4 cm, melancip di pucuknya, lekas gugur.[7]
Daun-daun mengelompok di ujung ranting, bundar telur lebar, 16-25(-52 pada anakan pohon) × 10-18(-28) cm; lembarannya agak tipis menjangat, tampak seperti terlipat-lipat menggelombang. Tulang daun sekundernya 19-24 pasang, lurus, menyudut 60-70° dengan ibu tulang daun, menonjol di sisi bawah helaian; tulang daun tersier berpola seperti tangga. Tangkai daun lk. 3-9(-12) cm, membengkok atau tertekuk.[7]
Perbungaan hingga lk. sepanjang 20 cm, lokos, terletak di ketiak daun, berjejal-jejal dekat ujung ranting, masing-masing berisi hingga 3 kuntum bunga. Kuncup bunga lk. 35 × 10 mm, bertangkai. Benang sari lk. 30 helai.[7] Bunga berwarna krem.[8]
Buah samara besar, bertangkai lk. 5 × 4 mm; buah terbungkus tabung kelopak yang agak mengerucut, lk. 3,5 × 3 cm, halus di sisi luar. Memiliki sepasang sayap (yang terbentuk dari dua taju kelopak yang membesar dan memanjang; sementara 3 taju yang lain tetap pendek) berwarna kemerahan, masing-masing berukuran hingga 24 × 4 cm, seperti pita, ujungnya menumpul, menyempit hingga 7 mm dan agak melintir di pangkalnya; 3 taju pendek lk. 10 × 6 mm, melintir berbalik ujungnya.[7]
Agihan dan ekologi
[sunting | sunting sumber]Palahlar nusakambangan hanya didapati tumbuh di Pulau Nusakambangan, Cilacap, khususnya di bagian barat.[6][8][7] Pohon ini tumbuh alami di punggung dan lereng bukit, serta di tepi aliran air di kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat. Berbunga empat tahun sekali; bunganya muncul di awal musim kemarau dan buahnya masak di awal musim hujan.[8]
Manfaat
[sunting | sunting sumber]Palahlar menghasilkan kayu yang secara niaga dikenal sebagai kayu keruing.[9] Termasuk dalam kelas kekuatan II dan kelas keawetan II–III, kayu ini banyak dipakai sebagai bahan bangunan, pembuatan kapal, dan pertukangan lainnya.[8]
Konservasi
[sunting | sunting sumber]Uni Konservasi Dunia (IUCN) memasukkan Dipterocarpus littoralis ke dalam kategori Kritis (CR, Critically Endangered), yang berarti sangat terancam oleh kepunahan. Beberapa pertimbangannya adalah bahwa wilayah sebarannya sangat terbatas, dan hanya terdapat di satu lokasi di Pulau Nusakambangan bagian barat; sementara itu populasinya pun sangat kecil, sejauh ini hanya berhasil ditemukan 47 pohon dewasa. Dalam pada itu ancaman berupa penebangan untuk kayunya belum dapat ditanggulangi, penyusutan tutupan hutan akibat perluasan permukiman dan lahan pertanian masih terus terjadi, dan habitatnya yang tersisa pun terancam oleh adanya invasi pohon langkap (Arenga obtusifolia) yang menjadi pesaingnya di hutan.[1]
Dalam perundang-undangan Negara Indonesia, Dipterocarpus littoralis sesungguhnya telah dimasukkan ke dalam daftar flora yang dilindungi semenjak tahun 1972 melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972.[8] Status ini masih tetap dan tidak berubah hingga terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20 tahun 2018.[5] Akan tetapi anehnya enam bulan setelah itu, tumbuhan ini beserta beberapa spesies flora langka (misalnya kokoleceran) dan fauna yang lain dikeluarkan dari dalam daftar tersebut oleh Menteri LHK melalui Peraturan P.106/2018,[10] tanpa alasan yang jelas, serta tanpa meminta pertimbangan dari otoritas keilmuan; salah satunya misalnya LIPI.[11] Ditengarai, pencabutan nama-nama beberapa jenis flora dan fauna langka ini lebih dikarenakan adanya tekanan dari para pedagang dan pehobi flora-fauna langka dan dilindungi.[12][13] Dengan pencabutan itu, perlindungan hukum terhadap palahlar nusakambangan kini dibatalkan.[14]
Sebagai imbangan kabar yang memprihatinkan di atas, baru-baru ini terbit kabar bahwa di media sosial Facebook dan Instagram telah dimuat serangkaian foto-foto buah dan dedaunan yang diidentifikasi sebagai Dipterocarpus littoralis. Foto-foto ini disebutkan sebagai berasal dari wilayah Tasikmalaya, kabupaten yang terletak sekitar 70 kilometer di barat Nusakambangan, pada hutan perbukitan di ketinggian lk. 100 m dpl. Jika benar demikian, maka diperlukan suatu sigi yang lebih serius untuk dapat memastikan status populasinya yang baru itu. Keberadaan populasi yang baru, di tempat yang baru, dapat berimplikasi pada harapan pelestarian dan perubahan status konservasi jenis ini.[15]
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Dipterocarpus (dari bahasa Gerika: di, dua; pteron, sayap; karpos, buah) berarti "buah yang bersayap dua".[16] Nama spesiesnya, littoralis (dari bahasa Latin: littoral, pantai atau berhubungan dengan pantai) bermakna "tumbuh di pantai", khususnya pantai laut, merujuk pada habitat alaminya yang dekat pantai di Nusakambangan.[2]
Adapun nama lokalnya, palahlar (dari bahasa Jawa Kuno: pala atau phala, buah; dan helar, elar, atau lar, sayap)[17] mengandung pengertian "buah yang bersayap".
