Dyah Tulodong
Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa atau disingkat Dyah Tulodong atau Tlodhong adalah raja Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 919–924.[1][2]
Dyah Tulodong | |
---|---|
Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa | |
Raja Medang Ke-15 | |
Berkuasa | ( 12 Juli 919 - 7 Maret 927 M ) |
Pendahulu | Mpu Daksa |
Penerus | Dyah Wawa |
Wangsa | Sanjaya |
Agama | Hindu |
Asal-Usul
[sunting | sunting sumber]Dyah Tulodong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam Prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong.
Mungkin Rakryan Layang adalah anak perempuan Mpu Daksa. Kemudian Dyah Tulodong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.
Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodong disebut sebagai putri dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.
Nama "Layang" sekarang mulai dikaitkan dengan keberadaan Situs Liyangan, berdasarkan kemiripan nama.
Riwayat Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan dengan menyebut Tulodong sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti, sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.
Prasasti Harinjing tanggal 19 September 921 berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya.
Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927, di mana mereka mendapatkan Desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.
Akhir Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Prasasti Palebuhan tanggal April 927 menyebut adanya raja baru bernama Sri Maharaja Pu Wagiswara. Ia diyakini sebagai raja pengganti Dyah Tulodong namun tak berlangsung lama. Sedangkan Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti yang tercatat dalam Prasasti Harinjing (921 M) sebagai Rakryan Mapatih Hino tidak diketahui lagi nasib dan keberadaannya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Prasasti Lintakan - Informasi Situs Budaya Indonesia Prasasti Lintakan". Informasi Situs Budaya Indonesia. 2018-12-03. Diakses tanggal 2019-07-12.
- ^ Nindyo, Fajar. "Koleksi Prasasti Sejarah di Museum Nasional Indonesia". POJOKCERITA. Diakses tanggal 2019-07-12.
Kepustakaan
[sunting | sunting sumber]- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- https://archive.org/stream/dli.bengal.10689.12835/10689.12835_djvu.txt
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Sejarah Kediri[pranala nonaktif permanen], Situs resmi Pemerintah Kabupaten Kediri
Didahului oleh: Mpu Daksa |
Raja Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah) 919?–927? |
Diteruskan oleh: Dyah Wawa |