Jenis yang serupa
[sunting | sunting sumber]Palahlar (D. hasseltii) memiliki daun yang berukuran relatif lebih kecil, dan tulang daun sekunder berjumlah antara 11-14 pasang (D. littoralis berdaun lebih besar, dengan 19-24 pasang tulang daun sekunder).
Palahlar minyak (D. retusus) sangat mirip dengan palahlar nusakambangan; daun-daunnya berukuran besar namun dengan tulang daun sekunder yang berjumlah lebih sedikit, yakni antara 16-19 pasang. Perbedaan lainnya, tabung kelopak yang membungkus buah D. retusus berbentuk hampir bulat seperti bola (subglobose); sementara tabung kelopak buah D. littoralis berbentuk agak mengerucut (obturbinate).
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Hamidi, A. & Robiansyah, I. (2018). Dipterocarpus littoralis. The IUCN Red List of Threatened Species 2018: e.T33376A125628315. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2018-1.RLTS.T33376A125628315.en. Diakses tgl 01/xi/24.
- ^ a b c Blume, C.L. (1825). Bijdragen tot de Flora van Nederlandsch Indie (5de Stuk.): 224. Batavia: ter Land's Drukkerij.
- ^ IPNI: Dipterocarpus littoralis Blume, diakses tgl 01/xi/24.
- ^ POWO: Dipterocarpus littoralis Blume, diakses tgl 01/xi/24.
- ^ a b Kementerian LHK. (2018). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. (Lampiran, hlm. 22 no. 807).
- ^ a b Koorders, S.H. & Valeton, Th. (1900). "Bijdrage no. 1-13 tot de kennis der boomsoorten op Java". No. (vol) 5: 114-115. Batavia : G. Kolff & co.
- ^ a b c d e f Ashton, P.S. (1982). "Dipterocarpaceae". In: Steenis, C.G.G.J. van (ed.) Flora Malesiana I(9): 237–552. Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V.
- ^ a b c d e f Partomihardjo, T., D. Arifiani, B.A. Pratama, & R. Mahyuni. (2014). Jenis-jenis pohon penting di Hutan Nusakambangan. Jakarta: LIPI Press.
- ^ Smitinand, T. et al. (1993). "Dipterocarpus". in Soerianegara, I. & R.H.M.J. Lemmens (eds.) Plant resources of South-East Asia, no. 5(1): Timber trees: Major commercial timbers. Wageningen: Pudoc. ISBN 90-220-1033-3.
- ^ Kementerian LHK. (2018). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi; diakses tgl. 01/xi/2024.
- ^ Betahita: "Ini Penyebab Menteri Siti Seharusnya Melindungi Ulin", berita Betahita hari Senin, 09 Maret 2020; diakses tgl. 01/xi/2024.
- ^ ProFauna: "Ratusan Organisasi Konservasi Protes Kebijakan Siti Nurbaya Merevisi Permen LHK nomor 20 Tahun 2018", berita ProFauna pada Sabtu, 09/22/2018 - 05:23; diakses tgl. 01/xi/2024.
- ^ DPR-RI: "Legislator Apresiasi Dicabutnya Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018", berita Komisi IV DPR RI pada 18-09-2018; diakses tgl. 01/xi/2024.
- ^ Betahita: Tantangan Besar Menyelamatkan Pelahlar Nusakambangan yang Tersisa, artikel Raden Ariyo Wicaksono, Selasa, 31 Mei 2022; diakses tgl. 04/xi/2024.
- ^ Primananda, E. & I. Robiansyah. (2023). "A new record of the Critically Endangered tree Dipterocarpus littoralis discovered from social media". Oryx, 2023, 57(5): 553–560. doi: https://dx.doi.org/10.1017/S0030605323000601
- ^ Ashton, P.S. (2004). "Dipterocarpaceae". in E. Soepadmo, L.G. Saw, & R.K. Chung (eds.) Tree Flora of Sabah and Sarawak, 5: 63-388. Kuala Lumpur: Forest Research Institute Malaysia.
- ^ Zoetmulder, P.J. & S.O. Robson. (1995). Kamus Jawa Kuna - Indonesia. Jakarta: Gramedia.